Pelibatan Swasta dalam Pengelolaan SampahÂ
Melihat dua pengalaman praktik pelayanan publik dari Kota Surat dan Kota Portland diatas, bahwa melibatkan pihak swasta (atau BUMD yang bekerjasama dengan Swasta) menjadi penting untuk pengelolaan pelayanan publik, dalam hal ini pengelolaan sampah. Sekiranya, terdapat tiga alasan kenapa perlu melibatkan pihak swasta dalam pengelolaan publik.
Pertama, membawa teknologi baru yang efesien (bila dikonversi dengan rupiah) dan ramah lingkungan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pihak swasta-lah yang memang kerap melakukan pengembangan / riset di berbagai bidang, tidak terkecuali dalam pengelolaan sampah.Â
Teknologi waste-to-energy yang sudah dilakukan negara-negara maju bahkan belakangan ini negara berkembang, India, Thailand, Philippine menjadi pilihan untuk suatu kota menerapkan teknologi waste-to-energy untuk merubah sampah menjadi energi (listrik).Â
Listrik yang dihasilkan akan dijual ke PLN untuk didistribusikan ke pelanggan rumah tangga atau non-rumah tangga (perkantoran, tempat belanja/hiburan, mall, pabrik, dll), yang hasil penjualannya ini diambil oleh pihak swasta untuk menggantikan modal / capital dan biaya operasional pengelolaan waste to energy ini.
Kedua, pendanaan. Seperti kita ketahui bahwa masih banyak pelayanan publik di berbagai daerah yang belum tertangani seperti kesehatan, perumahan, sanitasi, dan ditambah lagi untuk urusan pengelolaan sampah ini.Â
Sementara itu, kapasitas fiskal, baik dana transfer dari pusat yang masih terbatas, dan belum maksimalnya upaya pemerintah daerah untuk menciptakan pendapatan lainnya yang sah dari jasa dan non jasa, menyebabkan keuangan daerah masih sangat kurang, sehingga pelayanan pengelolaan sampah belum terlayani maksimal.
Ketiga, strategi keberlanjutan. Pengelolaan sampah ini merupakan kegiatan pembangunan pemerintah daerah, harus selalu ada dimana kota / kabupaten itu masih berdiri, dan memberikan pelayanan. Â
Kerap sekali developmental issues nya diluar kemampuan pemerintah daerah (walaupun itu merupakan kebijakan pemerintah nasional dan daerah), serta penanganannya harus yang non-business as usual. Berlandaskan pandangan itu, maka perlu kebijakan tersebut dioperasionalkan untuk dapat dijalankan bersama pihak swasta, yang sekali lagi punya kapasitas, baik itu pendanaan maupun teknologi yang state of the art.Â
Selain dari sisi penanganan diatas, pelibatan swasta juga dapat dimaksimalkan disisi hulunya, yaitu pada kegiatan 3 R. Berhasilnya negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura dan Malaysia dalam mendidik warganya untuk merubah perilaku tidak membuang sampah sembarangan, dan memulai untuk terlibat di kegiatan 3 R, tidak lepas dari peran kerjasama program pemerintah dengan swasta. Contoh Korea Selatan yang sudah mewajibkan Extended Producer Responsibility (EPR) untuk produsen atau perusahaan penghasil produk kemasan, untuk punya tanggung jawab / menarik kembali kemasannya atau mendaur ulang (recycle). Â
Di Indonesia kita mengenal yang namanya Corporate Social Responsibility (CSR), dan ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Keberadaan CSR sangat memungkinkan untuk terlibat di kegiatan public awareness tentang pengurangan sampah untuk bersinergi secara optimal dengan pemerintah (pusat sd kabupaten / kota) dalam menyasar program pendidikan formal yang memang diselenggarakan oleh pemerintah.