Tanpa pikir panjang, daripada menunggu di pelabuhan yang sangat sepi dan tak ada hiburan sama sekali, saya pun meng-iya-kan ajakan Mas Jurais ini ke rumah sang bibi. Keduanya adalah orang-orang yang sama sekali tak saya kenal saat itu.
Tapi ternyata, meski tak kenal dan sama-sama asing, kami bisa bercakap-cakap dengan mudahnya hingga saya pun dipersilahkan untuk tidur siang dan juga makan siang di rumah sang bibi. Dari situ saya mulai mengenal rumah panggung khas penduduk Kota Bima di daerah pesisir, tepatnya hanya sekitar 5 menit saja dari Pelabuhan Sape.
Dan saat hari mulai sore, saya memutuskan untuk kembali ke pelabuhan dan menunggu kapal ke Waikelo di sana saja. Ternyata, tanpa saya sadari, sudah sangat banyak calon penumpang yang menunggu kapal berangkat, meski saat itu masih pukul 16.00.Â
"Syukurlah, saya tak benar-benar sendiri untuk ke tanah Sumba", pikir saya saat itu.
Masih was-was dengan tingkat keramahan tanah Sumba, saya memutuskan untuk mendekati salah satu pengunjung yang kebetulan adalah keluarga kecil dari Sumba Tengah. Mama Jiba, namanya.
"Nanti di kapal jangan jauh-jauh ya, sama kami saja, soalnya kamu sendirian, takut ada apa-apa di kapal", katanya. Dan lagi-lagi, saya meng-iya-kan, melihat kesungguhan dari Mama Jiba dan keluarganya ketika melihat saya.
Pukul 19.00, saat kapal mulai tiba, kami pun berbondong-bondong memasuki kapal dan saya tetap bersama keluarga Mama Jiba.
Seingat saya, sudah sangat lama sejak saya menaiki kapal ferry ke Bali dan juga Madura. Saya tak ingat lagi bagaimana rasanya menempuh perjalanan dengan kapal ferry.
Dan kali ini, ternyata kapal ferry menuju Waikelo adalah kapal yang sangat besar, menampung tak hanya per orangan tapi juga kendaraan dan muatan lainnya.
Menuju Pelabuhan Waikelo
Perjalanan dari Pelabuhan Sape ke Pelabuhan Waikelo ditempuh selama 7 jam perjalanan di malam hari. Masih bersama dengan keluarga Mama Jiba, awal perjalanan hingga tengah malam cukup menenangkan.