Semenjak bangun tidur, Lissa masih saja memandangi sekeliling ruang kamarnya. Posisi kamar ini tepat di bagian belakang rumah dan bersampingan dengan dapur. Jika bude sedang memasak, semua asap dan aroma masakannya selalu beralih ke kamar Lissa dan membuatnya batuk-batuk. Seperti pagi ini, aroma nasi goreng memenuhi ruang kamar.
Sesekali Lissa mencium aroma tidak sedap mengelilingi ruangan dan lantai, ternyata semua sampah dan limbah rumah tangga mengalir dari selokan yang ada di bawah kamarnya.
Suasana kamar tanpa jendela dan ventilasi ini akan semakin panas jika tidak menggunakan kipas angin. Jika malam tiba, tikus berkeliaran dan sesekali menampakkan diri di atap kamar. Satu hal lagi, nyamuk suka tempat terpencil yang penuh dengan barang-barang tidak terpakai seperti sepetak kamar ini.
"Namonyo jugo numpang, yo yg sabar, Lis". Sudah berkali-kali Lissa mengadu perihal keadaan kamar yang ditinggalinya, tetapi Mak juga mengulangi jawaban yang sama.
Nikmatnya di rumah ini tidak ada tugas berat yang harus dikerjakan, Lissa hanya perlu menuruti perintah kakak laki-laki ibunya, yang memiliki istri sedikit cuek juga jarang sekali tersenyum.
***
Lissa segera beranjak dari kasur yang selalu membuat punggungnya terasa sakit ketika bangun tidur. Ia bergegas menggunting beberapa kertas warna-warni dengan ukuran sedang yang baru saja dibelinya kemarin sore, waktunya untuk mengabsen mimpi-mimpi di dinding.
Beberapa mimpi sudah aku tempelkan, mari mewujudkannnya.
 Lissa menyebutnya dinding pelukis mimpi, setiap menginginkan sesuatu ia selalu menyebutnya mimpi meski hanya hal-hal sepele.
Pernah suatu ketika beberapa teman kampus menyambangi kamarnya, mereka tersenyum sinis sambil beradu pandang setelah membaca sebuah kertas di dinding, tepat di atas pintu kamar Lissa.
Senin, 15 April 2018
Mimpi Lissa: makan bersama dengan Bapak, Mak dan si kembar di restoran.Â
Memang kedengarannya lucu tetapi selama mimpi itu tidak mengganggu orang lain,
it's no problem! Lissa tetap percaya diri dengan mimpinya.
Suatu saat jika menginginkan makanan dan pakaian yang disukainya, terlebih dahulu harus masuk dalam daftar mimpi dan ditempelkan di dinding kamar. Setelah itu, Lissa akan berusaha mencari jalan keluar agar mimpi-mimpinya terwujud. Tidak jarang, ia harus menahan lapar di kampus dan bekerja di tempat fotokopian jika uangnya belum juga tercukupi untuk membelinya
Seperti rindu, mimpi harus dibayar tuntas!
Â
***
Kampus Hijau, Batanghari
Â
"Dulu ketika aku menginap di kamar mu, beberapa kertas sudah memenuhi dinding di atas lemari Pakde mu, bahkan pas kita nyalain kipas angin kertasnya terbang-terbang Lis. Lemnya kurang manjur, lagian kan bisa ditulis di buku diary atau catatan saja mimpi- mimpimu, aku saja pusing mikirin kertas yang berhamburan itu Lis, Lis"
"Ya bagus lah Tin, biar mimpiku ingin terbang dari Jambi juga tercapai".
"Eh bentar, tapi bener juga loh, Lis. Dulu kamu pernah menempel kertas di dinding yang isinya mimpi untuk jalan-jalan ke Aceh. Eh taunya berangkat beneran."
"Cuma kebetulan Tin", Lissa menjawabnya lemas.
"Kebetulan kamu ikut lomba di sana karena lolos berkas, eh tau-tau kampus bersedia membiayai. Lis, Lis, enak yo jalan-jalan gratis".
"Ah kamu lebay Tin", Lissa tertawa datar.
Hari senin kampus bahkan kantor-kantor selalu ramai. Mahasiswa yang silih berganti memasuki area FIB mengalihkan pandangan Lissa dan Titin. Dengan menyandang tas gendongnya yang terlihat cukup berat, bergegas Bu Fitri memasuki ruang kelas. Lissa kaget, Titin segera menutup buku bacaannya dan memasukkannya ke dalam tas. Seperti biasa, Titin membaca buku yang sebelumnya telah Lissa pinjam di perpustakaan kota.
Ketika memasuki usia dewasa, seseorang memang seharusnya lebih mementingkan investasi bagian leher ke atas untuk memenuhi pengetahuan. Setiap orang harus paham akan hal ini, agar Indonesia tidak lagi menduduki peringkat ke-60 persis berada di bawah Thailand dan di atas Bostwana dari 61 negara soal minat membaca di dunia menurut Most Littered Nation In the World.
Andai mereka tahu, inspirasi untuk mewujudkan mimpi juga bisa berasal dari buku yang kita baca. Seperti tokoh Masenja, dalam novel 'Aku Masenja' yang ditulis oleh Rumasi Pasaribu. Masenja hanya seorang guru di pedalaman Bengkulu, tetapi mimpinya untuk memberikan pendidikan dan pengabdian terhadap anak-anak selalu berapi-api. Lalu ada juga kisah inspiratif yang dipaparkan dalam novel Asma Nadia, Â 'Jilbab Traveler' Tokoh Rania Samudra yang menjelajahi Korea.
Bu Fitri memberikan beberapa tugas, pertanda perkuliahan hari ini telah berakhir.
***
Seperti rindu, mimpi harus dibayar tuntas!
Â
Lissa memutuskan pulang ke kampung halaman dan libur kuliah untuk beberapa hari ke depan, bapaknya meninggal dunia sehari setelah ia dinyatakan lolos berkas untuk berangkat ke kota selanjutnya, Makassar. Firasatnya benar, setelah bertahun-tahun sakit dan tidak kunjung sembuh, bapak akhirnya pulang ke rumah sebenarnya. Padahal baru kemarin aku cerita pada Titin, kalau bapakku belum pernah ke Makassar meski ia pernah lahir disana.
Kali ini Lissa tidak akan berangkat, kepulangannya ke kampung tentu akan menghambat administrasi dan proposal yang harus diajukan ke kampus. Apalagi waktu yang diberikan pihak panitia untuk mengajukan proposal ke kampus hanya tiga minggu, waktu yang tidak lama.
Mimpi kali ini harus dipending dulu..
Â
Semenjak berada di kampung, Lissa menggantikan Mak untuk bekerja di kebun Pak Kades, Mak berkali-kali memintanya untuk kembali ke kota dan kuliah, Lissa tidak mau.
Mungkin aku akan seperti gadis desa yang lain. Kerja di kebun, pulang menemani ibu dan adik-adik di rumah dan suatu hari bersiap dilamar oleh pemuda di desa ini.
Mak marah, ia tidak ingin Lissa ada di rumah ini. Lissa harus kuliah.
Jika masih memaksa, Mak tidak akan menegurnya.
Dengan berat hati, pagi-pagi sekali Lissa membereskan baju dan memasukkannya ke dalam tas. Demi permintaan Mak, ia memutuskan kembali ke kota dan melanjutkan kuliah.
***
Sebenarnya masih ada waktu untuk mengajukan proposal keberangkatannya ke Makassar. Ah, pasti sia-sia. Tanggal keberangkatan sudah di depan mata, tidak mungkin kampus akan secepat itu mencairkan dana.
Seorang senior menyarankannya untuk tetap mengajukan proposal ke pihak kampus dan ke beberapa instansi pemerintahan serta pihak perusahaan swasta.
Kamis pagi Lissa segera meminjam motor milik Titin dan izin libur kuliah untuk mengirimkan proposalnya ke beberapa tempat, Titin tidak tahu akan hal ini. Keesokannya sepulang kuliah Lissa kembali lagi ke beberapa tempat ia mengajukan proposal, dinas pendidikan menolak proposalnya. Alasan mereka pemerintah tidak bisa memberikan biaya di luar anggaran yang sudah ditetapakan. Lissa meneteskan air mata, pihak kantor meninggalkannya dengan senyum getir.
Petugas Bank Indonesia telah menjanjikannya untuk datang kembali agar memperoleh kabar proposalnya. Ketika tiba di sana, mereka bilang nanti akan dikabarkan lewat telepon.
Lagi-lagi proposalnya ditolak, menurut mereka kegiatan lomba yang diikuti oleh Lissa tidak akan memberikan timbal balik bagi instansi manapun.
Setelah melihat dompetnya, ia baru saja menyadari bahwa uangnya hanya tersisa beberapa lembar seribuan. Berkas proposal yang telah dicetaknya sudah memakan banyak biaya, namun tidak ada satu pun kabar bahwa mereka bersedia memberikan biaya keberangkatan.
Padahal Lissa tidak meminta banyak, hanya perlu biaya tiket keberangkatan dan kepulangannya. Apabila memang ada pihak yang akan memberinya dana hanya setengah dari jumlah dana yang diajukannnya, ia bersedia berangkat dengan angkutan mobil atau bus meski akan tiba sangat lama di Makassar.
Sudah lima belas instansi pemerintah dan perusahaan swasta menerima proposalnya, setiap hari Lissa berharap balasan telepon dari pihak yang berbaik hati akan memberikannya dana. Namun nihil, bahkan kantor gubernur juga tidak ada perkembangan.
Katanya, proposal dan surat terbukanya belum sampai ke atas. Memang sulit jika berurusan dengan birokrasi, apalagi mengemis dana.
Sebenarnya bisa saja Lissa meminta tolong pada Pakde agar memberikannya uang untuk berangkat, ia bisa berhutang dan membayarnya setelah tamat kuliah jika sudah bekerja. Tetapi itu adalah hal bodoh, Mak akan marah besar.
Ketika sedang mencuci baju, Pakde mengagetkan lamunannya. "Siapo, Pakde?"
"Pakde jugo dak tau, dio bilang nak nagih utang Lissa. Ke depan  be lah"
Lissa meninggalkan cucian bajunya. Seingatnya, ia tidak pernah berhutang kepada siapapun. Apakah Mak berhutang pada rentenir? Sehari sebelum Bapak meninggal, Mak mengirim SMS kalau ia tidak punya uang sepeser pun untuk membeli obat Bapak.
Dua orang menunggu di balik pagar rumah, kelihatannya ayah dan anak perempuannya. Lissa semakin gelisah, atau jangan-jangan Mak berhutang pada teman sekolahnya? Sehingga ia membawa ayahnya untuk menagih. Ya Allah, bayar pakai apa?
Perempuan itu berbalik, Titin rupanya.
"Lis, aku mau nagih utang kamu. Kalau besok kamu gak berangkat, aku gak mau lagi
goncengin kamu kuliah"Â
 "Maksudnyo Tin?"
Titin menyodorkan tiket pesawat.Â
"Seperti rindu, mimpi harus dibayar tuntas!" Titin mengedipkan matanya.
Lissa memeluk Titin dan menangis keras.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI