Mohon tunggu...
Novan Noorwicaksono Bhakti
Novan Noorwicaksono Bhakti Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah

Berusaha menebarkan kebaikan dalam media dan kondisi apapun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, Pergerakan Nasional Indonesia

7 Mei 2023   13:31 Diperbarui: 7 Mei 2023   13:33 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Salah satu dampak dari penerapan Politik Etis adalah munculnya kalangan priyayi rendahan yang mengenyam pendidikan modern. Melalui pendidikan modern ini, mereka mulai banyak mempelajari berbagai pemikiran kontemporer terkait kebebasan, persamaan, demokrasi,politik, pemerintahan, dan kemerdekaan. Semua itu dengan sangat gambling disampaikan oleh tokoh-tokoh pemikir Eropa. Apa yang mereka peroleh itu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di dalam kehidupan bangsa. Hingga memunculkan sejumlah keresahan yang menggangu pikiran dan perasaan mereka.

Keresahan itu diperparah lagi dengan fakta bahwa kondisi sosial ekonomi dan politik masyarakat yang sangat memprihatinkan. Eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia oleh pemerintah penjajahan Hindia Belanda dan perusahan-perusahaan swasta pada masa itu telah menyengsarakan rakyat. Kekayaan yang diperoleh negeri Belanda dari hasil ekploitasi itu tidak memberikan dampak yang signifikan bagi rakyat. Secara sosial, pemerintah penjajahan menerapkan semacam klasifikasi sosial di kalangan masyarakat. Stratifikasi itu dipisahkan berdasarkan warna kulit. 

Di antaranya adalah Kelas 1 atau kelas atas terdiri dari orang-orang Eropa, kelas menengah terdiri dari orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, India), dan kelas bawah terdiri dari orang-orang pribumi Indonesia asli. Perbedaan kelas sosial itu menyebabkan terjadinya perbedaan perlakuan di antara warga. Warga kelas tiga disebut sebagai inlander (pribumi) yang identik dengan kedudukan yang rendah. Secara sosial, orang-orang yang tergolong sebagai inlander ini tidak diperkenankan untuk berinteraksi sejajar dengan orang-orang kelas dua apalagi kelas satu.

Secara politik, usaha untuk mewakili aspirasi rakyat disalurkan melalui sebuah dewan bernama Volksraad (Dewan Rakyat), yaitu sebuah lembaga penasihat bagi gubernur jenderal. Setelah disetujui pada 16 Desember 1916, Volksraad mulai terlaksana pada tahun 1918 pada masa pemerintahan van Limbug Stirum. Secara fungsional dewan ini memiliki peran sebagai lembaga perwakilan rakyat bagi pemerintahan Hindia-Belanda. Kenyataannya, Volksraad tidak memiliki hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti DPR atau parlemen pada umumnya.

Pada 15 Juli 1936, Soetardjo Kartohadikusumo mengusulkan sebuah petisi yang telah ditandatangani oleh mayoritas anggota Volksraad kepada Belanda. Petisi ini berisi permohonan kepada Belanda agar diadakan sebuah musyawarah tentang sistem pemerintahan otonom di Indonesia.  Petisi ini segera mendapat penolakan. Belanda menganggap bahwa Indonesia belum siap untuk menyelenggarakan pemerintahan yang otonom. Penolakan petisi Soetardjo kemudian semakin membuka pikiran bangsa Indonesia. Rakyat semakin menyadari bahwa Belanda tidak akan pernah begitu saja menyerahkan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia.


Berbagai perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat selama masa pemerintah penjajahan Hindia belanda menimbulkan keresahan di kalangan golongan terpelajar. Terlebih dengan semakin memburuknya kondisi ekonomi masyarakat di tengah eksploitasi dan westernisasi oleh aksi kolonialisme Belanda. Usaha yang paling mungkin yang bisa mereka lakukan adalah dengan berjuang melalui organisasi pergerakan nasional. Berikut ini adalah beberapa organisasi yang dikembangkan oleh Bangsa Indonesia selama masa pergerakan nasional.

1.    Budi Utomo

Salah satu dampak dari penerapan Politik Etis adalah munculnya kalangan priyayi rendahan yang mengenyam pendidikan modern. Mereka merasakan keresahan akibat adanya kondisi ekonomi yang semakin memburuk. Hal itu disebabkan oleh eksploitasi kolonial Belanda dan westernisasi yang luar biasa. Keresahan itu telah membangkitkan semangat dr. Wahidin Soedirohoesodo untuk melakukan kampanye di kalangan priyayi Jawa. Wahidin juga menghimpun dana untuk dijadikan beasiswa bagi pelajar pribumi yang tidak mampu.

Pada akhir 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di Batavia. Mereka kemudian mendirikan organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional di Indonesia. Pada Saat itu Belanda masih melarang organisasi politik ada di Indonesia. Budi Utomo awalnya organisasi pelajar dengan para pelajar STOVIA sebagai intinya dan gerakan awal hanya di Jawa dan Madura.

Tujuan Budi Utomo terdiri dari :

a.  Menyadarkan kedudukan masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura pada diri sendiri.

b.  Berusaha meningkatkan kemajuan mata pencaharian serta penghidupan bangsa dengan memperdalam kesenian dan kebudayaan.

c.  Menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat Fokus pada masalah pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan.

d.  Membuka pemikiran penduduk Hindia seluruhnya tanpa melihat perbedaan keturunan, kelamin, dan agama.

Budi Utomo secara tersirat membela kehormatan bangsa, karena Bangsa Indonesia memiliki derajat yang sama dengan bangsa lain. Cita-cita itu kemudian menjadi cita-cita kaum Nasional Indonesia. Sejak 1 Agustus 1914, setelah meletusnya Perang Dunia I, Budi Utomo melakukan gerakan politik. Melancarkan isu politik, bahwa mempertahankan diri sendiri lebih penting dari serangan bangsa lain. Mendukung gagasan wajib militer pribumi. Mengirim Komite Indie Weerbaar ke Belanda untuk memperkuat pertahanan Hindia. Anggota Budi Utomo diperbolehkan untuk ikut dalam Volksraad (Dewan Rakyat) dan Komite Nasional untuk menghadapi pemilihan Anggota Volksraad. Budi Utomo juga menerbitkan majalah bulanan Goeroe Desa.

Dalam kongres pada 3-5 Oktober 1908, muncul etnonasionalisme yang semakin kuat. Gairah itu memunculkan dua golongan, yaitu golongan pemuda yang memilih jalan politik yang tegas dan golongan tua, yang memilih jalan politik sosio-kultural. Golongan muda yang minoritas dipimpin oleh Dr. Tjipto Mangunkoesoemo. Tjipto ingin agar Budi Utomo tersebar ke seluruh Indonesia. Sedangkan golongan tua ingin agar dibentuk dewan pemimpin dan mendukung pendidikan kalangan priyayi Jawa. Tjipto Mangoenkoesomo kemudian mengundurkan diri pada tahun 1909 dan memilih untuk mendirikan Indishe Partij.

2.    Sarekat Islam

Pada awalnya, Sarekat Islam adalah organisasi dagang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh K.H Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Di sisi lain, ternyata pada tahun 1909, R.M. Tirtoadisurjo mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi serupa di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Pada bulan November 1912 nama SDI diganti menjadi Sarekat Islam (SI) dengan ketuanya Haji Oemar Said Cokroaminoto dan H. Samanhudi sebagai ketua kehormatan. Perubahan nama tersebut bertujuan agar keanggotaannya menjadi luas, bukan hanya dari kalangan pedagang.

