“Okelah, sekarang kamu pindah lagi. Tapi apakah kamu yakin di sana tidak ada perempuan cantik yang akan melirik suamimu?” tanyaku akhirnya.
“Mudah-mudahan sih nggak ada,” jawab Siska sambil meneguk es jeruk yang kuhidangkan.
“Maksudku, apa tidak sebaiknya kamu survey aja dulu ke sana, biar pasti.”
“Eh, kamu ngeledek aku, ya? Masa aku pakai acara survey segala? Kayak mau ngapain aja,” seru Siska agak sewot.
Aku tertawa. “Jangan marah dong, Say! Ini kan cuma pikiranku aja, agar nanti kamu nggak perlu pindah-pindah lagi.”
“Ah, aku nggak mau tahu. Yang penting aku keluar dulu dari rumahku yang sekarang. Aku sudah muak melihat wajah gadis sebelah itu, hampir tiap pagi dia mejeng di depan rumahnya hanya untuk bisa menyapa suamiku. Itu kan cuma alasan dia aja biar bisa menggoda Herman,” kata Siska dengan raut tidak senang.
“Tapi sekadar menyapa kan tidak masalah, Sis. Namanya juga tetangga.”
“Wah, ini nih yang harus diluruskan. Pikiranmu itu terlalu singkat, Win! Kamu itu harus paham satu hal, bahwa lelaki itu ibarat kucing, meski sudah dikasih makan di rumah, ketemu bangkai di luar tetap aja disabet!”
“Tapi kan nggak semua laki-laki kayak gitu.”
“Winda, Winda,” Siska menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu itu terlalu naif, tahu nggak? Di zaman sekarang, mana ada lelaki yang tahan godaan? Yang kelihatannya alim pun sudah nggak bisa dipercaya. Mereka pakai alasan poligami lah untuk memuluskan nafsunya, padahal itu cuma kedok! Biar para istri diam tak berkutik!”
Aku tersenyum. “Oke, deh. Sekarang apa yang bisa kubantu?”