Berbicara tentang diriku, aku tidak sempurna. Fisikku tidak genap. Dengan hanya berkaki sebelah kanan, dengan tangan yang berjari mirip sirip ikan, dan dengan tubuh yang lebih menyerupai lontong.
Dari semua ketidaksempurnaan fisik yang kumiliki, satu-satunya yang nampak normal adalah “anu-ku”. Karena kondisinya masih taat aturan alam dan kodratku.
Mungkin karena hal inilah perawanku begitu menyayangi ku, bahkan dia rela berlaku bodoh dengan tetap setia berada di dekatku. Bahkan mengikhlaskan diri terikat janji sehidup semati.
Dirinya kerap di anggap bodoh. Karena sukarela mengabaikan cibiran beberapa bahkan ratusan pasang mata. Bahkan mengacuhkan monolog-monolog kampungan yang menurutnya picik dan penuh aroma dengki.
Namun bagiku sendiri ocehan mereka – mungkin - karena rasa cemburu. Sebab mereka tidak bisa mempersunting perawan cantik nan ranum. Mereka terusik oleh ketidaksempurnaan fisikku namun ber-anu- sempurna. Mereka terganggu oleh wajah perawanku yang selalu tampak berseri seusai kita bersatu di waktu-waktu khusuk. Mereka juga merasa tersingkir, manakala dengan adzan aku komatkan saat menjadi imammu.
&&&
“Dinda, apakah kau pernah menyesal memilih hidup denganku ?” Tanyaku disuatu malam yang hening seusai keringat kita saling bertukar tempat.
Dari keremangan cahaya, tiada jawaban yang meluncur dari bibir ranumnya. Bibir yang kerap aku cecap dengan hasrat lelakiku. Bibir yang (juga bodoh) mau saja mendaratkan kecupan-kecupan hangat di sekujur tubuh tak sempurna ini.
Tak ada jawaban “Iya” atau “Tidak” kudapat. Namun pelukannya makin erat, dan aku sadari ternyata aku sudah berada dalam gulungan kulit lembutnya.
Aku bahagia terlahir seperti “lontong”. Karena hal tersebut, aku menjadi sosok yang berani menghadang ketidaksempurnaanku.
“Ah..persetan dengan celoteh tidak berguna itu” Rutukku dalam hati, sesekali geramku muncul mendengar celoteh pedas mereka.