Berikut ini adalah tujuan berdirinya Sarekat Islam.

a.  Mengembangkan jiwa dagang.

b.  Memberikan bantuan kepada anggota-anggota yang kesulitan.

c.  Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.

d.  Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama Islam.

e.  Hidup menurut agama Islam

Pengaruh SI semakin meluas sesudah pada 26 Januari 1913 HOS Tjokroaminoto menyatakan bahwa cita-cita SI adalah mengembangkan perekonomian. Hingga mengkhawatirkan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Idenburg hanya memberikan badan hukum yang bersifat lokal bagi SI. Pertimbangannya, dengan begitu SI tidak akan menimbulkan kekhawatiran.

Pada Bulan Juni 1916 SI menyatakan cita-cita negara Indonesia. Pada Kongres 1917, muncul kekuatan sosialis dalam tubuh SI, yang dipelopori  Semaun, ketua cabang Semarang. Perjuangan SI menjadi lebih agresif melawan kolonialisme Barat yang kapitalistik. SI memutuskan untuk masuk ke volksraad. Pada kongres ketiga SI 1918, pengaruh Semaun serta golongan sosialis-komunis semakin kuat dan meluas.

Paham  sosialisme revolusioner disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. ISDV merasa bahwa pengaruh ideologi yang mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil.

Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda. Hingga mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo.

Dalam kongres kelima 1921, disusunlah anggaran dasar baru, hasil kesepakatan Semaun dan H. Agus Salim. Dinyatakan bahwa penjahan terhadap bangsa dan perekonomian disebabkan oleh kapitalisme, yang hanya bisa dikalahkan oleh persatuan kaum buruh dan tani.

Kongres keenam SI pada 10 Oktober 1921 memutuskan adanya disiplin partai berdasarkan usulan Abdul Muis dan H. Agus Salim. Disiplin ini mengharuskan setiap anggota untuk memilih apakah tetap setia kepada partai SI atau organisasi lain. Disiplin ini juga bertujuan untuk membersihkan organisasi dari unsur-unsur sosialis dan komunis. SI pun terpecah menjadi SI Putih dan SI Merah sesudah Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI. SI Putih berasaskan Islam dan dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto. SI Merah dipimpin Semaun, yang berasaskan komunis.

Nama SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada Kongres ketujuh. Pada tahun 1927 PSI menyatakan tujuan perjuangannya adalah untuk mewujudkan kemerdekaan nasional. PSI pun bergabung dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Pada tahun itu juga nama "Indonesia" disematkan menjadi nama partai menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). Perbedaan pandangan politik di antara tokoh-tokohnya menyebabkan PSII terpecah menjadi beberapa partai, seperti Partai Islam Indonesia (Soekiman), PSII Kartosoewirjo, PSII Abikusno dan PSII itu sendiri. Perpecahan ini menyebabkan PSII semakin lemah.

3.    Indische Partij

Berdiri di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912, Indische Partij dimaksudkan sebagai pengganti Indische Bond, organisasi kaum Indonesia dan Eropa yang didirikan pada tahun 1898. Ketiga tokoh pendiri Indische Partij dikenal dengan Tiga Serangkai.

Mereka adalah Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi), dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Indische Partij merupakan pergerakan nasional yang bersifat politik murni dengan semangat nasionalisme modern.

Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Dalam pandangannya, Indonesia dianggap sebagai National Home bagi semua orang, baik penduduk bumi putera maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengakui Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya.

Paham konsepsi kebangsaan ini pada waktu itu dikenal sebagai Indisch Nasionalisme, kemudian diubah menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasional Indonesia. Selanjutnya konsepsi ini dikembangkan oleh partai-partai lain seperti Perhimpunan Indonesia dan PNI. Hal itulah yang menyatakan bahwa Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia.

Indische Partij dinyatakan sebagai partai terlarang pada 4 Mei 1913. Douwes Dekker tetap berjuang di jalur politik. Ki Hajar Dewantara melanjutkan perjuangan dalam bidang pendidikan. Tjipto Mangoenkoesomo tetap mengambil jalan politik radikal sampai ditangkap dan diasingkan. Indische Partij merupakan partai politik pertama yang mengajukan konsepsi nasionalisme.

4.    Muhammadiyah

Sekembalinya dari Tanah Suci Mekkah, K.H.Ahmad Dahlan memiliki cita-cita untuk pembaharuan keagamaan. K.H. Ahmad Dahlan memilih masuk Budi Utomo pada tahun 1909 untuk mengajarkan agama Islam. Di situ dia mendapat saran untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Maka pada tanggal 18 November 1912 (Zulhijjah 1330 H) Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Muhammadiyah mendapatkan badan hukum No. 81 tanggal 22 Agustus 1914 di Yogyakarta. Pada 2 September 1921 Muhammadiyah mendapatkan izin untuk membuka cabang di seluruh Hindia Belanda. Muhammadiyah berjuang untuk memurnikan ajaran dan pendidikan Islam. Organisasi ini mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam, menertibkan wakaf dan mendirikan masjid-masjid serta menerbit buku-buku, brosur-brosur surat-surat kabar dan sebagainya.

Usaha lain untuk mencapai maksud dan tujuannya ialah :

a.  Mengadakan dakwah Islam

b.  Memajukan pendidikan dan pengajaran

c.  Menghidupkan-suburkan masyarakat tolong-menolong

d.  Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf

e.  Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti

f.  Berusaha kearah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam

g.  Berusaha dengan segala kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.

5.    Nahdlatul Ulama

Pendirian NU tidak dapat dilepaskan dari berdirinya organisasi Nahdatul Wathan (1914) dan Taswirul Afkar (1918) di Surabaya. Kedua organisasi perintis ini dibangun oleh pemuda-pemuda yang pernah belajar di Mekkah seperti K.H. Abdul Wahab dan K.H. Mas Mansur. Nahdatul Wathan bergelut pada bidang pendidikan dan dakwah. Taswirul Afkar (representasi gagasan) berkecimpung di bidang sosial.

Selain itu, Abdul Wahab dengan restu dari gurunya, K.H. Hasyim Asy'ari mendirikan sebuah usaha perdagangan dalam bentuk koperasi dengan nama Nahdatut Tujjar (Kebangkitan Usahawan). Tokoh lain yang berperan dalam berdirinya NU adalah K.H. Cholil (Bangkalan). Di sisi lain, berdirinya NU tidak akan bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi global yang terjadi pada saat itu, terutama gejolak yang terjadi di Timur Tengah pasca Perang Dunia I.

Pasca Perang Dunia I Kekhalifahan Turki runtuh. Raja Husein dari Hijaz dan Raja Sa'ud dari Najed sama-sama berambisi ingin saling menaklukan dan menyatukan Jazirah Arab. Raja Husein yang kalah, menyingkir ke Cyprus. Setelah memenangkan perang dan menyatukan Jazirah Arab, Raja Ibn Sa'ud ingin mengendalikan kehidupan beragama di sana. Untuk itu diberlakukanlah mazhab Wahabi sebagai mazhab tunggal pelaksanaan ibadah Islam di sana.

Raja Ibn Sa'ud juga ingin mengatur kekuasaan di dua kota suci Agama Islam, Makkah dan Madinah. Untuk itu, Raja pun hendak menyelenggakan pertemuan Muktamar 'Alam Islami di Hijaz pada bulan Juni 1926. Pertemuan ini sudah lama ingin digelar oleh negara-negara Islam di Timur Tengah. Hanya saja selalu terkendala oleh situasi sosial-politik yang tidak stabil. Raja Sa'ud mengirim undangan ke berbagai negara, termasuk Indonesia, melalui Central Comite Chilafat (CCC), yang terbentuk di Surabaya tahun 1924.

Di Indonesia tersiar kabar tentang kebijakan Raja Ibn Sa'ud yang merombak total praktek-praktek keagamaan, seperti larangan bermadzhab, ziarah makam, beribadah haji menurut madzhab dan sebagainya. CCC memutuskan untuk mengirim H.O.S. Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur sebagai delegasi untuk Muktamar 'Alam Islami di Makkah.

Atas seizin K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Abdul Wahab Chasbullah membentuk komite sendiri, yaitu Komite Hijaz untuk mengirim delegasi ke Muktamar di Makkah. Pertemuan diadakan pada 31 Januari 1926 dan dihadiri ulama terkemuka Jawa dan Madura.  KH. Raden Asnawi dari Kudus ditunjuk sebagai delegasi Komite Hijaz. Untuk menaungi delegasi itu, Komite Hijaz dibubarkan, lalu dibentuklah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M). Hal itu mengkhawatirkan ulama Islam tradisional, yang diwakili oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah. Setelah menerima undangan, CCC mengadakan Kongres Al-Islam kelima, Februari 1926, di Bandung.

Sebelum kongres, K.H. Abdul Wahab Chasbullah meminta agar delegasi mendesak Raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab di Hijaz. Para pemuka CCC sepertinya tidak memperhatikan usulan itu dan cenderung mendukung paham Wahabi. Pendekatan K.H. Abdul Wahab Chasbullah terhadap tokoh-tokoh CCC pun gagal. Pada saat penyelenggaraan kongres CCC di Bandung, K.H. Abdul Wahab Chasbullah tidak hadir karena ayahnya sakit keras dan kemudian wafat. NU banyak berperan dalam pengembangan pendidikan berbasis pesantren dan pendidikan formal melalui lembaga pendidikan Daarul Ma'arif. NU juga banyak berperan dalam pengembangan ekonomi umat dan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia.

6.    Perhimpunan Indonesia

Perhimpunan Indonesia didirikan pada tahun 1908 oleh orang-orang Indonesia yang berada di Belanda, antara lain R.P. Sosro Kartono, R. Husein Djoyodiningrat, R.M Noto Suroto, Notodiningrat, Sutan Kasyayangan Saripada, Sumitro Kolopaking, dan Apituley. Mula-mula organisasi itu bernama Indische Vereeniging.

Awalnya Indische Vereeniging memiliki tujuan untuk mengurus kepentingan bersama orang-orang Indonesia yang berada di Belanda. Organisasi ini juga merupakan tempat untuk berdiskusi terhadap apa yang sedang dialami oleh Bangsa Indonesia yang berada dalam kekuasaan Pemerintah Jajahan Hindia Belanda.

Pasca Perang Dunia I perasaan anti kolonialisme dan imperialisme di kalangan pemimpin Indische Vereeniging semakin menonjol. Pada perkembangannya Indische Vereeniging semakin progresif dengan mengubah pergerakannya ke dalam dunia politik. Tujuan organisasipun berubah, yaitu untuk berjuang memperoleh suatu pemerintahan Indonesia yang bertanggung jawab pada rakyat Indonesia.

Indische Vereeniging kian berkembang pesat setelah Chung Hwa Hui, organisasi mahasiswa Indonesia keturunan Tionghoa menggabungkan diri tahun 1917. Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berubah menjadi Indonesische Vereeniging. Pada 3 Februari 1925, nama Indonesische Vereeniging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Organisasi ini semakin disegani di kalangan organisasi-organisasi sejenis di kalangan negara terjajah. Perjuangan Indische Vereeniging didukung oleh penerbitan buklet. Pergerakan PI dalam bidang politik semakin tegas. Perjuangannya pun semakin kuat sesudah Iwa Koesoemasoemantri terpilih sebagai ketua pada tahun 1923. Perhimpunan Indonesia bergerak berdasarkan tiga asas, di antaranya sebagai berikut.

a.  Indonesia menentukan nasib tanpa campur tangan pihak lain

b.  Indonesia akan bersatu untuk mencapai kemerdekaan dari penjajahan Belanda

c.  Indonesia akan belajar secara mandiri untuk dapat mencapai persatuan yang digunakan sebagai alat melawan kolonialisme Belanda

Kegiatan PI meningkat menjadi nasional-demokratis dan meninggalkan sikap untuk tidak bekerja sama dengan penjajah. PI juga sering mengikuti kegiatan nasional dan internasional dengan menunjukkan sikap anti kolonial. Pada Kongres I di Berlin 1927, PI mengirimkan wakil diantaranya Moh. Hatta, Nazir Pamondjak, Gatot dan A. Subardjo. Namun setelah Kongres kedua dan Perhimpunan indonesia keluar dari liga, PI mendapatkan reaksi keras dari Belanda.

Kemudian pada 10 Juni 1927, empat anggota Perhimpunan Indonesia yakni Moh. Hatta, Nazir Pamontjak, Abdulmadjid Djojoadiningrat dan Ali Sastroamidjojo ditangkap. Kemudian keempatnya ditahan sampai tanggal 8 Maret 1928. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan di Den Haag pada 22 Maret 1928 keempatnya dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.

Dalam kalangan pergerakan nasional di Indonesia, pengaruh PI cukup besar. Beberapa organisasi pergerakan nasional mulai lahir karena mendapatkan inspirasi dari PI, seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927.

7.    Partai Komunis Indonesia (PKI)

Pada tahun 1913 Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet datang dari Belanda ke Indonesia untuk mencari pekerjaan. Sneevliet merupakan anggota aktif Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di negeri Belanda. Di Indonesia, Sneevliet bekerja sebagai anggota Staf Redaksi Warta Perdagangan Soerabajasche Handesblad, milik sindikat perusahaan-perusahaan gula di Jawa Timur. Kemudian bekerja sebagai sekretaris asosiasi dagang di Semarang (Semarang Handelsvereniging). Di Semarang Sneevliet menanamkan pengaruhnya dalam VSTP (Vereniging van Spoor en Tramsweg Personeel), sebuah organisasi buruh kereta api.

Dia juga menjadi editor koran VSTP, de Volhading (Keyakinan). Demi menyebarkan pengaruh sosialisme, Sneevliet mempelajari Bahasa Indonesia dan Jawa. Dia pun mengadakan kontak dengan orang-orang sosialis Belanda di Hindia Belanda. Pada tahun 1914 Sneevliet, J.A. Brandstender, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) dengan total anggota 60 orang. ISDV menerbitkan koran Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) (1915), Soeara Merdika (1917) dan Soeara Ra'jat (1918) dalam bahasa Indonesia.

Aliansi ISDV dengan Insulinde secara resmi diakhiri melalui kongres 1916, karena perbedaan tujuan yang tidak menguntungkan. Aliansi dengan Sarekat Islam (SI) menuai sukses besar melalui sistem keanggotaan rangkap. Sejak 1917 kelompok radikal berbakat SI masuk ISDV. Mereka dididik dalam semangat sosialis revolusioner. Semaoen adalah figur paling menonjol yang menjadi juru bicara ISDV pada konggres SI tahun 1916. Figur kedua adalah Darsono, seorang wartawan yang menjadi anggota SI.

Pasca Revolusi Rusia tahun 1917, Sneevliet semakin kuat menanamkan pengaruhnya, dengan cara menyusupi semua lapisan masyarakat Indonesia. Melalui surat kabarnya, Sneevliet secara terbuka juga melontarkan hasutannya untuk melancarkan pemberontakan. Keadaan inipun kemudian membuat pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan tegas dengan mengusir tokoh sentral ISDV yaitu Sneevliet (1918), Brandsteder (1919) dan Baars (1923).

Pada tanggal 23 Mei 1920, dalam konggres ISDV VII di kantor SI Semarang nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis Hindia Belanda. Susunan pengurus perserikatan tersebut, Ketua Semaoen, Wakil Ketua Darsono, Sekretaris P. Bergsma, Bendahara, HW Dekker, dan urusan Keanggotaan Baars. Pasca Perubahan nama dan keikutsertaan dalam Komintern (Komunis Internasional) muncullah pertentangan dalam tubuh SI.

