Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gadis Barista

26 Desember 2023   10:39 Diperbarui: 19 Januari 2024   16:43 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bagian 1

Perkenalkan, aku Amel. Hari ini usiaku genap dua puluh tahun. Aku telah menyelesaikan sekolahku sampai di tingkat sekolah kejuruan. Dulu aku menekuni jurusan tata boga. Aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Nilai ujian praktekku juga tidak kalah memuaskan. Aku gadis yang sangat supel, mudah bergaul dan membaca situasi. Aku tahu kapan aku harus bicara dan kapan aku harus diam. Aku tahu apa yang perlu ku komentari dan apa yang tidak perlu ku komentari. Meskipun terbilang supel, aku tetap berkepribadian simpel. Aku tidak suka mencampuri urusan yang bukan urusanku.

Namun aku gadis yang selalu menaruh simpati pada keadaan genting yang terjadi di sekitarku. Bukan karena tidak mau mencampuri urusan orang, lantas aku cuek-cuek saja pada situasi yang terjadi di depan mataku. Aku tetap berusaha untuk peduli dan siap menolong jika memang pertolonganku dibutuhkan.

Perawakanku tidak terlalu tinggi. Tinggiku 158 cm, dan berat badanku saat ini 49 kg. Kulitku sawo matang, tidak putih dan tidak gelap juga. Rambut hitamku sangat tebal, aku memanjangkan rambutku yang lurus ini hingga lima sentimeter melewati bahu. Aku bukan gadis yang feminim, aku nyaris tidak pernah mengenakan rok pada keseharianku. Aku tentu lebih suka dan nyaman mengenakan celana jeans dengan atasan kaus oblong, kaus berkerah, atau kemeja. Dan untuk beraktivitas sehari-hari, aku sangat suka mengenakan sepatu kets bertali, seperti model-model Converse.

Kadang kala aku juga sangat suka mengenakan topi untuk melindungi kepalaku di perjalanan. Aku biasa menumpang transportasi umum untuk berktivitas keluar rumah. Jika harus terburu-buru, biasanya aku memilih naik ojek sebagai alternatif.

Kini aku telah bekerja di salah satu kedai kopi di daerah Blok M, Jakarta Selatan. Pekerjaan utamaku adalah tersenyum. Memberi senyuman termanisku pada setiap pelanggan yang mampir ke kedai kopi tempatku bekerja. Menawarkan dengan ramah tamah berbagai pilihan minuman atau snack yang tersedia di kedai itu. Lalu meracikkan beberapa macam jenis minuman yang dipesan oleh pelanggan. Profesi ku ini disebut barista.

Aku bersama Mama Papaku, kami tinggal di sebuah rumah sederhana di kawasan Pasar Minggu. Sejak aku lahir, kami sekeluarga sudah menempati rumah itu. Aku adalah anak tunggal mereka, satu-satunya. Mamaku seorang Ibu rumah tangga, dulu beliau seorang wanita karir, bahkan saat telah melahirkanku, Mama masih tetap bekerja setelah waktu cuti melahirkannya selesai. Nenek dari pihak Mama lah yang mengurusi segala kebutuhanku di rumah. Sampai akhirnya, seringkali saat sedang bekerja, Mama teringat akan kelucuan yang selalu ku buat, beliau seringkali merindukanku. Tidak tahan dengan perasaan itu, beliau pun memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya saat itu. Baginya, momen-momen ketika aku berusia balita sangat sayang untuk terlewatkan olehnya begitu saja.

Sedangkan Papa, beliau adalah karyawan di sebuah perusahaan kontraktor milik negara. Beliau sudah lebih dari dua puluh tahun mendedikasikan dirinya pada perusahaan tersebut. Hingga kini di usiaku yang sudah menginjak dua puluh tahun, beliau masih aktif bekerja. Masih pula sering membawa pekerjaannya sampai ke rumah untuk lekas diselesaikan. Papa sangat konsisten dengan tugasnya sebagai arsitek desain bangunan. Papaku tidak seperti kebanyakan pria lainnya yang sangat menyukai kopi. Beliau sangat jarang mau dibuatkan kopi, lebih suka teh manis katanya. Sebaliknya, Mama sejak masih remaja sangat menyukai kopi. Entah itu kopi hitam atau kopi susu. Semua minuman yang mengandung kopi di dalamnya, pasti Mama suka. Kalau aku, tidak seperti Papa ataupun Mama. Aku berada di level pertengahan, aku suka kopi, teh juga suka, apalagi sekarang sudah makin banyak olahan minuman yang mengombinasikan kopi atau teh dengan berbagai jenis susu ataupun krim.

Jam kerjaku sebagai seorang barista, bisa dikatakan fleksibel. Terbagi tiga shift. Kedai kopi kami mulai dibuka pukul tujuh pagi dan akan tutup pukul sepuluh malam. Jika kebagian jadwal masuk pagi, aku harus tiba di kedai sebelum pukul tujuh pagi, dan aku akan bebas setelah pukul empat sore. Artinya bebas, bisa langsung pulang ke rumah atau melakukan aktivitas lain di luar jam kerja. Saat kebagian shift tengah, pekerjaan akan dimulai pukul sembilan pagi sementara shift siang, aku aktif bekerja mulai pukul satu siang dan tentunya hingga pukul sepuluh malam nanti.

Setiap pulang malam, aku selalu mengandalkan jasa tukang ojek untuk mengantarku hingga di rumah. Aku pun memutuskan untuk mencari ojek langganan yang khusus mengantarku pulang saat aku kebagian jadwal shift siang. Tukang ojek langgananku ini direkomendasikan oleh bibiku yang tinggalnya tidak jauh dari tempat tinggal kami.

Di kedai kopi, kami beranggotakan enam orang personil. Ada tiga barista, yaitu aku, Faris dan Dion, serta tiga orang pramusaji yang terkadang merangkap pekerjaan membersihkan meja tamu yang kotor. Kalau untuk kebersihan seluruh area kedai, itu sudah merupakan tanggung jawab kami bersama. Kedai kami tidak terlalu besar, tentu kami masih dapat menghandlenya bersama-sama.

Meski berlatar belakang pendidikan tata boga, sebetulnya aku kurang suka memasak atau membuat macam-macam kue. Aku lebih tertarik untuk dapat menghasilkan berbagai macam jenis minuman dengan rasa yang berbeda, unik serta khas, sehingga hasil racikan tanganku itu dapat diterima oleh banyak orang, serta layak untuk dihargai. Aku sangat senang dan begitu menghargai profesiku ini. Menjadi seorang barista tidaklah semudah yang dipikirkan orang banyak.

Sebelum akhirnya diterima bekerja di kedai kopi ini, aku harus mengikuti sebuah kursus pelatihan untuk memperdalam keahlian di bidang ini. Berbagai teori serta praktek dan ujian telah aku lalui. Tidak pula mudah untuk dapat lulus dalam beberapa tahap ujian. Aku pernah mengalami kegagalan saat ujian praktek, namun berkat semangat dan kegigihanku aku masih mendapatkan kesempatan untuk dapat mengulanginya hingga mendapatkan hasil yang terbaik.

Kini sudah satu tahun sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di kedai kopi ini. Sudah berbagai macam karakter pelanggan yang ku temui di sini. Tidak jarang tingkah pelanggan yang membuat ku geleng-geleng kepala. Ya, itu karena karakter setiap pelanggan memang berbeda-beda. Suka duka menjadi seorang barista telah ku rasakan selama satu tahun terakhir ini.

Anggota personil kami di kedai ini, adalah tim yang solid. Semuanya asyik-asyik. Dapat bekerja sama dengan sangat baik dan saling pengertian, sehingga kami ber-enam sangat jarang atau bahkan tidak pernah berselisih paham satu sama lain. Aku paling dekat dengan Eka. Tubuhnya lebih gemuk dibanding tubuhku. Tingginya juga sedikit lebih pendek dariku. Rambutnya terlihat sangat tebal. Tapi sepertinya rambut kami sama-sama tebal, hanya karena jenis rambutnya yang ombak membuatnya terlihat tampak sangat tebal.

Usia Eka dua tahun lebih tua dariku, tapi dia enggan jika dipanggil dengan sebutan Kak. Dia lebih nyaman jika dipanggil cukup dengan namanya saja. Pekerjaannya melayani pelanggan di balik etalase snack di samping meja barista. Dibanding denganku, Eka terlihat masih lebih sering mengenakan rok saat bekerja. Rok yang biasa dikenakannya bermodel rempel besar, jatuh tepat di lutunya. Terkadang Eka mengenakan rok berwarna hitam polos atau merah marun. Eka terlihat sangat cocok mengenakan rok bermodel seperti itu. Ketika aku melihat penampilannya, terkadang aku ingin bisa tampil sefeminim dia. Tapi, saat aku mengenakan rok, kenapa rasanya tidak nyaman. Aku merasa diriku terlihat sangat aneh. Mungkin karena tidak terbiasa.

Pemilik kedai kopi ini, bos kami adalah seorang wanita cantik bertubuh ideal. Kulitnya juga putih, terlihat mulus dan licin. Rambutnya sama dengan ciri-ciri rambutku. Hitam dan panjang rambut kami sama, namun rambutnya terlihat lebih tipis dibanding rambutku. Usianya sekitar dua puluh tujuh tahun, beliau bernama Lidya. Yang kami semua tahu, beliau belum menikah. Kami juga tidak pernah melihatnya membawa kekasih ke kedai kopi kami. Biasanya, Mba Lidya duduk sendirian di pojok dekat jendela, menatap ke jalan raya, sambil ditemani secangkir kopi latte hangat buatanku jika sore harinya lengang.

Hari ini aku mendapat jadwal shift pagi, sejak pukul enam lebih sepuluh menit aku sudah tiba di kedai. Aku langsung mengenakan celemek hijau yang biasa kami pakai saat jam operasional kedai dibuka. Aku mengikatkan tali di sisi kanan kirinya ke arah belakang tubuhku, lalu kuikat lembut menyerupai pita. Lengan kemeja yang tadi telah ku gulung sampai batas siku, sesekali ku betulkan posisinya ketika merosot.

Aku mengenakan kemeja warna biru langit dengan aksen kotak-kotak kecil berwarna putih serta celana jeans skinny berwarna biru tua. Saat bekerja, aku harus menguncir kuda seluruh bagian rambutku. Pagi ini udara sangat dingin, belum ada tanda-tanda matahari akan segera terbit, bisa dibilang langit diluar tampak mendung. Di sekitar kedai terdapat beberapa ruko perkantoran. Maka itu, tidak jarang saat kami baru saja buka, kami sudah kedatangan pelanggan.

Letak kedai kami memang sangat bagus, sangat terjangkau oleh banyak orang dan segala kalangan. Mba Lidya memang beruntung bisa mendapatkan tempat usaha yang cukup menjanjikan seperti ini.

Setelah aku siap dengan celemek yang ku kenakan, Eka muncul dari pintu samping. Yaitu pintu khusus untuk keluar masuk staf kedai kami. Tidak jarang Mba Lidya juga masuk lewat sana untuk mengejutkan kami. Namun beliau lebih sering masuk lewat pintu depan yang sama dengan pintu keluar masuk pelanggan.

Aku, Eka dan Rena sama-sama kebagian shift pagi. Kami bertiga telah siap melayani pelanggan hari ini. Seorang lelaki bertubuh tinggi dan tidak terlalu gemuk terlihat sedang berjalan kaki ke arah kedai kami. Tampak usianya sekitar tiga puluhan. Sebulan terakhir ini aku sering melihatnya datang ke kedai. Sepertinya dia bekerja di sekitar sini, karena dia selalu berjalan kaki tiap kali datang kemari.

Ekspresi wajahnya sedikit dingin, aku belum pernah melihatnya tersenyum. Ketika kami menawarkan menu kami kepadanya, dia kerap tersenyum kecut atau hanya sebatas mengangguk, lalu memesan setelah membaca daftar yang terpampang di dinding bagian atas belakang kepala kami. Dia juga selalu datang seorang diri. Biasanya dia memesan secangkir kopi moka dan sepotong donat berisi selai kacang. Ya, aku sampai hafal menu favoritnya.

"Selamat pagi Pak. Silahkan pesanannya."

Lelaki itu hanya mengangguk, tanpa membalas ucapan selamat pagi dariku. Salah satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya, "Satu kopi moka hangat."

"Ada tambahan lain? Roti atau kuenya Pak?"

"Boleh, kue brownisnya satu. Makan di sini ya Mba."

"Baik. Silahkan ditunggu Pak, nanti kami antarkan ke meja."

Hmm.. tumben orang ini pesan kue brownis. Setelah membayar pesanannya ke kasir, tampaknya dia berjalan menuju meja yang terletak di samping jendela. Benar saja, dia mengambil posisi duduk di situ. Terlihat dia mengeluarkan ponselnya untuk mengisi waktu luang. Tidak lama, kopi pesanannya telah selesai ku buat. Rena pun segera mengantar pesanannya ke meja tempat lelaki itu menunggu.

Entah kenapa, aku sangat senang memperhatikan lelaki itu. Padahal dia sama sekali tidak ramah. Wajahnya selalu terlihat datar. Terkadang aku malah membayangkan seperti apa wajahnya jika dia tersenyum.

"Mel, itu kan cowok yang pernah nanyain kamu." seketika Rena membuyarkan lamunan ku.

"Nanyain aku? Nanya gimana?"

"Iya pas kamu masuk siang, pagi-pagi gini dia ke sini terus nanyain kamu ke Faris."

"Kok Faris ngga cerita ya. Emang dia nanyain akunya gimana?"

"Ya.. yang cewe itu kemana? Yang biasa bikin kopi. Gitu sih aku dengernya. Terus Faris bilang, kamu masuk siang. Dia ngga bilang apa-apa lagi deh."

Aku bingung, untuk apa orang itu menanyakan aku. Tapi, ya sudahlah mungkin dia hanya sekedar bertanya, karena dibanding Faris, aku lah yang lebih sering melayaninya. Jadi wajar kalau saat itu dia tidak melihat keberadaanku di kedai dan lantas menanyakanku pada Faris. Tapi kenapa sekarang dia tidak menyapa aku? Kelihatannya dia bersikap biasa-biasa saja. Hmm.. orang yang aneh. Bahkan saat dirinya keluar dari kedai, dia hanya berlalu begitu saja melewati meja barista, tatapannya hanya tertuju pada pintu keluar.

"Rena, cowok itu aneh. Aku jadi takut. Buat apa dia nanyain aku ke Faris, tadi sikapnya biasa-biasa aja. Aku jadi takut dia nyulik aku."

"Hahaha.. Nyulik kamu? Yang bener aja Mel!"

Aku terdiam menanggapi komentar Rena. Aku merasa tidak nyaman, apa mungkin lelaki itu tahu kalau aku sudah sering memperhatikannya dari jauh? Perasaanku tidak enak. Bagaimana kalau nanti bertemu lagi? Aku membayangkan jika suatu ketika aku sedang memperhatikan dirinya dari sini, dia menoleh kepadaku. Habislah aku. Bisa-bisa dia berpikir kalau aku menyukainya.

Hari ini kedai kopi kami sangat ramai, pelanggan datang silih berganti keluar masuk kedai. Mba Lidya tidak terlihat batang hidungnya hari ini. Mungkin dia punya kegiatan lain diluar sana, selain mengurus kedainya ini. Aku sangat lelah hari ini, aku sampai tidak menghitung, sudah berapa cangkir dan berapa mug besar yang telah kubuatkan minuman hari ini. Akhirnya tiba juga pukul empat sore yang ku nanti, pesanan yang baru masuk beberapa menit lalu, langsung diambil alih oleh Faris. Aku bisa langsung pulang ke rumah sekarang.

Aku membayangkan merebahkan tubuhku yang terasa sangat kaku ini di atas ranjang kesayanganku. Wah.. indah sekali membayangkannya. Apalagi kalau nanti bisa tidur lebih cepat, pasti beruntung sekali rasanya. Bus kota yang mengarah ke daerah rumahku sudah tiba, lantas aku segera menyetopnya dan duduk di kursi pertama tepat di depan pintu masuk. Suasana bus tidak ramai, hanya ada beberapa bangku yang terisi. Meskipun aku sangat ngantuk, aku berusaha menahan kantuk ku.

Aku duduk sambil mengenakan headsheet, mendengarkan lagu-lagu favoritku yang ku putar lewat mp3 di ponselku. Sedang ponselku, tersimpan rapi di dalam tas yang ku tutup rapat risletingnya. Dengan suara lirih aku ikut bernyanyi-nyanyi menirukan lagu yang sedang ku dengar. Wah.. aku benar-benar perlu bekerja keras menahan kantuk ini.

Dulu, aku pernah tertidur di dalam bus kota, saking pulasnya aku tidak mendengar suara apapun. Alhasil aku pun kelewatan, jalan masuk ke rumahku sudah jauh terlewat. Hingga kini, aku pun kapok dan tidak ingin sampai ketiduran lagi di bus kota. Karena itu akan sangat merepotkanku kalau sampai terjadi lagi.

Keesokan harinya aku mendapat jadwal shift siang, karena aku baru saja menarik uang di ATM depan ruko, aku memilih masuk ke kedai lewat pintu depan. Akhirnya aku memergoki lelaki aneh itu saat dirinya sedang bertanya tentangku kepada Faris.

"Mba Amel kemana Mas?"

"Nah, itu baru dateng.." seraya Faris mengarahkan matanya ke pintu masuk ketika aku tepat mendorong pintu kedai ke dalam. Lelaki itu pun ikut menolehkan wajahnya padaku, dia sedikit membalik badannya ke arah belakang, arah kedatanganku. Refleks, aku tersenyum padanya. Namun dia membalas dengan senyum yang mengesalkan. Ku dengar tadi dia menyebut-nyebut namaku pada Faris.

Ah.. iya.. dia pasti membaca name tag yang ku pakai di sisi kanan bagian atas celemek hijauku. Kenapa dia berani menyebut namaku? Seolah kami telah lama saling mengenal. Sebetulnya apa yang dia inginkan dariku? Kalau ingin berkenalan, kenapa sejak kemarin dia tidak mengutarakannya langsung padaku? Aneh sekali.

"Ris.. tuh orang udah dua kali ya nanyain gue ke lo?"

"Iya Mel.. Yang pertama gue lupa bilang sama lo.. Lo tahu dari siapa?"

"Rena yang bilang kemarin. Aneh deh tuh orang, nanyain gue tapi begitu gue senyumin malah melengos gitu kayak tadi. Gue jadi takut Ris.."

"Takut kenapa? Paling cuma pingin kenalan kali Mel. Dia kerja di blok belakang sini."

Aku masih tidak puas mendengar penjelasan Faris. Apa aku harus menyapa orang itu terlebih dulu untuk memastikan, sebetulnya dia ada perlu apa denganku.

Pukul enam sore adalah waktu istirahat bagiku. Pada jam segini biasanya aku mencari makan di sekitar kedai. Terkadang saat bosan dengan makanan yang itu-itu saja, aku memutuskan untuk pergi agak jauh dengan menumpang mobil carry angkutan umum. Atau terkadang juga aku membawa bekal dari rumah, masakan Mamaku tercinta.

Saat aku keluar dari pintu samping kedai kami, tak sengaja aku melihat lelaki itu. Lelaki aneh yang sudah dua kali menanyakanku lewat Faris. Terlihat dia sedang bercengkrama dengan kedua orang temannya, yang satu lelaki dan yang satunya wanita, tampaknya mereka masih satu kantor. Astaga.. ini pertama kalinya aku melihat lelaki aneh itu tertawa lepas. Aku kira, dia tidak tahu caranya tersenyum dengan benar, apalagi tertawa lepas seperti itu. Entah hal apa yang mereka sedang bicarakan hingga lelaki itu bisa tertawa seperti itu.

Langkahku terhenti sejenak, melongo melihat pemandangan itu. Aku hanya heran, kalau ternyata dia memang manusia yang normal dan bisa tertawa, lantas kenapa dia terlihat sangat sulit tersenyum padaku? Tapi di belakangku, diam-diam dia tahu namaku. Apa aku pernah berbuat kesalahan padanya. Ah.. sudahlah.. Kenapa aku jadi sangat bodoh, sudah membuang waktu istirahatku sekian menit hanya untuk memikirkan hal ini.

Aku melanjutkan langkahku yang terhenti kemudian bergegas menuju tenda pecel ayam yang letaknya dari seberang kedai kami, harus berjalan lagi ke arah kiri sekitar puluhan langkah. Aku masih memikirkan lelaki itu, kenapa tiba-tiba saja wajahnya yang sedang tertawa lepas itu terbayang lagi dalam kepalaku. Apa-apaan aku ini. Aku terkena sihir macam apa sebenarnya.

Bayangan akan wajah lelaki itu berakhir dan menghilang ketika aku menatap wajah Ibu penjual pecel ayam yang menanyakan padaku, "Mau pesen apa Mba?"

Setelah aku menenggak segelas teh manis hangat, rasanya pikiranku mulai tenang. Kini di hadapanku ada satu porsi pecel ayam lengkap dengan nasi dan lalapan segar yang siap ku santap. Saat aku hampir menyelesaikan makan soreku, terdengar suara lelaki yang sepertinya sudah tidak asing lagi di telingaku.

Suara itu berasal dari belakangku, telinga sebelah kiri.

"Bu, pecel satu dibungkus ya."

"Ayam apa lele, Mas?" tanya si Ibu penjual.

"Ayam Bu."

Pemilik suara itu tak kunjung masuk ke dalam tenda, karena aku penasaran akhirnya aku menoleh ke arah sumber suara itu. Astaga.. Dia lagi, dia lagi.. Kenapa lelaki ini jadi selalu menghantuiku. Seolah sedang mengikuti kemana bayanganku pergi.

Ketika aku menoleh padanya, dia pun menyadarinya. Dia tahu aku sedang menoleh ke arahnya. Kami terjebak dalam situasi canggung ini. Aku menahan senyumku padanya, tidak disangka, dia melemparkan senyumnya padaku terlebih dulu seraya mengangguk kepadaku, dia pun menyapaku, "Mba, lagi istirahat?"

Setengah kaget aku menjawabnya agak terbata-bata, "Eh.. Iya Mas.. Sudah pulang kerja ya?" aduh.. aku malah jadi berbasa-basi juga padanya.

"Ya nih, Saya mau pulang. Tapi pesen pecel ayam dulu untuk makan malam." sekarang dia sudah masuk ke dalam kedai pecel ayam dan duduk di kursi panjang kayu yang berbeda dengan kursi panjang yang sedang ku duduki.

"Mba Amel sampai malam ya hari ini?"

"Hah? Oh.. Iya, sampai jam sepuluh." berani sekali dia menyebut namaku, sok kenal! Pecel ayam pesanannya belum rampung juga. Ayamnya masih digoreng. Haduh..

"Saya Henry. Saya kerja di perkantoran belakang "kedai kopi Rindu". Mba betul namanya Amel kan?" dia mengulurkan telapak tangan kanannya padaku untuk berkenalan lebih resmi.

Untung aku makan dengan sendok garpu. Biasanya kalau sedang lapar berat, aku langsung sikat pecel ayam ini dengan tangan kosong. Aku pun menyambut baik niatnya mengulurkan tangan padaku, lantas ku raih tangan itu dan ku perkenalkan diriku dengan singkat seraya tersenyum simpul.

Akhirnya pesanan pecel ayam miliknya telah rampung. Dia berpamitan padaku, hendak lebih dulu beranjak pergi dari tempat kami sekarang. Tidak kusadari, isi piringku pun telah tandas. Mungkin tadi aku bicara dengannya sambil sesekali menyuap nasi ke dalam mulutku. Ah.. entahlah.. aku jadi lupa. Apa lelaki yang mengaku bernama Henry itu telah menghipnotis kesadaranku? Seperti acara-acara hipnotis yang pernah tayang di televisi. Untung aku tidak lupa membayar pecel ayamku yang sudah tertelan masuk ke perutku.

Aku bergegas kembali ke tempat kerjaku. Bersiap mengambil posisiku kembali meracik kopi pesanan pelanggan. Aku merasa sedikit ngantuk, apa aku terlalu kenyang? Aku kembali berdiri di balik meja pesanan. Baru saja mengenakan celemek hijauku, aku langsung mendapat order secangkir matcha latte dingin dan dua cangkir kopi moka.

Kopi moka mengingatkanku kembali pada Henry. Hari ini entah berapa kali aku sudah bertemu dengannya. Tidak hanya itu, kami pun sudah mulai berinteraksi. Sungguh kejaiban dunia yang mengagumkan. Setelah aku selesai dengan orderan tersebut, aku kembali berdiri dengan kedua tangan yang ku satukan di balik tubuhku. Sembari sesekali aku mengelap kembali meja kerjaku yang sebetulnya sudah bersih dari sisa-sisa air yang menetes.

"Amel.. Lagi mikirin apa?" tiba-tiba Mutia melemparkan sebuah pertanyaan yang tidak ku duga.

"Aku? Aku mikirin apa? Aku kelihatan lagi mikirin sesuatu ya Mut?"

"Ya.. Sepertinya sih gitu Mel.."

"Hmm.. Kamu pernah ngga ngelayanin cowok yang tingginya sekitar tinggi list kayu itu? tanyaku sambil menunjuk ke arah list kayu yang terpasang di sepanjang kaca kedai kami. Lalu ku lanjutkan kalimatku, "Rambutnya kadang rapi kadang acak-acakan, orangnya putih, ngga gemuk ngga kurus. Dia sering dateng sendiri kesini."

"Kalau kamu bilang sering, mungkin aku tahu pas lihat orangnya langsung. Kan banyak banget yang kesini Mel, aku ngga tahu tebakan ku tepat ngga sama ciri-ciri yang kamu sebutin tadi. Emang kenapa sih?"

"Ngga apa-apa sih, cuma tadi.. Waktu aku lagi makan di pecel ayam, dia juga kesitu, terus ngajak aku kenalan."

Faris mendadak muncul dari pintu ruang belakang, dia menggodai aku. Dia sudah mengira sebelumnya bahwa Henry menaruh perhatian padaku. "Nah.. Kan betul.. Siapa namanya? Itu, cowok ganteng yang suka nanyain lo ke gue.."

"Henry.. Emang dia ganteng apa? Biasa aja sih.."

"Hahaha, Amel diajak kenalan sama cowok ganteng, masih cool aja lo Mel." Faris masih terus lanjut menggodaiku. Aku hanya diam saja mendengar celotehannya itu.

Malam ini "kedai kopi Rindu" tidak begitu ramai seperti kemarin sore, namun jumlah bangku yang kosong masih kalah dengan jumlah bangku yang terisi oleh pelanggan. Sedari tadi aku perhatikan Mutia dan Eka sedang asyik berbincang lirih di balik etalase snack. Aku pun menimbrung dari jarak yang agak jauh dari posisi mereka saat ini. "Hai hai, lagi ngerumpi apa sih? Aku dicuekin?"

Belum sempat mereka menjawab pertanyaanku, dua orang pelanggan mendorong pintu masuk kedai, memasuki kedai kami dan melangkah ke depan mejaku. Aku dengan sigap mengambil posisi untuk melayani mereka. Dari lirikan mataku, Mutia dan Eka telah berpencar pada posisi mereka masing-masing. Eka telah kembali ke posisinya di mesin kasir, meninggalkan Mutia yang tetap berdiri di balik etalase snack.

Kedua orang yang baru saja ku layani, tampaknya merupakan muda mudi sepasang kekasih yang suasana hatinya sedang tidak baik. Terlihat dari raut wajah dan bahasa tubuh si gadis yang seolah memberi arti bahwa dirinya sedang kesal. Aku menangkap kesan kalau dia sedang ngambek pada pacarnya. Tadi saja dia hanya merengut saat lelaki yang berdiri di sampingnya itu menawarkannya minuman. Akhirnya si lelaki lah yang memutuskan sendiri untuk memesan dua cangkir kopi kapucino hangat.

Memang pelanggan kedai ini aneh-aneh tingkahnya. Ini hanya sekedar soal ngambek-ngambekan, waktu itu ada pelanggan yang hampir adu jotos di sini. Untung ada Dion dan Eka yang melerai mereka. Yang diputusin disini sama pacarnya, juga ada. Nangis terisak-isak dan tidak mau pulang sampai kami harus meminta bantuan Pak Otong, satpam depan ruko, untuk membujuknya pergi dari kedai kami. Secara waktu itu sudah hampir pukul setengah sebelas malam.

Tidak hanya itu, ibu-ibu yang datang bersama komunitas ibu-ibu gaul juga pernah menorehkan ceritanya sendiri. Kala itu tiga orang dari mereka membawa serta anak mereka ikut nongkrong di kedai ini, namanya anak-anak, mungkin lama-lama bosan atau sudah lelah menunggui ibunya yang sedang ngopi-ngopi cantik. Lantas salah satu dari anak itu menangis histeris hingga muntah di atas meja tamu. Kami yang bertugas jaga kedai hari itu, hampir dibuatnya lembur membersihkan muntahan dan sisa-sisa bau muntahan si anak laki-laki itu.

Di kedai ini kami juga pernah melihat bersama-sama pemandangan mahasiswa yang sedang kabur dari jam kuliahnya, malah bertemu dengan salah satu dosen mereka. Parahnya Bu dosen itu memang hafal sekali dengan wajah-wajah si tukang bolos itu. Hampir setengah jam kami melihat kedua orang mahasiswa itu diceramahi habis-habisan oleh si dosen.

Banyak yang pahit, banyak juga yang manis. Sudah beberapa kali kami menyaksikan seorang pria yang melamar kekasihnya di sini. Lalu ada pula seorang lelaki yang menembak gadis pujaan hatinya di sini. Kalau diterima, kami ikut senang, tapi kalau si gadis menjawab mau pikir-pikir dulu, firasat kami pun ikut mengatakan tidak baik.

Beberapa orang pelanggan juga ada yang diberi surprise ulang tahun di sini, oleh teman-temannya atau keluarganya. Tidak jarang juga terlihat sekelompok orang yang merayakan keberhasilannya di sini. Entah itu keberhasilan dalam bidang akademik atau pekerjaan.

Wah.. Bersyukur sekali rasanya aku berkesempatan menjadi bagian dari keluarga besar "kedai kopi Rindu". Begitu banyak hal berbeda yang dapat ku temui setiap hari di sini. Mungkin salah satu kebanggaan bagi siswa-siswi lulusan tata boga adalah keberhasilannya dapat bekerja di dapur sebuah hotel ternama atau restoran terkenal. Tapi aku berbeda dengan paham itu, aku sangat bersyukur dan tentunya begitu menikmati profesiku sebagai seorang barista.

Keesokan harinya, aku mendapat jadwal hari libur. Sekarang adalah hari Jumat. Sekitar pukul empat sore biasanya banyak pedagang makanan keliling yang lewat di depan rumahku. Aku sudah pasang badan di teras. Ditemani segelas teh manis hangat serta dompet yang ku letakkan di atas meja bundar di sebelah tempatku duduk saat ini. Aku menanti kehadiran abang ketoprak. Ketoprak yang keliling di daerah rumahku ini menggunakan telur yang diceplok sebagai tambahannya. Bumbu kacangnya juga mantap, lain dari yang lain. Kalau kita minta yang pedas, si abang ketoprak tidak tanggung-tanggung menakar cabe rawitnya.

Hmm.. aku masih setia menanti diiringi musik yang ku putar lewat mp3 di ponselku. Kali ini aku tidak mengenakan headsheet, volumenya agak ku besarkan sedikit, beradu dengan suara motor atau mobil yang melintas di depan rumah. Berakhir sudah penantianku selama dua puluh menit duduk terdiam di teras sendirian. Gerobak biru bertuliskan Ketoprak Telor, akhirnya muncul juga di hadapanku.

Aku pun berlarian kecil membawa dua piring melamine kosong. Satu porsi untukku dan satu porsi lagi untuk Mamaku. Papa? tentu belum sampai di rumah pada jam segini. Setelah menyerahkan piring kosong pada si abang, aku kembali ke teras.

"Nanti tolong anterin ya Bang.. Saya di teras." tanganku menunjuk ke arah kursi teras rumahku.

"Siap Neng!" seru si abang ketoprak.

Sembari berlarian kecil menuju ke teras, aku jadi teringat dan terbayang masa ketika aku masih kecil. Kala itu usiaku sekitar enam atau tujuh tahun dan sudah bersekolah di kelas satu sekolah dasar. Setiap kali Mama atau anggota keluargaku yang lain mengajakku untuk memesan makanan pada pedagang keliling, aku pasti menanyai nama mereka. Entah apa tujuanku saat itu, mungkin hanya iseng saja. Atau saking bawelnya, celotehan apapun bisa terlontar begitu saja dari mulutku.

Terbayang tingkahku dulu yang berdiri di samping Mamaku sambil tanganku iseng memegang pegangan gerobak, memperhatikan kegiatan si pedagang keliling yang sedang melayani pesanan kami, dengan polosnya aku bertanya, "Abang namanya siapa, Bang?" sontak membuat Mamaku langsung menyahut, "Husss!!! Bawel banget ni anak."

Lucu juga ternyata kalau diingat sekarang, kadang aku merasa bahwa waktu sangatlah jahat pada semua orang. Tidak ada yang bisa mengalahkan waktu, apalagi menghentikannya sesaat serta memutar baliknya kembali. Tidak ada yang berkuasa mengendalikan waktu selain Yang Maha Kuasa. Terkadang aku merasa seperti mimpi melihat diriku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Masa-masa sulit dan menyebalkannya di sekolah, semuanya telah berhasil ku lalui.

Aku sudah terlalu lama melamun, tidak sadar abang ketoprak sudah muncul di hadapanku membawa dua piring porsi ketoprak yang lengkap di kedua tangannya.

"Neng, halo.. Neng.. Ini ketopraknya.."

"Eh iya Bang maap.. Berapa duit semua?"

"Dua puluh. Sore-sore jangan bengong dong Neng. Jomblo ya?!"

Si abang malah ngelawak. Setelah aku membayar dengan uang pas, dia lantas pergi dari hadapanku, kembali kepada gerobak dagangannya di depan pagar rumahku. Aku meninggalkan kedua piring ketoprak itu di teras, kemudian ke dalam untuk menyimpan dompet dan memanggil Mama untuk makan bersama-sama di teras.

Setelah menghampiri Mama di ruang televisi, aku bergegas ke dapur mengambil dua buah gelas plastik yang kosong beserta sebotol air mineral dingin yang ku ambil dari dalam kulkas. Aku menyusul Mama yang sudah lebih dulu ke teras. Setelah suapan pertamanya, Mama berkomentar, "Hmm.. Enak nih.. Abang yang gerobak biru ya?"

"Hmm.." seraya mengangguk ke arah Mama, di dalam mulutku sedang penuh ketoprak.

"Siapa namanya?'' Mama ku bertanya polos sambil melanjutkan suapan ke mulutnya.

Aku tersentak kaget, nyaris tersedak. Ku selesaikan kunyahan di mulutku dan menelannya dengan teratur, "Siapa? Nama siapa, Ma?"

"Abangnya.. Waktu kecil kan kamu suka nanya-nanya nama abang tukang bakso. Tadi ngga kamu tanya juga namanya?"

"Hahaha.. Ngga lah Ma.. Aku ngga gitu lagi sekarang." ternyata Mama juga masih ingat dengan kelakuan konyolku di masa silam. Aku jadi tertawa sendiri saat diingatkan lagi oleh Mama.

Setelah kami menyelesaikan makan ketoprak jajanan kami, aku dan Mama berhamburan ke dalam rumah. Mama kembali duduk di sofa depan televisi menunggu tayangan sinetron sore favoritnya dimulai, sedangkan aku mencuci piring yang tadi kami gunakan untuk makan. Wastafel di dapur rumah kami memang selalu terlihat kosong tanpa adanya tumpukan gelas dan piring kotor, serta peralatan dapur lainnya. Semua anggota keluarga membiasakan diri langsung mencuci piring sehabis makan. Mama juga langsung mencuci peralatan masaknya setelah beliau gunakan untuk memasak.

Seusai kegiatanku mencuci piring, aku melangkah menuju kamarku. Tidak ada televisi di kamarku, aku membuka laptop kesayanganku dan mulai berselancar dengan koneksi internet, membuka website film dan drama Korea. Hmm.. Sudah setengah jam berlalu, aku belum menemukan film yang membuatku tertarik ingin menonton. Ku tutup saja website itu. Lalu aku membuka folder yang berisi lagu-lagu kesayanganku, lantas aku memblok semua lagu-lagu itu dan ku klik tombol play. Lagu-lagu itu ku biarkan berputar sendiri sesuai urutan abjad nama filenya.

Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang dan menatap lurus ke langit-langit kamarku. Tampak triplek bercat putih yang sedikit ternodai oleh bentuk semacam kupu-kupu berwarna cokelat. Hmm, begitulah motif bekas bocornya air hujan di langit-langit kamarku.

Sekarang letak gentingnya sudah diperbaiki, kondisi saat ini juga tidak hujan, tapi kebocoran yang sudah terjadi berbulan-bulan lalu itu masih saja meninggalkan bekas disana. Aku memikirkan hal itu. Apa kasus atap bocor ini sama dengan perasaan seseorang yang terluka karena ditinggal pergi kekasihnya? Putus hari ini, tapi bekas sakitnya masih tertinggal di hati selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Ah.. Sudahlah.. Aku tidak akan mengerti, karena selama ini aku belum pernah ditinggal kekasih. Boro-boro ditinggal, pacaran saja belum pernah.

Aku jadi teringat, saat dulu di kelas dua belas aku pernah menyukai adik kelasku yang baru kelas sepuluh. Hmm.. dia memang tampan di masanya. Tinggi, gagah, kulitnya putih, sorotan matanya.... Aku masih bisa mengingat Rama dengan sangat jelas. Aku tidak pernah mencurhatkan isi hatiku yang sebenarnya pada siapapun, termasuk pada Feby sahabatku. Aku malu, sedikit merasa minder karena Rama termasuk siswa yang digilai oleh gadis-gadis di sekolah kami, dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas, siapa yang tidak tahu orang yang bernama Rama. Semua pasti tahu dengan jelas.

Beberapa kali aku pernah terpergok oleh Rama sedang menatapnya. Saat berpapasan di kantin, di lorong sekolah atau di gerbang masuk area sekolah. Ya, kami sering tidak sengaja berpapasan. Ketika mataku menatap wajahnya, matanya juga menatapku. Aku sering menyadari tatapan mata kami sedang beradu. Namun aku tidak perlu merasa GR atau terlalu percaya diri, siapa tahu kami hanya kebetulan saja saling menatap. Mana mungkin Rama mempunyai rasa untukku. Jadi sampai lulus dari sekolah itu, aku tetap bungkam soal Rama. Tidak pernah ada yang tahu kalau aku sempat menaruh hati padanya. Hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun