“Wan…. Aku mau pulang..”
“Aku belum bicara, Lila.”
“Maaf… aku mau pulang…..” Tanpa ba bi bu aku beranjak. Dia mengikuti langkahku. Aku ketakutan. Aku tak sanggup menatap mata elangnya.
“Lila…. Beri kesempatan sedikit saja….”
Dia menahan langkahku di sudut yang sepi. Aku terdiam. Hatiku tak karuan. Kelu. Aku cuma berdiri seperti patung lilin. Tanpa jarak. Dengannya. Dan tersentak ketika Nirwan tiba-tiba sudah mengecupku. Di dagu. Nafasku terhenti. Dan bibirku habis dilumatnya. Aku membalas. Dan membalas lagi. Kami berciuman saling memagut. Ini di sudut kafe. Ini bulan puasa. Ini waktunya shalat maghrib.
Aku terkesiap. Kudorong tubuh Nirwan. Aku berlari keluar. Setengah berlari. Di halaman parkir hujan masih rintik. Tanpa ba bi bu aku masuk ke taksi yang ngetem di situ. Taksi biru itu melaju membawaku pulang ke rumah. Aku menangis dalam taksi. Sesenggukan. Tuhan……….
Sepanjang jalan aku merabai bibirku yang dingin. Daguku. Pipiku. Nafas Nirwan tertinggal di sana.
Kami memang sudah putus. Tetapi ada sesuatu yang masih tertinggal.. di sini……di masing-masing hati kami.
---------------selesai-----------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H