“Pokoknya aku mau pindah lagi, Win!”
Aku memandang wajah Siska dengan kening berkerut. “Pindah lagi? Kemana?”
“Rencana sih, ke daerah Cipinang Besar. Kayaknya di sana ada kontrakan yang lumayan murah. Daerahnya juga lebih tenang dan aman,” jawab Siska bersemangat.
“Aman dari apa dulu? Sepertinya ini adalah kepindahanmu yang ketiga kali. Dan alasanmu selalu saja karena merasa tidak aman,” kataku setengah menyindir.
Siska manyun. “Kamu kok gitu sih sama aku? Kamu sahabatku nggak, sih?”
Aku jadi tersenyum. “Habis aku heran banget sama kamu. Pindah kok kayak ujian mid semester, tiap tiga bulan sekali. Apa nggak repot, tuh?”
“Ya, repot juga. Tapi ini kan demi keamanan, Win! Keamanan rumah tanggaku. Seharusnya kamu menghargai usahaku, dong!” ujar Siska masih agak manyun.
“Iya deh, iya. Aku salut melihat usahamu itu. Tapi apa itu nggak berlebihan?”
“Berlebihan gimana? Wong aku menyelamatkan suamiku dari ancaman perempuan lain, apa itu dianggap berlebihan? Kamu sih enak, suamimu nggak pernah dilirik perempuan lain.”
Aku diam sejenak, menatap wajah Siska yang tampak gusar. Harus kuakui, Herman, suami Siska, memang ganteng. Sangat ganteng malah. Wajar jika banyak perempuan yang tak puas meliriknya sekali dua kali saja. Dan Herman juga tipe orang yang sangat ramah, gampang menebar senyum pada siapa saja.
Tapi Siska juga perempuan yang cantik. Kulitnya putih bersih, dengan raut wajah agak kearab-araban. Rambutnya terurai panjang, dan jika tersenyum kelihatan dua lesung pipit di pipinya yang padat berisi. Kurang apalagi dia sebagai perempuan? Makanya ketika dia menikah dengan Herman setahun yang lalu, aku seperti melihat pasangan paling serasi di dunia.
“Okelah, sekarang kamu pindah lagi. Tapi apakah kamu yakin di sana tidak ada perempuan cantik yang akan melirik suamimu?” tanyaku akhirnya.
“Mudah-mudahan sih nggak ada,” jawab Siska sambil meneguk es jeruk yang kuhidangkan.
“Maksudku, apa tidak sebaiknya kamu survey aja dulu ke sana, biar pasti.”
“Eh, kamu ngeledek aku, ya? Masa aku pakai acara survey segala? Kayak mau ngapain aja,” seru Siska agak sewot.
Aku tertawa. “Jangan marah dong, Say! Ini kan cuma pikiranku aja, agar nanti kamu nggak perlu pindah-pindah lagi.”
“Ah, aku nggak mau tahu. Yang penting aku keluar dulu dari rumahku yang sekarang. Aku sudah muak melihat wajah gadis sebelah itu, hampir tiap pagi dia mejeng di depan rumahnya hanya untuk bisa menyapa suamiku. Itu kan cuma alasan dia aja biar bisa menggoda Herman,” kata Siska dengan raut tidak senang.
“Tapi sekadar menyapa kan tidak masalah, Sis. Namanya juga tetangga.”
“Wah, ini nih yang harus diluruskan. Pikiranmu itu terlalu singkat, Win! Kamu itu harus paham satu hal, bahwa lelaki itu ibarat kucing, meski sudah dikasih makan di rumah, ketemu bangkai di luar tetap aja disabet!”
“Tapi kan nggak semua laki-laki kayak gitu.”
“Winda, Winda,” Siska menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu itu terlalu naif, tahu nggak? Di zaman sekarang, mana ada lelaki yang tahan godaan? Yang kelihatannya alim pun sudah nggak bisa dipercaya. Mereka pakai alasan poligami lah untuk memuluskan nafsunya, padahal itu cuma kedok! Biar para istri diam tak berkutik!”
