Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menguak Riak Singkarak

6 Januari 2015   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Haji Munif menatap mata Datuk Pakih dalam-dalam. Mata seorang kepala suku yang begitu tulus ingin membela dan menyelamatkan keselamatannya. “Datuk, tenangkan diri Datuk terlebih dahulu. Tarik napas dalam-dalam dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya. Sebentar lagi waktu Subuh akan masuk. Jika Datuk mau, pergilah ambil air wudhu dan mari kita shalat berjamaah.”

Datuk Pakih tertegun di atas kedua tungkainya yang kokoh.

“Bagaimana, Datuk?” tanya Haji Munif sambil melilitkan serban tipis di kepalanya. Begitulah kebiasaan beliau tiap kali hendak shalat.

“Saya akan ambil air wudhu dulu. Tapi setelah itu saya akan berjaga-jaga di depan pintu dan Angku Haji bisa shalat duluan. Saya akan shalat setelah Angku Haji. Oya, boleh saya meminjam peci Angku Haji untuk shalat nanti?” tanya Datuk Pakih.

Haji Munif tersenyum sambil menyerahkan peci putihnya ke tangan Datuk Pakih.

“Terimakasih, Angku Haji.” Datuk Pakih membalik, kembali menuruni tangga. Tidak lama kemudian ia sudah muncul lagi di kepala tangga dengan wajah basah tersiram air wudhu. “Silakan Angku Haji shalat duluan! Saya akan tetap berjaga-jaga di sini.”

Waktu berjalan seperti detak jantung. Begitu mendebarkan. Haji Munif telah tenggelam dalam tariqah panjangnya yang khusyuk. Ia benar-benar melabuhkan segenap kesadarannya pada satu Dzat yang agung, yang membuatnya tak lagi sadar bahwa Datuk Pakih telah turun lagi dari rumah dan berdiri tegap di halaman, menghadapi para veldpolitie dengan wajah garang.

“Tolong jangan ada yang berani maju lagi!” Suara Datuk Pakih terdengar tegas. Jaraknya kini sekitar empat meter dari para veldpolitie itu.

“Siapa kau?!” tanya salah seorang dari veldpolitie yang berkumis tebal. Sepertinya dia adalah pimpinan dalam kelompok bersenjata itu. Matanya menyipit mencoba mengenali sosok yang memakai peci putih tersebut. Suasana pagi yang masih agak gelap membuat para veldpolitie itu sulit mengenalinya.

“Lihat peci putih itu, pasti dia orangnya,” bisik salah seorang veldpolitie pada lelaki berkumis tadi.

“Aku adalah orang yang siap melindungi rakyat dengan cara apapun!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun