Mohon tunggu...
Novia Wulandari Umi Fadila
Novia Wulandari Umi Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Sosiologi

UIN Syarifhidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

31 Oktober 2020   13:00 Diperbarui: 31 Oktober 2020   13:02 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan feminisme ini tidak serta merta diterima dalam masyarakat, salah satu penolakannya dilakukan oleh organisasi Wanita Hizbut-Tharir Indonesia (HTI) yang melakukan unjuk pada Hari Ibu 22 Desember 2006 dengan membawa poster berisi penolakan terhadap kesetaraan gender. Alasan mereka menolak gerakan kesetaraan gender adalah anggapan mereka bahwa kesetaraan gender adalah misi liberalisme, juga perda mengenai pengaturan seksualitas perempuan yang berkaitan dengan hak untuk menggunakan jilbab. Karena dianggap hal ini menjadi simbolisasi akan perempuan islami atau tidak islami. Dalam lingkup otonomi daerah juga ada yang mengedepankan isu kesusilaan, menempatkan perempuan sebagai penyulut ketidakteraturan moralitas dan memberikan kebijakan yang membatasi aktivitas perempuan.

Banyaknya kasus pelecehan perempuan membuat DPR-RI mengesahkan UU Pornografi, dengan tujuan untuk melindungi perempuan dan anak dari komersialisasi pornografi. Tetapi hal ini tidak disetujui oleh semua lapisan, dikhawatirkan memperkuat adanya legitimasi bagi pengaturan daerah untuk membuat peraturan-peraturan lainnya dengan muatan diskriminatif terhadap perempuan. Karena sesungguhnya demokrasi bukan sistem yang sempurna, karena ini akan memberikan ruang yang sangat lebar terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak demokratis dan misoginis. Juga membuka ruang kontestasi bagi gerakan perempuan untuk menegosiasikan kepentingannya dalam arena yang kita harapkan “netral” yakni negara, untuk menjadi bagian dari kebijakan yang mewadahi kebutuuhan separuh penduduk di negeri ini.

MARGINALISASI DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK PADA KELOMPOK AGAMA MINORITAS SEBAGAI TANTANGAN GERAKAN PEREMPUAN

            Gerakan perempuan Indonesia pada era Reformasi mencapai pelbagai kemajuan juga kemunduran, meskipun kemajuan sudah dicapai dengan pembentukan organisasi perempuan juga kebijakan yang memperhatikan isu perempuan tetapi marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan juga masih terjadi pada masa-masa ini. Hal ini tampak pada fakta kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan, terutama perempuan dari kelompok kepercayaan minoritas wujud marginalisasi dan kekerasan tersebut diantara: pembatasan hak kemerdekaan berekspresi dalam berbusana dengan mewajibkan perempuan berpakaian standar agama mayoritas termasuk siswi-siswi sekolah, pembatasan akses pada pekerjaan dan ekonomi dengan kebijakan pembatasan keluar malam bagi perempuan hingga pukul 10 malam, pengesahan UU Pornografi yang mengutamakan standar nilai moral agama mayoritas dan cenderung mengabaikan pelbagai keragaman nilai dari beragam karakter masyarakat Indonesia, dan penyerangan terhadap komunitas jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa tempat yang berdampak pada kekerasan terhadap kelompok minoritas ini.

            Kekerasan terhadap perempuan dalam kelompok kepercayaan minoritas mengenai kasus perempuan Ahmadiyah, yang terjadi di Cianjur (19 September 2005), Kampus al-Mubarok Parung Bogor (15 Juli 2005), Singaparna Tasikmalaya (19 Juni 2007), Masjid Istiqomah Desa Sadasari, Kec. Argapura, Majalengka (28 Januari 2008), Parakansalak, Sukabumi (25 April 2008), dan Cisalda, Ciampea, Bogor (1 Oktober 2010). Pelaku penyerangan ini adalah milisi sipil berjumlah tidak kurang dari 200 orang dengan menggunakan kostum/atribut: FPI, LPI, GERAK, BRIGADE TALIBAN, FORUM PENYELAMAT UMAT, FPUI, GIROH, dan AMANAH (Aliansi Masyarakat Anti Ahmadiyah). Legitimasi yang menjadi pemicu penyerangan adalah isi dan dampak dari 23 kebijakan yang dikeluarkan lenbaga-lembaga negara dan pemerintah, 8 di tingkat nasional dan 15 di tingkat lokal. Kebijakan tingkat nasionalnya berupa Surat Dirjen Sospol No. 05/IS/IX/1994 pada 16 September 1994 tentang pelarangan Ahmadiyah secara nasional dan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 yang menetapkan bahwa Ahmadiyah berada di luar islam dan dipandang sebagai aliran sesat.

            Bentuk-bentuk dampak kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan tersebut adalah: Ketika melakukan penyerangan di tempat tinggal anggota Ahmadiyah dengan dalil memberantas aliran sesat, tetapi terjadi pemerkosaan terhadap para wanitanya sebelum mereka diadili. Saat anggota Ahmadiyah pulang ke tempat asalnya mereka dikucilkan oleh warga setempat termasuk ketua RT yang melarang mereka untuk kembali di tinggal di desa tersebut, terjadi gangguan kesehatan hingga gangguan jiwa terhadap perempuan yang terkena penyerangan seperti keguguran, stress akibat rumahnya dibakar, gangguan reproduksi karena mengabaikan alat konstrasepsinya, juga gangguan menstruasi sampai pendarahan atau perubahan jadwal yang tidak teatur akibat stres. Akses mereka terhadap ekonommi juga terancam seperti seorang ibu pedagang di pasar yang sering diambil dagangannya debgan dalih “Mereka Ahmadiyah”, dan seorang ibu yang berprofesi guru diberhentikan oleh pihak sekolah karna Ia Ahmadiyah. Mereka juga kehilangan hak untuk berkeluarga karena label Ahmadiyah yang dimilikinya membuat orang-orang menggap remah sampai zina untuk dinikahi, sebab alirannya yang dianggap sesat. Sebagian besar warga Ahmadiyah di Kab Lombok Barat, NTB tak terkecuali perempuan hingga kini sulit mendapatkan status kependudukan.

            Kekerasan ini juga dialami oleh anak-anak, sekitar 10 siswa SD Negeri Mataram hanya diberika rapor sementara yang diatasnya terdapat tulisan “Rapor Anak Ahmadiyah” ketika ujian pun mereka dibedakan dengan jadwal siswa lainnya yang berakibat pengucilan dari guru-guru dan teman-teman di sekolahnya. Juga lontaran kebencian yang diterima anak-anak dari anggota Ahmadiyah seperti lontaran dengan menyebut Ahmadiyah sesat dan kafir, pengalaman terparah yang dialami seorang anak di Cisalda, Desa Ciampea Udik, Bogor adalah Ia dikeroyok belasan orang seraya meledeknya karena Ia Ahmadiyah.

            Labeling ini menimbulkan trauma terhadap anak-anak anggota Ahmadiyah, akibat dari penyerangan yang membakar habis rumah serta isinya. Membuat anak-anak mereka selalu merasa ketakutan akan terjadi penyerangan kembali, dan mereka tidak dapat melanjutkan kehidupannya seperti anak-anak pada umumnya yakni hak untuk sekolah. Diyanti salah seorang anak yang mengalami penyerangan yang kemudian mengalami trauma ketika ada tamu yang bertandang ke rumahnya, Ia sudah menyiapkan keperluan sekolahnya di dalam satu tas dan ketika dirasa akan terjadi penyerangan Ia harus menyelamatkan tas nya terlebih dahulu agar besok hari tetap dapat pergi ke sekolah.

PATRIARKI DAN SEKTARIAN: WAJAH DAKWAH DALAM KOMUNITAS ISLAM 

            Setiap agama melakukan dakwah dengan tujuan meyebarkan doktrin mengenai pandangan kebenaran yang menjanjikan keselamatan hidup manusia agar tidak terjebak dalam kesesatan, dakwah islam pada mulanya dimaksudkan sebagai upaya mengingatkan manusia agar tidak memberhalakan apa pun selain Allah SWT (tauhid). Berhala ini dapat berupa status sosial, kekayaan, ilmu pengetahuan, ideologi, bahkan agama itu sendiri. Untuk kelancaran berdakwah dan menanamkan doktrin agama, biasanya dibentuk suatu komunitas yang dipimpin oleh pemuka agama. Pemuka agama yang memiliki kelebihan pengetahuan agama yang luas dan dalam, termasuk kemampuan membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Melalui komunitas ini juga disebarkan doktrin patriarki dimana acap kali didengar ungkapan “Seorang istri dimaksudkan untuk menjadi ‘ladang’ bagi suami. Sebagai ladang ia harus bersedia dicangkul kapan pun sesuai kehendak suami”, hal ini ditafsirkan bahwa istri harus siap melayani suami kapanpun sesuai dengan keinginan suami. Tafsiran yang seperti ini mencerminkan kedudukan istri yang sangat bias karena kepimpinan suami dalam rumah tangga. Selain itu juga ajaran agama sering direduksi pada tataran ritual bukan spiritualnya, seperti ajaran salat, puasa, haji sehingga ajaran implikasi sosial-etis terhadap persoalan manusis kurang ditekankan. Seorang muslim akan merasa leibh bangga ketika Ia menjalankan ajaran yang ritual, seperti pergi haji yang kemudian akan mendapatkan gelar Haji atau Hajjah.

            Terdapat upaya-upaya agar praktek dakwah tidak bersifat sektarian, memiliki kepekaan gender, tidak ritualistik, dan memiliki perspektif kesetaraan iman. Pertama, membekali para dai dan pemuka agama dengan analisis gender. Kedua, membuka dialog pembahasan isu-isu sosial-keagamaan dengan agama lain. Ketiga, mempunyai implikasi kemanusiaan-etis dan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Penanaman doktrin ketika berdakwah sebaiknya tidak membuat seseorang menjadi serba penakut, kerdil, dan semata-mata menjadi “hamba”. Tetapi seharusnya didorong agar memiliki kepercayaan diri menjadi “kawula” yang tetap bersifat ketuhanan, agar dapat menentukan hidupnya sendiri dan senantiasa berkreasi. Keempat, mengedepankan dimensi esoterisme (tasawuf) dalam islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun