Mohon tunggu...
Novi Touristiani Susan
Novi Touristiani Susan Mohon Tunggu... -

Wirausaha dibidang makanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Alfamart dan Perubahan Pola Belanja Masyarakat Perkotaan

2 November 2011   12:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:08 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alfamart sebagai salah satu tempat berbelanja yang diminati oleh masyarakat, tentunya menjaring tidak hanya adanya pihak yang pro, tetapi juga yang kontra.

Yang pro, tentunya bagi yang mendapatkan keuntungan, kemudahan, atau bahkan merasakan manfaat dari keberadaan Alfamart, baik yang diuntungkan secara langsung ataupun yang tidak langsung.

Sedangkan yang kontra, tentunya bagi yang merasakan dirugikan atas kehadiran Alfamart, baik yang dirugikan secara langsung, ataupun yang tidak langsung.

Saya bukanlah seorang ahli ekonomi, dan tidak bisa memberikan analisa ilmiah apapun tentang Alfamart. Akan tetapi saya sebagai seorang ibu rumah tangga, yang juga berbisnis kecil-kecilan, merasa ingin berbagi kisah tentang pengalaman pribadi saya tentang betapa bermanfaatnya kehadiran Alfamart bagi saya dan keluarga.

Diawal tahun '80-an, yang saya ingat adalah jika saya harus berbelanja sesuatu, maka saya "wajib" pergi ke pasar tradisional.

Dan tentunya kita semua tahu tentang bagaimana kondisi dari pasar tradisional. Becek dan berbau tidak sedap, terlebih lagi dimusim penghujan.

[caption id="attachment_146035" align="aligncenter" width="400" caption="(Pasar Tradisional, Sumber: The Jakarta post)"][/caption]

Selain itu, kita seringkali harus menghabiskan banyak waktu untuk mencari kios atau lapak tertentu yang menjual barang yang sedang kita butuhkan. Terkadang kita harus rela berkeringat dan berpanas-panasan bertanya dari satu kios ke kios lain, hanya demi mencari satu buah produk saja.

Permasalahan tidak sampai disitu. Setelah mendapatkan produk yang kita cari, kita masih harus menawar harga dari barang tersebut.

Sudah bukan rahasia umum, bahwa pedagang sudah menaikkan harga barang hingga hampir 50% terlebih dahulu saat pertamakali menawarkan pada konsumennya. Dengan harapan, jika barang tersebut ditawar oleh konsumen, maka ia tetap akan meraih banyak keuntungan.

Dan seolah sudah ada kesepakatan diantara para pedagang yang menjual barang serupa, agar menawarkan barang tersebut dengan harga yang relatif sama. Dan jika ada yang menawarkan dengan harga yang jauh lebih murah, maka akan ada sangsi sosial dari pedagang yang lainnya.

Masih ada satu hal lagi yang saya khawatirkan, yaitu banyaknya kejadian pencopetan dan premanisme di dalam area pasar.

Dan yang pasti, biasanya sehabis pulang dari pasar tradisional, saya ada "pekerjaan" tambahan, yaitu harus mencuci alas kaki dan rok yang saya pakai untuk berbelanja di pasar tersebut.

Air kotor yang menggenangi lantai pasar, tidaklah mudah hilang jika tidak dicuci dengan bersih. Karenanya, saya seringkali merasakan lelah yang sangat setelah berbelanja kebutuhan pokok dipasar.

Tetapi saya tidak punya pilihan, karena warung-warung yang ada dilingkungan sekitar tempat tinggal saya, tidak menjual produk-produk yang saya inginkan secara lengkap. Dan kalaupun ada, maka harganya akan relatif lebih mahal. Dan seringkali produk-produk yang dijual, sudah mendekati tanggal kadaluarsa.

"Penderitaan" tersebut tetap saya jalani, mengingat saat itu masih belum ada alternatif lain, dan saya sebagai seorang pelajar masih bisa "menanganinya" dengan baik.

Dan waktupun terus bergulir, hingga ditahun '90-an, dimana mulai hadir Supermarket-supermarket disekitar Jabodetabek.

[caption id="attachment_146042" align="aligncenter" width="220" caption="(Supermarket, Sumber Wikipedia)"][/caption]

Supermarket-supermarket yang hadir, memberikan "nuansa" baru dalam keasyikan berbelanja saya.

Di era tersebut, saya mulai menerapkan pola belanja baru, dimana untuk kebutuhan bulanan atau mingguan (seperti susu, gula, dan berbagai produk awet lainnya) saya lebih senang berbelanja di Supermarket. Dan saya seringkali menggunakan kesempatan belanja di supermarket,  sebagai salah satu "alternatif hiburan", sehabis lelah bekerja di kantor seharian.

Dan untuk keperluan belanja harian, seperti membeli sayuran segar, saya tetap memilih pasar tradisional, mengingat harga dipasar tradisional adalah jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga di Supermarket. Untuk menjalankan tugas penuh "tantangan" tersebut, saya biasa meminta "si mbok" pembantu saya untuk "mewakili" saya ke pasar.

