“Herman. Dia hampir tiap pagi memandangimu membeli sayur, hanya untuk mengagumi perutmu yang buncit itu. Katanya, perempuan hamil itu sangat menarik untuk diamati.” Selesai mengucapkan kalimat itu, kulihat mata Siska berkaca-kaca.
“Oya?” Aku membulatkan mata, terkejut.
“Win, aku sangat percaya sama kamu. Kamu sahabatku. Tapi... aku sangat benci melihat kelakuan Herman yang seperti itu,” ujar Siska serak.
Aha! Kini aku tahu kenapa belakangan ini suamiku sering terlihat sewot dan sinis pada suami Siska. Rupanya suamiku lebih jeli dari aku. Aku malah tidak sadar kalau diam-diam ada seseorang yang selalu mengamatiku. Aku benar-benar baru sadar sekarang, apa yang menyebabkan suamiku jadi berubah aneh akhir-akhir ini. Rupanya dia sedang cemburu! Hm, jadi kata siapa cemburu itu hanya mendominasi kaum perempuan?
Aku masih terdiam mematung di tempat dudukku ketika kulihat Siska mulai tersedu. Perlahan aku pindah, duduk di sampingnya. Memeluk dan membelai bahunya dengan lembut.
“Sis, maafkan aku, ya. Aku tidak tahu kalau suamimu sering mengamatiku. Tapi kalau boleh aku ngasih saran, tolong redam sedikit rasa cemburumu. Suamimu pasti bingung menghadapimu jika kamu kayak gini terus,” kataku menenangkan.
Siska hanya diam sambil menyusut air matanya.
“Satu hal yang harus kita ingat adalah, bahwa rasa cemburu itu bisa membakar kita jika tidak dikendalikan. Padahal ada hal lain yang lebih penting dari itu, yaitu kepercayaan. Berilah kepercayaan pada suamimu untuk membuktikan bahwa ia adalah suami yang setia dan menyayangimu sepenuh hati. Tanpa itu, kamu tidak akan pernah tenang, Sis,” ujarku lagi panjang lebar.
Ya, kepercayaan! Itulah yang kucoba terapkan selama ini terhadap suamiku. Dan bagiku, memberi kepercayaan pada orang yang masih tahu menghargai perasaanku adalah sebuah keharusan. Sebab satu-satunya yang menjadi prioritas hidupku saat ini adalah pernikahanku, jangan sampai kandas di tengah jalan.
Entahlah jika memang aku telah kehilangan daya untuk mempertahankannya. Dan itu semua sangat tergantung pada suamiku juga, apakah dia berada pada posisi yang sama denganku atau malah berseberangan. Apakah dia serius dengan pernikahan ini atau hanya ingin bermain-main, maka waktulah yang akan menentukan kelak.
“Tapi...” Siska menatapku ragu.