Ini perasaan yang sama. Persis. Tuhan…..tolong aku untuk sebuah kekuatan menepis tangannya saat menyentuh pipiku. Barusan. Rasanya seperti dua tahun yang lalu- pada sentuhan yang pertama. Dan persis. Barusan aku melakukan hal yang sama seperti dua tahun yang lalu. Aku tak sedikitpun menepis tangannya.
“Apa kabar, Lila?” bersama dingin yang dialirkan ujung jemarinya ke pipiku, dia bertanya seperti itu…… Tuhan, jemarinya sungguh sedingin es. Bagaimana tidak, dia menungguku di luar gedung. Kehujanan. Meski menepi tapi tetap kena tampias. Hujan petang ini sungguh tanpa ampun. Dari dalam gedung pameran yang berdinding kaca aku melihat tiang-tiang beserta spanduk-spanduknya di luar roboh diterpa angin dan hujan lebat. Beberapa dahan pohon patah menghalangi bahu jalan. Aku seperti menonton film badai.
Dan aku melihat dia berdiri di sudut halaman parkir. Merapat ke tembok ruang satpam menghindari tampias air hujan. Tangan kanannya sibuk menekan –nekan keypad handphone….. dia mengirim pesan untukku. Karena sejak tadi dia menghubungi…..tapi aku cuma memandangi layar handphone ku yang menampilkan foto lelaki bermata elang itu. Tak kujawab. Empat miscall. Dan dia membeku di luar sana.
‘Alila, msh di dlm? Ak tgu di sni smp reda. No umbrella…ak akn bsh kuyup jk msk ke sna skr.” Begitu bunyi pesannya. Tentu saja…halaman parkir di luar gedung pameran kerajinan ini terlalu luas. Dia pasti akan basah kuyup jika melintas tanpa payung. Pesannya tak kubalas. Tuhan……suruh dia pulang.
Tidak. Tuhan tidak menyuruhnya pulang. Dia tetap berdiri di sana sampai hujan reda. Aku membekukan hati. Ah siapa yang suruh juga………. Dasar orang gila….. Sejak semalam dia bilang ingin bertemu aku sudah bilang ogah. Ogah. Titik. Kami sudah putus. Tapi aku lupa satu hal…….ada sesuatu yang masih tertinggal di masing-masing hati kami. Jika tidak…… petang ini tak akan pernah ada sentuhan dingin itu dari jemarinya yang sampai ke pipiku.
Tapi dia memang gila. Sudah kubilang aku tidak mau ketemu, dia nekat datang ke Jakarta. Bolos kerja. Ini keterlaluan. Waktu kubilang aku tidak di rumah -- aku sedang menikmati pameran kerajinan di dekat kantor -- dia malah menyusul ke gedung pameran ini. Aku bilang tidak usah, dia malah menutup telepon. Beberapa menit kemudian pesannya tiba, memintaku menunggunya. Dia nekat menyusulku. Dasar edan.
Dia pasti kedinginan. Biar saja. Tidak berdosa bukan membiarkan orang edan menggigil kedinginan bersama hujan di luar sana?…… Tiba-tiba aku mendengar protes dari dalam hati. “Perempuan jahat. Berhati batu. Kejam. Dia menunggumu…dan kamu malah menyiksanya…..” kalimat itu bergema sepanjang jalanku mengelilingi satu demi satu stand pameran. Waktu aku memilih-milih sarung bantal untuk kursi tamu, handphoneku bergetar. Trrrrrt….trrrrt….. Fotonya tertera di layar. Dia lagi. Mata elangnya menatapku tajam. Meski itu hanya foto di layar handphone. Aku membiarkan. Sampai getarnya berhenti.
Kutinggalkan bantal-bantal kursi yang sedang kupilah. Aku menepi di sudut, kuhapus fotonya dari photo ID. Tuhan, aku tak sanggup melihat matanya. Nomornya?….. Kuhapus juga?….. jam tanganku menghitung detiknya waktu aku bimbang antara ya… dan tidak. Pada detik ke 63 aku memutuskan untuk tetap menyimpan nomornya.
Trrrrrt…..trrrrrt……..
Bergetar lagi. Handphoneku.
Please…. Aku tidak sekejam itu.