Aku tersenyum. “Oke, deh. Sekarang apa yang bisa kubantu?”
“Kamu cukup bantu doa aja. Semoga di tempat baru nanti, hidupku jadi lebih tenang dan aman,” jawab Siska yakin. Akupun mengangguk sambil meneguk minumanku.
@@@
“Win, kayaknya aku nggak betah deh, di sini.”
“Lho, kenapa lagi? Kan baru dua bulan kamu tinggal di sana?” tanyaku sambil merapatkan gagang telepon ke telinga.
“Tahu nggak, pemilik kontrakanku yang sekarang ini punya anak gadis. Masih kuliah di Trisakti. Wajahnya sih nggak cantik-cantik amat, tapi ganjennya itu, lho! Sebagai anak pemilik kontrakan, dia sepertinya leluasa banget berhubungan sama kami. Aku kan serba salah juga. Mana Herman orangnya kelewat ramah lagi!” Suara Siska di seberang sana terdengar geram.
Aku menghela napas panjang. Sepertinya aku sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan kami ini.
“Sekarang gini aja deh, Win. Tolong kamu cariin aku kontrakan di sekitar tempat tinggalmu itu. Kalau bisa jangan jauh-jauh dari kamu.”
“Kamu mau pindah ke sini?” ulangku meyakinkan.
“Iya. Aku sudah capek pindah kesana-kemari. Mending yang dekat kamu aja, deh!”
“Kamu yakin, Sis?”
“Aduh, Win! Aku serius, nih. Rasanya kalau kita tinggal dekatan hatiku terasa lebih tenang. Aku bisa main ke rumahmu kapan saja aku suka. Mau curhat, mau belajar masak, mau apa aja kan gampang,” kata Siska meyakinkan.
“Hm... sebenarnya tetangga sebelah rumahku mau pindah bulan depan. Kalau kamu mau, ya di sana aja,” jawabku.
“Wah! Benar, Win? Kalo gitu, aku mau deh, mau! Dipanjarin dulu ya, ntar kuganti.”
Akhirnya aku meletakkan gagang telepon dengan helaan napas dalam. Cemburu. Siapa sih, yang tidak punya rasa cemburu? Aku juga sering mengalami hal itu, terlebih ketika suamiku bercerita tentang teman-teman perempuannya yang suka curhat ke dia. Apalagi suamiku tidak jauh berbeda sifatnya dengan suami Siska, orangnya ramah dan terbuka pada siapa saja.
Dalam hati aku selalu bertanya, kenapa perempuan-perempuan itu harus curhat ke suamiku? Kenapa tidak ke sesama perempuan saja? Okelah, mungkin sebagian orang merasa bahwa curhat pada lawan jenis itu lebih asyik dan meyakinkan. Tapi kenapa harus pada mereka yang sudah berkeluarga? Kenapa tidak pada mereka yang masih lajang? Apakah karena mereka pikir orang yang sudah menikah itu memiliki pandangan yang lebih dewasa dan mampu memberi solusi? Entahlah. Tapi seingatku, sejak dulu aku tak pernah tertarik curhat-curhatan pada lawan jenis, apalagi pada lelaki yang sudah menikah. Tabu, begitu kata ibuku.
Namun, cemburu yang berlebihan hingga harus pindah-pindah rumah seperti Siska? Kurasa aku belum separah itu. Setidaknya aku selalu berpikir bahwa suamiku masih cukup bisa dipercaya, masih bisa menjaga perasaanku sebagai istrinya dan masih tahu mana yang harus jadi prioritas dalam hidupnya. Ya, sampai detik ini aku masih percaya.
@@@
“Win,” Siska duduk di hadapanku dengan wajah berkabut. Genap sudah sebulan ia jadi tetanggaku dan setahuku ia terlihat baik-baik saja. Jadi, apalagi yang membuat wajah cantiknya terlihat muram?
“Apakah... wanita yang sedang hamil itu terlihat begitu menarik di mata lelaki?” tanya Siska sambil menatapku.
“Hm, gimana, ya? Mungkin aja sih, terlebih bagi suaminya sendiri yang tentu begitu bangga dan mengharapkan kehadiran anak mereka,” jawabku sekenanya. “Memangnya kenapa, Sis? Kamu ingin hamil?”
“Bukan begitu. Aku... aku tidak tahu apakah aku pantas marah padamu, atau kamukah yang lebih pantas marah padaku.”
“Maksudmu apa sih, Sis? Aku bingung, nih!”
“Herman. Dia hampir tiap pagi memandangimu membeli sayur, hanya untuk mengagumi perutmu yang buncit itu. Katanya, perempuan hamil itu sangat menarik untuk diamati.” Selesai mengucapkan kalimat itu, kulihat mata Siska berkaca-kaca.
“Oya?” Aku membulatkan mata, terkejut.
“Win, aku sangat percaya sama kamu. Kamu sahabatku. Tapi... aku sangat benci melihat kelakuan Herman yang seperti itu,” ujar Siska serak.
Aha! Kini aku tahu kenapa belakangan ini suamiku sering terlihat sewot dan sinis pada suami Siska. Rupanya suamiku lebih jeli dari aku. Aku malah tidak sadar kalau diam-diam ada seseorang yang selalu mengamatiku. Aku benar-benar baru sadar sekarang, apa yang menyebabkan suamiku jadi berubah aneh akhir-akhir ini. Rupanya dia sedang cemburu! Hm, jadi kata siapa cemburu itu hanya mendominasi kaum perempuan?
Aku masih terdiam mematung di tempat dudukku ketika kulihat Siska mulai tersedu. Perlahan aku pindah, duduk di sampingnya. Memeluk dan membelai bahunya dengan lembut.
“Sis, maafkan aku, ya. Aku tidak tahu kalau suamimu sering mengamatiku. Tapi kalau boleh aku ngasih saran, tolong redam sedikit rasa cemburumu. Suamimu pasti bingung menghadapimu jika kamu kayak gini terus,” kataku menenangkan.
Siska hanya diam sambil menyusut air matanya.
“Satu hal yang harus kita ingat adalah, bahwa rasa cemburu itu bisa membakar kita jika tidak dikendalikan. Padahal ada hal lain yang lebih penting dari itu, yaitu kepercayaan. Berilah kepercayaan pada suamimu untuk membuktikan bahwa ia adalah suami yang setia dan menyayangimu sepenuh hati. Tanpa itu, kamu tidak akan pernah tenang, Sis,” ujarku lagi panjang lebar.
Ya, kepercayaan! Itulah yang kucoba terapkan selama ini terhadap suamiku. Dan bagiku, memberi kepercayaan pada orang yang masih tahu menghargai perasaanku adalah sebuah keharusan. Sebab satu-satunya yang menjadi prioritas hidupku saat ini adalah pernikahanku, jangan sampai kandas di tengah jalan.
Entahlah jika memang aku telah kehilangan daya untuk mempertahankannya. Dan itu semua sangat tergantung pada suamiku juga, apakah dia berada pada posisi yang sama denganku atau malah berseberangan. Apakah dia serius dengan pernikahan ini atau hanya ingin bermain-main, maka waktulah yang akan menentukan kelak.
“Tapi...” Siska menatapku ragu.
“Aku sahabatmu. Jadi percayalah untuk kali ini. Suamimu akan baik-baik saja. Malah mungkin suamiku yang sepertinya dalam kondisi tidak baik,” imbuhku lagi.
“Maksudmu?” Siska mengerutkan alisnya.
Aku tertawa. “Nggak, kok. Yah, siapa tahu saja dia tergoda melihat sahabatku yang cantik ini. Kan bisa berabe urusannya.”
Siska jadi ikut tersenyum sambil menjawil pipiku. (NSR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H