Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menguak Riak Singkarak

6 Januari 2015   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Apakah belum cukup penderitaan yang dialami rakyat selama ini? Sementara kalian, para penghulu suku yang seharusnya melindungi rakyat sendiri, malah mencari keuntungan di atas penderitaan mereka! Jangan sampai rakyat menghakimi para penghulu sukunya sendiri akibat kezaliman yang mereka terima!” kecam Haji Munif sebelum berlalu dari halaman rumah Datuk Malelo.

Dan kini, dalam kesendiriannya, Haji Munif merasa sangat teriris membayangkan betapa terzaliminya rakyat akibat peraturan pajak yang baru itu. Dan lebih miris lagi, membayangkan bahwa yang lebih menunjukkan kesewenang-wenangan itu adalah orang pribumi sendiri, yaitu para penghulu suku, kepala nagari, kepala lareh dan kaki tangan Belanda lainnya yang jelas-jelas berdarah Minang, sama seperti rakyatnya.

Dan Haji Munif, adalah satu-satunya orang yang bebas pajak di daerah itu. Bukan karena tidak mampu membayar tapi karena prinsipnya yang kuat. Baginya, membayar pajak pada Belanda adalah haram karena itu adalah kezaliman terhadap rakyat. Ia lebih suka membantu rakyat yang kelaparan daripada harus menyetor uangnya untuk penjajah. Bahkan ia tak segan-segan mengusir para penagih pajak yang datang ke rumahnya.

“Kalian telah membantu penjajah zalim itu untuk menindas rakyat! Kalian lebih patuh pada perintah orang-orang kafir itu dan mengabaikan hukum Allah!” serunya ketika kepala nagari datang menegur sikap Haji Munif yang keras dan menentang peraturan pajak itu.

Tapi memang demikianlah Haji Munif. Ia tak pernah sudi membayar sepeser pun atas nama pajak. Ia juga dibebaskan dari kerja rodi karena dianggap sudah sangat tua, meski tubuhnya terlihat masih tegap. Padahal bagi mereka yang tidak ikut kerja rodi, ada kewajiban lain yang menunggu yaitu membayar denda 8 gulden. Jadi sebenarnya ada dua beban yang harus ditanggung rakyat ketika itu, yaitu pajak dan kerja rodi. Namun Haji Munif tak pernah sudi membayar satupun dari bentuk pungutan itu.

@@@

Keesokan harinya, seorang penghulu suku datang menghadap Haji Munif di rumahnya. Ia adalah Datuk Pakih, yang menjadi Penghulu Suku Bodi.

“Kedatangan saya ke rumah Angku Haji ini berkaitan dengan masalah rakyat yang sedang genting saat ini,” kata Datuk Pakih sambil duduk bersila di hadapan Haji Munif.

“Maksud Datuk masalah pajak?” tanya Haji Munif memperjelas.

Datuk Pakih mengangguk. “Benar, Angku Haji. Saya ingin melaporkan beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini.”

“Bicaralah, Datuk!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun