Jadilah, saya memilih untuk menyeberangi lautan luas melalui Pelabuhan Sape di Kota Bima untuk kemudian menuju Pelabuhan Waikelo di Sumba Barat.
Tak saya sangka, perjalanan dengan bus malam menuju Kota Bima ternyata menempuh jalanan yang berkelok-kelok bak memutari pegunungan. Untungnya saya tak mabok darat karena lebih memilih untuk terlelap sepanjang malam.
Pagi harinya, tepat pukul 05.00 pagi, tibalah bus antar kota ini di terminal Kota Bima. Terminal yang cukup kecil dan, karena masih pagi, gelap gulita.
Saya pun menghampiri Kak Okan dan kami langsung melanjutkan perjalanan kembali dengan kendaraan umum (mobil Elf) menuju Pelabuhan Sape.
Saya sudah mencari informasi tentang jadwal keberangkatan kapal dari Pelabuhan Sape ke Waikelo, yakni jadwal kapal adalah pukul 21.00. Dengan gampangnya saat itu saya pikir saya bisa menunggu di pelabuhan saja. Tapi ternyata, pelabuhannya sangat sepi, tak seramai Pelabuhan Pototano Sumbawa.
Tak bisa banyak berpikir lagi, saya putuskan untuk berdiam diri saja di pelabuhan hingga malam tiba.
Sementara Kak Okan, yang hendak pulang kampung, memiliki tujuan yang berbeda dengan saya, yakni Pelabuhan Labuan Bajo. Sayangnya, jadwal kapal yang seharusnya pukul 07.30 saat itu mengalami gangguan dan tidak jadi berangkat dari Pelabuhan Sape. Dia pun harus menginap di Kota Bima hingga keberangkatan di hari berikutnya.
Melihat kegusaran para calon penumpang yang gagal melaut ke Labuan Bajo, saya sempat khawatir juga jika kapal ke Waikelo tidak jadi berangkat. Hal ini tidak lain karena saya tak punya rencana lain saat itu selain bertandang ke tanah Sumba.
Sambil harap-harap cemas, saya ajak seseorang di samping saya berbincang-bincang, mencari teman untuk ke Waikelo bersama. Namun sayangnya, hampir semua penumpang bertujuan ke Labuan Bajo.
Harapan untuk memiliki teman perjalanan ke Sumba pun sirna seketika. Perasaan semakin resah dan gelisah mengingat sudah banyak yang mengingatkan saya tentang tanah Sumba yang tak ramah pengunjung.
Melihat saya yang agak kebingungan, seorang lelaki muda yang saya ajak berbincang pun berbaik hati menawarkan jika saya hendak menunggu kapal di rumah bibinya saja. Kebetulan lelaki muda ini, Mas Jurais, adalah salah satu korban pembatalan kapal ke Labuan Bajo. Beliau menceritakan bahwa bibinya, yang tak pernah ia temui juga, tinggal di dekat Pelabuhan Sape.