“Kamu cukup bantu doa aja. Semoga di tempat baru nanti, hidupku jadi lebih tenang dan aman,” jawab Siska yakin. Akupun mengangguk sambil meneguk minumanku.
@@@
“Win, kayaknya aku nggak betah deh, di sini.”
“Lho, kenapa lagi? Kan baru dua bulan kamu tinggal di sana?” tanyaku sambil merapatkan gagang telepon ke telinga.
“Tahu nggak, pemilik kontrakanku yang sekarang ini punya anak gadis. Masih kuliah di Trisakti. Wajahnya sih nggak cantik-cantik amat, tapi ganjennya itu, lho! Sebagai anak pemilik kontrakan, dia sepertinya leluasa banget berhubungan sama kami. Aku kan serba salah juga. Mana Herman orangnya kelewat ramah lagi!” Suara Siska di seberang sana terdengar geram.
Aku menghela napas panjang. Sepertinya aku sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan kami ini.
“Sekarang gini aja deh, Win. Tolong kamu cariin aku kontrakan di sekitar tempat tinggalmu itu. Kalau bisa jangan jauh-jauh dari kamu.”
“Kamu mau pindah ke sini?” ulangku meyakinkan.
“Iya. Aku sudah capek pindah kesana-kemari. Mending yang dekat kamu aja, deh!”
“Kamu yakin, Sis?”
“Aduh, Win! Aku serius, nih. Rasanya kalau kita tinggal dekatan hatiku terasa lebih tenang. Aku bisa main ke rumahmu kapan saja aku suka. Mau curhat, mau belajar masak, mau apa aja kan gampang,” kata Siska meyakinkan.