Pandangan dari Drijarkoro (1957), Muh. Yamin (1962), Roeslan Abdoelgani (1962), Soediman Kartohadiprodjo (1969), dan Notonagoro (1976), menyatakan bahwa Pancasila memenuhi syarat dikatakan sebagai sebuah Filsafat, tepatnya Filsafat Negara, karena Pancasila merupakan hasil sebuah pemikiran secara mendalam, sistematis dan komprehensif tentang dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Sunoto, 1985).
Sebagai sebuah dasar negara, maka Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah sekedar sekumpulan ajaran moral. Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat. Artinya, Pancasila merupakan sebuah rumusan ideal bagaimana bangun keindonesiaan yang dicita-citakan bangsa.
Pancasila merupakan sebuah identitas bagi bangsa, dan sekaligus landasan dalam menuju modernitasnya. Identitas Indonesia bukan sekedar dipertahankan tetapi selalu harus digali. Identitas harus mampu memadukan dua unsur yang kontradiktif: tradisional dan modern.Â
Dalam modernitas harus dijelaskan sejauh mana unsur modern yang dapat dipribumikan dan sejauh mana unsur tradisional yang dapat dimodernkan. Identitas harus mampu mengintegrasikan berbagai warisan tradisional sekaligus mampu mendorong ke arah kemajuan dan modernisasi (Darmaputera, 1997)
- Pembuktian Kebenaran Sila -- Sila Pancasila sebagai Filsafat Bangsa
- Pancasila ditinjau dari Kausalitas Aristoteles dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Kausa Materialis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan materi/bahan, dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri;
- Kausa Formalis, maksudnya  sebab  yang  berhubungan  dengan  bentuknya, Pancasila  yang  ada  dalam  pembukaan  UUD  '45  memenuhi  syarat  formal (kebenaran formal)
- Kausa Efisiensi, maksudnya kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka; serta
- Kausa Finalis.  maksudnya berhubungan  dengan  tujuannya,  yaitu  tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi:
- Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
- Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial;
- Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri;
- Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan hergotong royong;
- Adil, yaitu memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
- Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga negara, yaitu sebagai bagian persekutuan hidup yang mendudukkan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Â Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang MahaÂ
- Esa, pada hakikatnya bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya atau makhluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup, manusia harus  membentuk  suatu  ikatan  sebagai  suatu  bangsa (hakikat  sila  ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu.Â
- Konsekuensinya, hidup kenegaraan itu haruslah didasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka itu, negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat).Â
- Untuk mewujudkan tujuan Negara sebagai tujuan bersama, dalam hidup kenegaraan harus diwujudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warga. Dengan demikian, untuk mewujudkan tujuan, seluruh warga negara harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama (hakikat sila kelima).
- Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila ifu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal, yaitu:
- Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya;
- Sila kedua  didasari  sila  pertama  serta  mendasari  dan  menjiwai  sila  ketiga, keempat. dan kelima;
- Sila ketiga didasari dan dijiwai  sila  pertama  dan  kedua,  serta  mendasari  dan menjiwai sila keempat dan kelima
- Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima; serta
- Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Demikianlah. susunan Pancasila memiliki sistem logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut kualitas ataupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut.Â
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Kedudukan dan kodrat manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Refleksi filsafat yang dikembangkan oleh Notonagoro untuk menggali nilai-nilai abstrak. hakikat nilai-nilai Pancasila, ternyata kemudian dijadikan pangkal tolak pelaksanaannya yang berwujud konsep pengamalan yang bersifat subjektif dan objektif.Â
Pengamalan secara objektif adalah pengamalan di bidang kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan, yang penjelasannya berupa suatu perangkat ketentuan  hukum yang secara  hierarkis  berupa pasal-pasal UUD,  Ketetapan  MPR, Undang-undang Organik, dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.Â
Pengamalan secara subjektif adalah pengamalan yang dilakukan oleh manusia individual, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat ataupun sebagai pemegang kekuasaan, yang penjelmaannya berupa tingkah laku dan sikap dalam hidup sehari- hari.
Nilai-nilai yang bersumber dari hakikat Tuhan, manusia, satu rakyat, dan adil dijabarkan menjadi konsep Etika Pancasila, bahwa hakikat manusia Indonesia adalah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha Esa, berperi Kemanusiaan, berperi Kebangsaan, berperi Kerakyatan, dan berperi Keadilan Sosial. Konsep Filsafat Pancasila dijabarkan menjadi sistem Etika Pancasila yang bercorak normatif.