Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menguak Riak Singkarak

6 Januari 2015   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Beberapa hari yang lalu, sebanyak puluhan orang penghulu suku ditahan Belanda di Bukittinggi karena dituduh tidak lancar menagih pajak pada rakyat. Lalu seorang kepala lareh di Candung dipecat dengan tidak hormat karena dianggap gagal menggulung kelompok penentang pajak,” jelas Datuk Pakih.

Haji Munif menyimak dengan seksama. Ia sendiri sudah menduga akan terjadi hal-hal semacam itu. Pemerintah Belanda tidak akan tinggal diam ketika setoran pajak berjalan tersendat. Kaum penjajah itu sudah terkenal dengan sikap mereka yang mau menang sendiri dan menjatuhkan hukuman seenak perut mereka.

“Kami para penghulu suku yang masih memiliki rasa persaudaraan dan kemanusiaan, merasa serba salah, Angku Haji. Apa sebaiknya yang kami lakukan? Di satu sisi kami terus ditekan oleh pihak Pemerintah Belanda, dan di sisi lain kami juga tidak tega memaksa rakyat,” kata Datuk Pakih lagi.

Haji Munif menarik napas sejenak. “Datuk, saya menghargai sikap para penghulu suku yang masih mengerti kesulitan rakyat. Jangan sampai para penghulu suku bersikap seperti kepala lareh di Padang Panjang yang menutup jalan umum bagi mereka yang belum membayar pajak. Atau seperti asisten demang yang seenaknya memborgol mereka yang belum melunasi pajak. Dan yang lebih kejam lagi, asisten demang di Kambang tega menendang rakyat hingga mati karena tak sanggup membayar pajak.”

“Benar, Angku Haji! Bahkan saya sempat mendapat kabar belum lama ini, bahwa ada seorang lelaki yang patah tulang rusuknya akibat ditendang,” imbuh Datuk Pakih prihatin.

“Datuk kenal si Magek?” tanya Haji Munif.

“Magek Sijobang?”

“Ya. Kemarin dia ditemukan mati gantung diri. Menurut keluarganya ia bunuh diri karena tak kuat menahan malu akibat ditendang seorang opas di depan orang banyak.”

“Innalillahi…” Datuk Pakih menggeleng jeri.

“Kemarin petang saya datang ke rumah Datuk Malelo menanyakan masalah ini. Tapi sepertinya dia tidak begitu bisa diharapkan. Hidupnya sangat tergantung pada Belanda, bukan pada Allah lagi,” ujar Haji Munif.

“Lalu menurut Angku Haji, apa sebaiknya yang kita lakukan? Apakah kita perlu melakukan gugatan atau permohonan kepada Pemerintah Belanda agar menghapuskan peraturan baru itu, terutama di daerah Singkarak yang sangat miskin ini?” tanya Datuk Pakih mengusul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun