Dua tahun sudah selama ini Hana bekerja sebagai salah satu tukang masak di sebuah restoran. Restoran keluarga yang cukup dikenal di kalangan menengah ke atas.Â
Sebuah keajaiban jika seorang Hana yang tadinya hanya mau bekerja di balik layar komputer, kini justru bekerja di depan kompor setiap hari.Â
Apalagi sebelum bekerja di restoran itu, ia hanya satu dua kali saja membantu ibunya memasak di rumah. Punya latar belakang pendidikan tata boga, juga tidak. Siapa sangka, jika tekad sudah bulat, bakat terpendam pun akhirnya tampak juga.
Hingga akhirnya ia dipercaya menjadi salah satu tukang masak di antara empat orang tukang masak di dapur restoran itu. Bukan main, padahal bagi kebanyakan orang, cukup sulit untuk dapat tembus bekerja di restoran itu. Entah dari mana Hana membawa dewi fortuna bersamanya.
Sekarang sudah bulan tujuh. Peramal di Kota Tua waktu itu mengatakan padanya, kalau di bulan tujuh nanti Hana akan bertemu dengan seseorang dari masa lalunya.Â
Namun, ia tak tahu bahwa setelah ia beranjak menjauh dari kakek peramal itu, si kakek masih memandangi punggungnya sambil mengatakan, "Luka. Orang yang pernah melukaimu akan kembali. Hahaha..." menunjukkan keyakinan penuh akan ramalannya sendiri.
Sementara, Hana tak pernah lagi memikirkan hal itu. Karena ia tak ingin terlalu percaya pada hal-hal seperti itu. Hana cuma iseng saat menghampiri kakek peramal waktu itu. Ia tak sadar, tak lama lagi ucapan kakek itu akan menjadi kenyataan.
Pak Sam terlalu bersemangat mendorong pintu dapur, membuat semua mata tertuju padanya pagi itu. Menghentikan sejenak kegiatan tim dapur yang sedang bersiap-siap, merapikan tampilan dirinya masing-masing untuk mulai bekerja.
"Ayo, semua berdiri yang rapi! Pak Hendra mau kesini ngenalin manajer yang baru."
Tim dapur saling pandang satu sama lain, sedangkan Hana baru ingat dirinya belum memasang name tag di dada kirinya. Ketika semua orang telah berdiri rapi membentuk barisan di samping dan di belakang tubuhnya, Hana masih menunduk.Â
Tampaknya ia agak kesulitan mengaitkan peniti name tag itu di seragam kokinya. Hingga tibalah Hendra, pemilik restoran itu hadir di hadapan mereka bersama seorang lelaki yang wajahnya tentu masih asing bagi para tim dapur, kecuali Hana.
Hendra menepuk tangan meminta perhatian semua tim dapur. Dan saat itu juga, Hana yang masih tersenyum setelah berhasil memasang name tagnya, lantas mendongak untuk memandang ke depan. Dan senyumnya perlahan pudar.
"Pagi semuanya, saya mau kenalin ini manajer kita yang baru. Namanya Pak Aditia."
Sementara lelaki yang berdiri di samping Hendra, malah beradu pandang dengan Hana. Meski begitu, lelaki itu sadar bahwa saat ini waktunya ia memperkenalkan diri. Ia pun mengalihkan pandangannya kepada tim dapur yang lainnya.
"Pagi semuanya, saya Aditia. Saya menggantikan manajer yang lalu. Saya harap kita dapat bekerjasama dengan baik."
"Oke. Kalau mau kenalan satu persatu, nanti bisa sambil jalan saja ya. Kalau ada kepentingan bisa temui Pak Adit di ruangan manajer. Sekarang sudah cukup siang, sudah waktunya kalian mulai mempersiapkan pekerjaan hari ini." ucap Hendra dan diangguki kompak oleh semua yang ada di hadapannya.
"Apa-apaan ini. Berarti setiap hari gue harus ketemu dia. Oke! Jangan lo pikir, gue mau ngomong sama lo." batin Hana. Wanita tiga puluh tahunan itu mengaduh dalam hati.
Sejak hari itu dirinya selalu menghindar tiap kali berpapasan dengan Aditia. Begitu juga lelaki itu, yang tak pernah berani menegur sapa terlebih dulu kepada Hana.Â
Keduanya tampak seperti orang bodoh tiap berpapasan di lorong restoran. Dan Hana selalu saja, hanya berfokus pada wajan di hadapannya tiap kali Aditia mengecek kondisi dapur.
Tiga puluh hari pun berlalu, ada yang lain dalam hari-hari Hana sejak kedatangan Aditia di restoran itu. Hana jadi sering melamun, masih tak percaya bahwa Aditia yang sangat dicintainya ada di depan mata. Aditia yang selalu dirindukannya. Aditia yang hanya bisa memberinya harapan palsu. Aditia yang tak pernah bisa membalas perasaannya.
Kini Aditia yang sudah jadi suami orang, muncul entah dari mana, bagaikan bangkit dari alam kubur. Tak sadarkah lelaki itu bahwa dirinya telah sangat melukai hati Hana, rasa pedih yang menyeruak hingga ke serat-serat luka dalam jiwa wanita itu.Â
Aditia tak pernah tahu, betapa hancurnya Hana saat tak sengaja mengetahui dirinya telah menikah tiga tahun yang lalu.Â
Padahal, Hana masih selalu berharap Aditia membalas cintanya yang sudah ia rasakan sejak sepuluh tahun lalu. Masih bagus Hana tidak jadi gila atau bahkan bunuh diri.
"Nis, tunggu Nis! Ini bukunya Hana, kamu yang bawa kesini?"
"Hmm... Iya Pak, maaf. Soalnya Mba Hana titip ke saya. Katanya, dia sibuk."
"Ini kan buku evaluasi masing-masing. Harusnya dia antar sendiri ke saya. Tolong sampaikan ke Hana, kalau sudah ngga sibuk temui saya ya."
"Ah... Jadi gitu ya? Gue harus anterin sendiri bukunya?" tanya Hana ketika Anisa menyampaikan pesan dari Aditia untuknya.
"Biasanya kan juga gitu Mba sama manajer yang dulu."
Hana menghela nafas, kali ini satu hidangan telah selesai dibuatnya. Ia pun lekas memaksakan diri memenuhi panggilan manajer baru itu.
Aditia tertegun mendapati Hana telah berdiri dengan tangan terkait di balik tubuhnya.
"Kata Nisa, kamu panggil saya?" tanya Hana dengan sikap tenangnya seolah tak pernah ada masalah apa-apa di antara mereka.
"Ya," angguk Aditia tanpa ekspresi.
"Ada apa ya? Saya sibuk."
"Bisa duduk dulu?"
"Ngga bisa. Ada apa ya?"
Aditia pun menghela nafas, "Oke. Ini buku evaluasi kamu, soal pekerjaan sudah kamu tulis, tapi kritik saran yang saya minta tulis buat saya... kenapa ngga ada ya? Tim dapur yang lain sudah hampir semuanya kasih ke saya."
"Oh, itu. Hmm... Ngga ada yang menarik untuk saya tulis."
"Maksudnya?"
"Iya, ngga menarik untuk ditulis."
Dalam hitungan detik, kecerdasan lelaki itu mampu menangkap maksud ucapan Hana. Aditia hanya mampu terdiam.
"Sudah? Saya permisi." seketika Hana membalikkan tubuhnya hendak keluar dari ruangan itu.
"HANA!"
"Ya?" wanita berseragam koki itu menoleh kepadanya.
"Maaf. Maafin aku Han."
Hana tersenyum kecut, "Maaf buat apa? Kamu ngga salah. Aku yang salah, udah suka sama kamu." Hana langsung pergi, sebelum air matanya keluar. Ia tak sanggup, tak ingin lagi bicara dengan Aditia.
Di dalam sana, lelaki berkemeja biru itu hanya dapat terdiam, ia menyesali sikapnya yang dulu tak pernah memberi Hana kesempatan. Ia sangat menyesal telah memberikan luka pada wanita setulus Hana.Â
Sejak bertemu kembali hingga hari ini Aditia sering memperhatikan Hana diam-diam. Hingga dirinya mulai jatuh hati kepada Hana. Dan Aditia telah memutuskan untuk memendam perasaan itu diam-diam.Â
Ia masih waras dan tak pernah berfikir untuk main serong. Sama seperti Hana, yang hanya bisa diam saja. Menyimpan cintanya. Sampai kapan pun, yang ia ingat adalah "Aditia tak pernah menyukainya." ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H