“Ya..hallo.”
“Aku masih di luar. Agak reda Lila. Kamu di sebelah mana? Aku masuk ya…. Aku….” Dia belum menyelesaikan kalimatnya.
Aku mematikan handphoneku. Karena ketika dia mengucapkan kata Aku…. matanya sedang menatap ke sini. Aku melambaikan tangan dari balik dinding kaca gedung. Tidak tersenyum. Tidak. Aku hanya merasa jadi perempuan paling bodoh sedunia.
Dia berjalan cepat ke arah pintu gedung. Oh.. tidak… Dia berlari. Ya berlari. Kemeja coklatnya basah. Kemeja itu….. bukankah itu kemaja yang kupilihkan tahun lalu ?… Di Bandung. Waktu belanja-belanja sama-sama adik lelakinya yang ambil Master di sana. Ya… benar yang itu. Dulu dia bilang tidak begitu suka….. malah ditawarkan untuk dihibahkan kepada adiknya. Aku mengingat lagi….. berapa lama kita pacaran?…. Dua tahun … Ups ….bukan. Dua tahun dua bulan. Dan aku tidak pernah membelikan dia apa-apa. Kecuali minyak kayu putih satu botol besar waktu tugas ke Ambon.
Kami direntang jarak ribuan km. Pertemuan yang mirip jadual menstruasi --cuma sebulan sekali -- tidak pernah mempermasalahkan apakah aku membelikan apa untuk dia atau dia membelikan apa untukku. Tidak. Menjadi dekat tanpa jarak, hanya itu yang merenangi samudera hati kami.
Dia kini telah berada di hadapanku. Basah. Kedinginan. Dingin jemarinya masih tertinggal di pipiku. Aku menunduk. Ini perasaan yang sama. Apakah aku masih sayang?…… Tuhan….tidak ….ini perasaan yang salah.
“Alila….’ , dia memanggil namaku lirih.
“Ya..”
“Ada waktu untuk bicara?…..”
“Aku harus pulang…… maaf.”
“Sebentar lagi adzan maghrib. La. Kita buka puasa sama-sama saja, bagaimana?….”