Fraksi Komunis yang dipimpin oleh Semaoen dan Tan Malaka, berusaha mengendalikan dan menguasai jalannya Kongres Nasional VI SI bulan Oktober 1921 di Surabaya. Sejak sistem keanggotaan rangkap dihapuskan, muncullah SI Merah dan SI Putih yang saling berlawanan. SI merah mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat dan menyatakan dirinya sebagai organisasi radikal nasionalis yang juga mengembangkan aktivitasnya dengan membuka cabang di Padang dan Makasar.

Pergerakan PKI pun menjadi lebih radikal, terutama kelompok pimpinan Alimin dan Muso. Pengikut dan simpatisan PKI semakin banyak. Kondisi itu mengkhawatirkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah saat itu mengambil tindakan dengan cara memisahkan para tokoh berpengaruh dengan massanya. Tindakan pertama dilakukan dengan mengusir Tan Malaka (1922), Semaoen dan Darsono bersama kaum radikal Belanda lainnya (1923). Tanpa tokoh-tokoh berpengaruh tersebut, gerakan massa menjadi tidak terkoordinasi dan tidak beraturan. Hingga menimbulkan aksi-aksi teror dan sporadis tanpa instruksi pimpinan.

Akhirnya, pada tahun yang sama Semaoen dan Darsono kembali, mulai diadakan konsolidasi lagi. Pada bulan Juni 1924, Perserikatan Hindia Belanda mengadakan konggres di Jakarta dengan mempergunakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai pertama yang menggunakan nama Indonesia. Sejak saat itu, PKI berhasil tumbuh menjadi partai politik yang memiliki massa pengikut yang semakin besar. Pada bulan Desember 1924 di Kotagede, Yogyakarta, Sarekat Rakyat dilebur ke dalam PKI. Sayangnya, PKI belum mampu melakukan kontrol dan menanamkan disiplin pada massa pengikutnya.

Sesudah PKI menjadi organisasi terlarang, banyak kaum terpelajar, intelektual dan tokoh pergerakan yang dibatasi pergerakannya. Atas dasar itu, kaum intelektual dan terpelajar menganggap bahwa cara-cara radikalisme dan kekerasan bukanlah jalan yang benar untuk menghadapi Pemerintah Kolonial dan memperjuangkan kemerdekaan. Pemikiran itu menjadi dasar bagi kaum terpelajar Algemeene Studie Clud Bandung untuk mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927.

8.    Partai Nasional Indonesia (PNI)

PNI memiliki dasar perjuangan non-kooperasi, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan marhaenisme. Tokoh-tokoh PNI di antaranya adalah Ir. Soekarno, Iskaq, Budiarto, Cipto Mangunkusumo, Tilaar, Soedjadi, dan Soenaryo. Dalam pengurus besar PNI, Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua, Iskaq sebagai sekretaris/bendahara, dan Dr. Samsi sebagai komisaris.

Dalam perekrutan anggota, mantan anggota PKI tidak diperkenankan menjadi anggota PNI. Pegawai negeri juga tidak diperkenankan, karena memungkinkan berperan sebagai mata-mata pemerintah kolonial. Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan PNI untuk memperkuat diri dan pengaruhnya di masyarakat.

a.  Usaha ke dalam

Usaha-usaha terhadap lingkungan sendiri, antara lain mengadakan kursus-kursus, mendirikan sekolah-sekolah dan bank-bank.

b.  Usaha ke luar

Memperkuat opini publik terhadap tujuan PNI, antara lain melalui rapat-rapat umum dan menerbitkan surat kabar Benteng Priangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia.

Perkembangan pesat PNI sebagian disebabkan oleh pengaruh Soekarno yang merupakan orator ulung dan kharismatik. Banyak propaganda Soekarno yang menarik perhatian rakyat. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, de Graeff, dalam pembukaan sidang Volksraad memperingatkan PNI untuk berhenti melakukan propaganda. Peringatan itu tidak dihiraukan. Pada akhir 1929 muncul isu bahwa PNI akan melakukan pemberontakan pada awal 1930. Bahkan Gubernur Jenderal de Graef mendapatkan tekanan dari konservatif Belanda yang tergabung dalam Vanderlansche Club untuk bertindak tegas. Mereka berkeyakinan bahwa PNI melanjutkan taktik PKI.

Pada 24 Desember 1929 Pemerintah Jajahan Hindia Belanda melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh PNI, seperti Soekarno, Maskun, Gatot Mangkupraja dan Supriadinata. Mereka diajukan ke Pengadilan Landraad di Bandung.  Dalam pengadilan itu, Soekarno menyampaikan pidato pembelaan yang dikenal dengan judul "Indonesia Menggugat". Di dalamnya memuat pandangan Soekarno tentang pergerakan nasional, kemerdekaan Indonesia dan dihapuskannya pemerintah kolonial. Soekarno dan kawan-kawannya pun dipenjarakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Pemenjaraan tokoh-tokoh PNI menyebabkan kekhawatiran di kalangan tokoh dan anggota partai. Demi keselamatan seluruh anggotanya, pengurus besar PNI membubarkan PNI pada tahun 1933. Di sisi lain, salah satu tokoh PNI, Mr. Sartono, menyelenggarakan kongres luar biasa. Kongres itu menghasilkan partai baru, yaitu Partindo (Partai Indonesia). Jumlah anggota Partindo tidak terlalu banyak. Dalam kondisi itu, Mr. Sartono tetap menunggu kebebasan Ir. Soekarno. Sementara, bagi anggota lain yang tidak setuju dengan berdirinya Partino, seperti Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir, mereka memilih membentuk partai sendiri, yaitu PNI Pendidikan (PNI Baru).

9.    Partai Indonesia (Partindo)

Kongres Partindo diadakan pertama kali pada 15-17 Mei 1932 di Jakarta dan dihadiri oleh Ir. Soekarno yang saat itu belum menjadi anggota. Partindo tetap mempertahankan asas non-kooperatif. Mr. Sartono berpendirian untuk bekerjasama dengan partai atau organisasi yang sama-sama non-kooperatif. Bahkan dia menolak menggabungkan Partindo ke dalam organisasi PPPKI yang kooperatif. Padahal Mr. Sartono sendiri merupakan salah satu tokoh pendiri PPPKI.

Partindo memiliki prinsip-prinsip menentukan nasib sendiri, kebangsaan, menolong diri sendiri dan demokrasi. Pada Kongres Juli 1933, Ir. Soekarno menjelaskan konsep Marhaenisme. Konsep itu menekankan pada perjuangan membela rakyat kecil, serta menekankan kebahagiaan, kesejahteraan dan keadilan sosial untuk rakyat kecil. Sikap non-kooperatif Partindo kembali menarik perhatian Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial melarang pegawai negeri untuk menjadi anggota Partindo.

Puncaknya adalah penangkapan dan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores pada 1 Agustus 1933 oleh Gubernur Jenderal de Jonge. Pasca pembuangan Soekarno, ruang gerak partai jadi terbatas. Bahkan kongres partai yang akan diselenggarakan pada 30-31 Desember 1934 pun dilarang oleh pemerintah. Partindo terus berjalan sampai membubarkan diri pada 18 November 1936.

Sumber

Mintz, Jeane S. 2003. Muhammad, Marx dan Marhaen: Akar Sosialisme Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Niel, Robert van. (1984). Munculnya Elit Modern Indonesia. Zahara Deliar Noer, dan Bur
Rasuanto (Ed.). Jakarta: Pustaka Jaya

Poesponegoro, Marwati Djoenet dan Nugroho Notosusanto. 1984 Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Pringgodigdo. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Yogyakarta: Gadjah Serambi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun