Mohon tunggu...
Novia Wulandari Umi Fadila
Novia Wulandari Umi Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Sosiologi

UIN Syarifhidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

31 Oktober 2020   13:00 Diperbarui: 31 Oktober 2020   13:02 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FEMINISME DAN ISLAM DI INDONESIA: PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN DAN PELEMBAGAANNYA

            Feminisme adalah sebuah teori yang menganalisis kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam jenis pemahaman kebudayaan mengenai apa artinya menjadi perempuan menurut Jackson dan Jones. Pada awalnya teori ini diarahkan dengan tujuan politis gerakan perempuan, yakni kebutuhan memahami subordinasi perempuan dan pengucilan perempuan dalam pelbagai wilayah sosial dan kebudayaan. Feminisme merupakan teori yang hendak menjelaskan kondisi kehidupan yang dijalani perempuan, feminisme dan islam menjembatani kesenjangan konsepsi keadilan yang memengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah di suatu sisi juga hukum hak asasi manusia (HAM) di sisi lain. Feminis islam mengkritisasi metode penafsiran yang dilakukan terhadap ayat Al-Qur’an, pada metode tafsir tradisional yang melakukan penafsiran adalah kaum pria berdasarkan pengalamannya dan suara perempuan seolah-olah tidak dianggap. Metode kedua tafsir modern penafsiran ini adalah reaksi dari para pemikir Islam modern terhadap hambatan yang dialami perempuan, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Metode ketiga dengan pendekatan hermeneutik, penafsiran yang dilakukan dengan cara mengetahui dalam konteks apa teks tersebut ditulis, komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, dan keseluruhan pandangan hidupnya. Termasuk juga hadis sebagai sumber kebenaran islam kedua setelah Al-Qur’an, Mernissi menunjukkan bahwa terdapat banyak hadis mengenai perempuan yang ternyata hadis palsu dan kebanyakan menggambarkan citra buruk perempuan. Hukum islam juga termasuk didalamnya, menurut sarjana muslim feminis seperti Asghar Ali Engineer dan Ziba Mir-Hosseini hukum islam yang mengkerdilkan perempuan harusnya diperbarui melalui ijtihad, ijma, dan qiyas.

            Keberadaan feminis di dunia dapat terlihat ketika mereka para penggeraknya melakukan interaksi, gerakan ini pertama kali muncul di Mesir oleh tokoh pembaharu islam seperti Rifa’ah Tahtowi, Muhammad Abduh, dan Qasim Amin. Diantara mereka dikenal dengan sebutan “male muslim feminist”, yakni pemikir muslim laki-laki yang peduli dan terlibat dalam sejarah pembebasan perempuan. Feminis di Indonesia memperhatikan analisis gender, terutama pada rezim orba dan era reformasi situasi saat itu menempatkan peran perempuan semata-mata sebagai istri dan ibu. Peran serta hak-hak publik seperti menjadi pemimpin masyarakat atau negara sangat diabaikan dan tidak diakui keberadaannya, perkembangan pergerakan feminis ini membuat Indonesia meratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No. 7 Th 1984 yang mengakui hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia serta menjamin hak pendidikan dan partisipasi politik setara dengan laki-laki. Pergerakan ini juga didasari karena perlu adanya penafsiran teks Islam dengan cara pandang baru yang lebih ramah terhadap perempuan, dan merespons masalah hak-hak asasi perempuan dengan pendekatan bahasa agama. Terjalinnya hubungan antara sesama aktivis muslim Indonesia dengan luar juga membuat gerakan ini semakin dikenal oleh khalayak luas, bahkan sudah mendapatkan perhatian dari lembaga dana internasional seperti Ford Foundation, Asia Foundation, Oxfam, USAID, CIDA, dan IDRC.

            Terdapat beberapa lembaga organisasi pergerakan feminisme seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institut (TWI), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU (Lakspesdam NU), LKIS, PSAP, Maarif Institut, dan JIMM Muhammadiyah. Pergerakan ini juga mencakup fokus feminisme dan Islam menerjemahkannya ke dalam bahasa sederhana, menyosialisasikannya melalui berbagai media pendidikan dan lembaga layanan perempuan korban kekerasan. Pergerakan ini banyak tumbuh dan berkembang pada awal dasawarsa 1990-an dan 2000-an pada saat Indonesia memasuki Era Reformasi yang ditandai dengan alam demokrasi.

GERAKAN PEREMPUAN DALAM PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

            Gerakan feminis ini muncul seiring dengan kebangkitan nasional, pertama kali oleh Natdatoel Fataat organisasi yang didirikan di Yogyakarta oleh organisasi Islam Walfadjri. Dalam kongresnya membahas mengenai pembaruan hukum perkawinan dalam islam tentang hak cerai bagi perempuan, usia nikah perempuan, perlindungan laki-laki terhadap keluarga, dan sebagainya. Bahkan beberapa tokoh Indonesia juga mendukung kesetaran perempuan di publik, seperti KH Agus Salim yang membahas kain penghalang (tabir) di masjid dalam ceramahnya dengan mengatakan bahwa tabir itu adalah sebuah simbol pemisahan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Hal ini ditanggapi oleh Soekarno dengan suratnya mengenai tindakan KH Agus Salim ketika merobek tabir, lebih berharga dibanding menolong pahlawan dari air laut yang sedang mendidih atau masuk penjara karena delik sebab tindakan itu memerlukan keberanian moral yang besar.

            Ide tentang reformasi hukum Islam mengenai perempuan juga dilontarkan oleh Munawir Sadjzali, beliau mengajukan pemikiran tentang Reaktualisasi Ajaran Islam di Indonesia tentang harta waris. Pembagian harta waris dimana pihak anak laki-laki mendapat bagian lebih besar daripada anak perempuannya, tetapi di beberapa masyarakat ada yang membaginya secara rata sama-sama dibagi dua baik sebagian harta orang tua atau dibagi habis. Hal ini dikritisi oleh Munawir supaya jelas penulisan hukumnya, perubahan hukum ini dianggap wajar karena hukum islam juga mengikuti perkembangan zaman, waktu dan tempatnya. Tokoh lain yang membahas kedudukan perempuan itu setara yakni Harun Nasution dalam bukunya yang menjadi bacaan wajib mahasiswa-mahsiswi IAIN “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, beliau memperkenalkan Qasim Amin seorang pembaru Mesir yang menulis buku “Tahrir al-Mar’ah” (Pembaruan Perempuan) dan Al-Mar’ah al Jadidah (Wanita Modern). Kemudian  Harun Nasution mengutip bahwa Islam adalah agama yang sejak berdirinya telah menempatkan perempuan berkedudukan setara dengan laki-laki. Tradisilah yang membuat situsi berubah, perempuan harus diberikan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki.

            Pada akhir 1980-an sampai 1990-an pemikiran pembaruan Islam menjadi sebuah gerakan sosial, semakin banyak pemikir internasional yang membahas isu perempuan islam. Pemikiran Rif’at Hassan mengenai anggapan perempuan lemah menurutnya disebabkan karena penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki, hal ini memunculkan anggapan bahwa perempuan memiliki nilai kemanusiaan setengah dari laki-laki dan juga karena banyak pengaturan ajaran Islam memberikan porsi setengah kepada perempuan seperti hak waris, kesaksian, dan lain-lain. Terlebih terdapat ajaran-ajaran yang amat bias mengutamakan laki-laki dalam pelbagai aturannya. Sebelum Rif’at Hassan juga terdapat pemikiran yang lebih dahulu oleh Rasyid Ridha yang menyatakan jika saja tidak ada keyakinan teologis seperti ini yang menghinggapi cara berpikir umat Islam, maka kemunduran Islam terutama kemunduran perempuannya tidak akan terjadi seperti situasi sekarang ini.

Di Indonesia terdapat pemikir yang mendorong bangkitnya gerakan perempuan, Masdar F. Masudi yang melakukan reinterpretasi teologi dengan menawarkan metodologi pentingnya memaknai kembali konsep ajaran universal (qath’i) dan partikular atau teknis operasional (juz’iyyah). Menurutnya ajaran universal adalah yang bersifat prinsip etik, seperti kebebasan manusia dan pertanggungjawaban individu; kesetaraan manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, warna kulit, dan suku bangsa; keadilan; persamaan manusia di depan hukum; ajaran untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang lain; ajaran tentang kritik dan kontrol sosial; ajaran untuk menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan; ajaran untuk tolong menolong dalam kebaikan; ajaran agar yang kuat melindungi yang lemah; ajaran untuk bermusyawarah; ajaran tentang kesetaran suami istri dalam keluarga dan saling memperlakukan dengan santun di antara keduanya. Semua ajaran ini bersifat prinsipil dan fundamental, karena kebenarannya sesuai dengan ruang dan waktu yang bersifat universal. Sementara ajaran yang bersifat partikular (dzanni) adalah ajaran penjabaran (implementasi) dari prinsip-prinsip yang qath’i dan universal tadi, ajaran yang bersifat partikular (dzanni) tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri karena terikat oleh ruang, waktu, situasi dan kondisi. Menurut Masdar dengan pendekatan ini nilai-nilai dasar agama yang universal dapat dijunjung tinggi, sejumlah tema keagamaan yang bias geneder ditafsirkan kembali dengan perspektif keadilan gender. Tema-tema yang bias diantaranya adalah kepemimpinan perempuan, hak waris perempuan, nilai kesaksian perempuan, hak-hak reproduksi perempuan, hak menentukan pasangan hidup bagi perempuan, poligami, sunat perempuan (mutilasi), aborsi, dan lainnya.

Dari wacana pemikir feminisme kemudian munculnya tokoh pionir berasal dari pesantren, seperti Kiai Hussein Muhammad pengurus Pondok Pesantren Daarut Tauhid yang mengembangkan pemberdayaan perempuan di pesantrennya. Pesantren Cipasung, Tasikmalaya juga menekankan pendidikannya dengan perspektif keadilan gender. Di pesantren Cipasung juga terdapat lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Hal serupa juga terjadi di beberapa pesantren daerah lain, yakni Pesantren Nurul Islam Jember dan Pesantren Aqidah Usymuni Madura. Di tingkat nasional muncul dari kalangan pemuda NU.

Dari banyaknya gerakan sosial yang membawa isu kesetaraan gender membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan negara, yakni dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Juga perubahan dalam GBHN mengenai kata “peranan wanita” menjadi “pemberdayaan perempuan”, juga perubahan nama kementerian dari “Menteri Peranan Wanita” menjadi “Menteri Pemberdayaan Perempuan”. Lahirnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam berbagai sektor pembangunan. Disahkannya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), pembentukan 236 lembaga baru di Aceh hingga Papua untuk menangani kekerasan terhadap perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun