Haji Munif terdiam seperti bepikir keras. Dan beberapa saat kemudian ia menggeleng lemah. “Itu tidak mungkin, Datuk. Belanda saat ini sangat menggantungkan hidup mereka pada pajak.”
Datuk Pakih kini ikut terdiam untuk beberapa jenak. Ada keresahan membaur dalam kerutan keningnya yang juga sudah mulai menua. “Angku Haji…”
“Datuk ada usul lain?” tanya Haji Munif melihat keraguan membias di mata Datuk Pakih.
“Bukan usul, Angku Haji, tapi…” Datuk Pakih kembali menatap wajah Haji Munif dengan sirat keraguan yang masih terlihat jelas.
“Tidak usah ragu, Datuk. Apa yang ingin Datuk sampaikan?” tanya Haji Munif dengan raut tenang.
“Saya… saya mendengar dari seorang penduduk bahwa Demang Singkarak mendapat perintah dari atas untuk menyelidiki kenapa penduduk di daerah ini sangat enggan membayar pajak. Pihak pemerintah yakin ada yang menghasut penduduk. Dan…” Kalimat Datuk Pakih kembali menggantung ragu.
“Lanjutkan, Datuk!”
“Dan sepertinya Demang mencurigai Angku Haji.” Kepala Datuk Pakih tertunduk.
Haji Munif menatap sosok di hadapannya dengan nanar, sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Lalu apa yang akan dilakukan Demang terhadap saya?”
“Dia akan mengutus seorang dubalang ke kampung ini dalam beberapa hari, Angku Haji.” Datuk Pakih seperti sulit mengangkat wajahnya untuk menatap Haji Munif. Ia tidak tega membayangkan orang serenta Haji Munif ditangkap dan digelandang ke penjara yang penuh derita.
“Datuk, perjalanan hidup seseorang telah tergaris sejak dari azalinya. Jika memang hidup saya harus berakhir dengan cara seperti ini, maka itulah yang terbaik buat saya. Karena pada hakikatnya kematian saya bukanlah di tangan orang-orang kafir itu, melainkan di atas perjuangan dan pembelaan saya terhadap prinsip-prinsip agama,” tegas Haji Munif mantap.