Memang kehadiran supermarket cukup menohok pasar tradisional, dimana banyak kelas menengah yang kemudian beralih ke Supermarket. Tetapi menurut saya, hal tersebut janganlah dijadikan alasan untuk mematikan Supermarket, mengingat Supermarket dan Pasar Tradisional, sudah memiliki pelanggannya masing-masing.

Waktu kembali berjalan cepat, hingga masuk di era tahun 2000-an.

Seingat saya, tempat perbelanjaan yang trend pada era ini adalah Wholesale (atau biasa disebut dengan Toko Gudang Rabat) yang memiliki gudang-gudang besar, dan mewajibkan pelanggannya untuk memiliki kartu anggota.

[caption id="attachment_146046" align="aligncenter" width="640" caption="(Toko Gudang Rabat, Sumber: Wikipedia)"][/caption]

Saya yang memang senang "berburu" produk belanja bulanan dengan harga yang bersaing, sengaja membuat kartu langganan tersebut dengan referensi dari kantor tempat saya bekerja.

Walaupun harus berbelanja dengan jumlah yang lebih banyak, saya mendapatkan banyak potongan harga. Dan untuk mensiasati jumlah pembelian yang banyak, biasanya saya "janjian" untuk berbagi pembelanjaan dengan kawan-kawan yang membutuhkan produk yang serupa.  Memang sih, saya akui bahwa terkadang saya jadi berbelanja dengan jumlah yang berlebihan.

Dan saat memasuki era 2005, mulai bermunculan Hypermarket-hypermarket yang merupakan toko berukuran raksasa di berbagai daerah.

[caption id="attachment_146050" align="aligncenter" width="300" caption="(Hypermarket, Sumber: Wikipedia)"][/caption]

Hypermarket-hypermarket ini tidak mewajibkan pelanggannya untuk memiliki anggota, hanya "menyarankan" saja agar memiliki kartu kredit yang bekerjasama dengan hypermarket tersebut.

Kehadiran para Raksasa retail ini, memang "agak" menggusur Supermarket dan Toko Gudang Rabat, dan ini ditandai dengan banyaknya Supermarket dan Toko Gudang Rabat yang kemudian terpaksa tutup.

Tetapi menurut saya, wajarlah kalau mereka kalah bersaing. Hypermarket menawarkan sensasi baru, dimana lokasi yang luas, barang yang lengkap, bisa membeli produk secara satuan, terbukti merupakan daya tarik tersendiri.

Saya yang saat itu merupakan seorang ibu rumah tangga dengan satu anak balita, lebih memilih untuk mengunjungi Hypermarket sebagai alternatif belanja keluarga, sekaligus mengajak balita saya "melihat dunia luar".

Kehadiran hypermarket ini juga sempat diprotes sebagai "pembunuh" pasar tradisional.

Dan akhirnya memasuki era tahun 2010-an, dimana mulai bergeraknya pertumbuhan minimarket yang cukup "dahsyat", yang menyisir hingga ditempat pemukiman, dan salah satunya yang sangat cerdas dalam pengembangan strategi bisnisnya, adalah Alfamart.

[caption id="attachment_146051" align="aligncenter" width="640" caption="(Alfamart, Sumber: Wikipedia)"][/caption]

Saya katakan cerdas, karena Alfamart bisa "membaca" kejenuhan masyarakat akan Hypermarket yang seringkali harus "membuat lelah" pelanggannya yang terkadang harus menghabiskan waktu berjam-jam berkeliling toko berukuran Raksasa itu,  hanya sekedar untuk mencari sebuah barang yang sederhana.

Belum lagi jika kita harus memarkir kendaraan, lalu "terpaksa" harus membayar parkir yang terkadang biaya parkirnya adalah lebih besar daripada harga barang yang kita beli.

Tetapi, dengan adanya Alfamart, kita cukup memarkir kendaraan di tepi jalan, yang terkadang gratis, dan segera berbelanja barang yang benar-benar kita perlukan, lalu kembali ke kendaraan untuk segera pulang.

Praktis bukan....

Bandingkan dengan berbelanja di Hypermarket, dimana kita seringkali membeli barang yang tidak kita perlukan, hanya karena kita "lapar mata".

Praktis, ekonomis, dan efisien. Itulah yang saya rasakan dengan berbelanja di Alfamart.  Dan ternyata hal ini sesuai dengan prinsip saya dalam berbelanja, yaitu belanja haruslah secara cerdas (Smart), sehingga kita bisa menghemat pengeluaran, akan tetapi tetap harus menyenangkan (Fun).

Dan Alfamart terbukti berhasil dalam mewujudkan hal tersebut.

Alfamart juga berhasil mengaplikasikan Mottonya dengan baik, yaitu "Belanja Puas, Harga Pas".

[caption id="attachment_146052" align="aligncenter" width="238" caption="(Logo Alfamart, Sumber?: megapolitan.kompas.com)"][/caption]

Karena kepuasan belanja bagi saya dan bagi banyak kawan yang lain, bukanlah dari banyaknya barang yang bisa dibeli. Menurut kami yang merupakan ibu-ibu rumah tangga pemegang kendali "perekonomian rumah tangga", kepuasan yang seperti itu adalah pemborosan.

Kepuasan yang saya inginkan adalah belanja sesuai dengan apa yang saya butuhkan, dengan kualitas seperti yang saya harapkan, dan dengan harga yang bersaing dengan produk serupa yang dijajakan oleh pihak lain.

Dan hal itu bisa saya dapatkan di Alfamart!.

Terulang lagi, kini kehadiran Alfamart kembali di polemikkan, karena dianggap mematikan keberadaan pasar tradisional.

Dari pengalaman saya selama ini, setiap ada perubahan dalam peta dunia belanja di perkotaan, selalu menempatkan pasar tradisional seolah-olah sebagai pihak yang terdzolimi. Menurut hemat saya, hal tersebut seharusnya tidak dipandang hanya dari sudut pandang seperti itu semata.

Jika kita terus menerus membela pasar tradisional, sementara pasar tradisional tidak diberdayakan secara maksimal, tidak diperbaiki, tidak diperbaharui, tidak diremajakan, maka hal itu justru akan "membunuh" pasar tradisional secara pelan-pelan. Sama seperti menjaga habis-habisan seorang bayi, tapi bayi tersebut tidak diberikan makanan dan minuman. Tunggu saja kematian bayi tersebut!.

Kehadiran pasar Modern yang merupakan perubahan penampilan pasar tradisional yang lebih tertata rapi, merupakan sebuah contoh bagaimana seharusnya sebuah pasar tradisional sebaiknya dikelola.

Daripada berteriak-teriak minta dikasihani, pengelola pasar modern melihat bahwa memang sudah waktunya pasar  becek merubah bentuknya. Terbukti, pasar modern kini mulai digandrungi oleh berbagai lapisan masyarakat.

Di era persaingan bebas seperti sekarang, konsumen ingin lebih leluasa dalam menentukan pilihannya.

Yang saya lihat, walaupun Hypermarket bertebaran di seantero kota, Toko Gudang Rabat juga masih banyak yang berdiri, ditambah beberapa Supermarket yang tetap ada, dan bertebarannya mini market di berbagai pelosok daerah, mereka semua tetap bisa hidup berdampingan.

Mengapa?....

Karena mereka sudah memiliki market segmentnya masing-masing.

Bagaimana dengan pasar tradisional?.

Walaupun sudah ada banyak pasar modern, akan tetapi saya melihat bahwa pasar tradisional tetap ramai, karena mereka sudah punya konsumen dari lapisan masyarakat tertentu yang loyal atau setia pada pasar tradisional.

So..., what is the problem...

Just give the customer what they need.

Walaupun saya terbiasa berbelanja produk kebutuhan mingguan di Alfamart, akan tetapi saya tetap ke pasar tradisional untuk membeli sayuran. Dan saya juga tahu bahwa kawan-kawan ibu rumah tangga yang lain juga banyak melakukan hal yang serupa.

Menurut saya pribadi, semua polemik tersebut hanyalah sebuah phobia/ketakutan akan perubahan.

Sadarilah bahwa Pola belanja masyarakat perkotaan telah berubah.

Kami yang semakin sibuk, berusaha untuk menerapkan efisiensi waktu. Tidak mungkin kami harus masuk dan parkir di pasar tradisional atau di supermarket, atau di Hypermarket hanya untuk sekedar membeli sebotol minuman dingin dikala haus ditengah cuaca kota yang terik.

Dan yang bisa melakukannya hanya Minimarket seperti Alfamart yang banyak terdapat disisi jalan dimana kami bisa parkir sebentar dan gratis!.

Kami juga sulit untuk melakukan hal itu di warung-warung kecil, mengingat mereka jarang memiliki fasilitas lemari pendingin yang menjual produk minuman Softdrink kemasan plastik. Yang banyak mereka lakukan adalah merendam minuman botol beling di dalam container berisi bongkahan es batu.  Dan jika kita hendak membawa minuman tersebut, isi dari botol tersebut harus dipindahkan kedalam plastik. Benar-benar tidak praktis!.

Come On.... The world has changed. And You have to deal with it, or leave behind.

Saya hanya hendak berkata, salut pada Alfamart yang bisa menempatkan diri dengan baik sebagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat Perkotaan pada saat ini.

We need the Fun and Smart Shopping, and you made it.

Congratulations, and keep going!.

Penulis,

Novi Touristiani Susan

Wirausaha dibidang Cookies dan Coklat.

[caption id="attachment_146065" align="aligncenter" width="300" caption="(Keep Smile, sumber: www.susancookies.blogspot.com)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun