Tiba-tiba pagutan liar mengkoloni bibirku. Lidahnya bermain liar pada setiap rongga mulutku.
“Aku mencintaimu karena kamu mirip lontong. Aku mohon tetaplah menjadi begini, agar kita terus bersama” pintanya.
“Dan jangan pernah lagi mengucapkan pertanyaan yang menjijikan itu padaku” Lirihnya dengan lembut menggoda.
Tatapan cengengku perlahan memudar. Dan berubah menjadi tatapan jalang seekor kucing yang melihat seonggok ikan segar. Memerah dan mengeong.
“Arghhh… Dinda..betapa aku menginginkanmu sedari dulu, kini bahkan hingga mati.”
“Aku pun demikian adanya, Sayang. Terutama inginkan “anu-mu” untuk tetap sempurna, menutupi kekurangan fisikmu.”
Waktu-waktu malampun terlewati dengan banyak kisah berpeluh.
&&&
Aku kerap bercermin, memperhatikan betapa buruknya fisik ini. Mulai dari anggota tubuh paling atas hingga paling bawah, kuperhatikan dengan seksama. Tidak sempurna. Tidak normal. Tidak bagus.
Tanganku kini menyusuri sesuatu yang berada tepat di antara tulang selangkanganku, adalah “anu-ku”. “Sempurna” batinku puas.
Ya..ya..ya..pada akhirnya aku mengerti bahwa cinta dan kepuasan seperti dua sisi mata uang. Saling terkait.