Mohon tunggu...
NOVA EVENTINA PURBA
NOVA EVENTINA PURBA Mohon Tunggu... Akuntan - Universitas Mercubuana

Jurusan : Magister Akuntansi NIM : 55522120017 Nama Dosen : APOLLO, PROF. DR, M.SI.AK

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus Serat Tripama untuk Audit Kepatuhan Pajak Warga Negara

18 April 2024   17:40 Diperbarui: 18 April 2024   17:40 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://radarbojonegoro.jawapos.com/daerah/714042101/pasang-tapping-box-restoran-dan-rumah-makan-di-kabupaten-blora-optimalkan-pajak-restoran


Serat Tripama adalah sebuah karya sastra Jawa yang berbentuk tembang macapat (Dandanggula), yang merupakan salah satu warisan berharga dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Negara IV (selanjutnya disebut KGPAA Mangku Negara IV). Karya ini mengandung berbagai ilmu dan nilai-nilai luhur, serta keindahan bahasa dan sastra yang sangat berharga dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, terutama di kalangan masyarakat Jawa. (Salehudin, 2018). Sedangkan Menurut Hendri (2008: 1), Serat Tripama merupakan warisan berharga dari Sri Mangkunegara IV di Surakarta yang mengisahkan tiga contoh utama. Khususnya bagi prajurit dan abdi negara yang menjalankan tugas mereka sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Awalnya, Serat Tripama ditujukan untuk prajurit dan abdi dalem Pura Mangkunegaran. Selama masa penjajahan Belanda, karya tersebut juga dijadikan panduan dan sumber inspirasi untuk melawan penjajah serta mempertahankan kemerdekaan. Namun, dalam skala yang lebih luas, Serat Tripama mengajarkan kepada seluruh warga negara mengenai pentingnya nilai-nilai nasionalisme dan semangat kebangsaan yang harus dimiliki oleh setiap individu.

Serat Tripama menciptakan sebuah genre baru dalam sastra Jawa yang unik. Dalam kontennya, karya ini juga termasuk dalam kategori serat wulang, yang berarti dapat memberikan pembelajaran atau mengandung pesan moral yang tinggi. Isi dari Serat Tripama membawa pelajaran tentang moralitas, semangat patriotisme, dan nasihat yang relevan untuk kehidupan dalam masyarakat.

Nilai-nilai yang terdapat dalam Serat Tripama mencakup:

a. Nilai Kesetiaan

Kesetiaan yang diceritakan oleh Mangkunagara IV dalam Serat Tripama terbagi menjadi dua aspek, yakni (1) kesetiaan terhadap Negara, yang tercermin dalam karakter Patih Suwanda. Sebagai seorang prajurit, Patih Suwanda menunjukkan kesetiaan yang kuat terhadap Negara. (2) Kesetiaan terhadap teman, yang ditampilkan melalui karakter Karna. Karna adalah contoh yang sangat memperjuangkan nilai kesetiaan terhadap sahabatnya. Dia merupakan sosok yang setia dalam persahabatan.

b. Nilai Keberanian

Nilai keberanian, digambarkan melalui tokoh Patih Suwanda. Patih Suwanda adalah prajurit yang pemberani. Hal itu dibuktikan ketika Patih Suwanda harus berperang melawan Raja Alengka, Patih Suwanda tidak merasa takut.

c. Nilai Tanggung Jawab

Dalam Serat Tripama, Mangkunagara IV menggambarkan nilai tanggung jawab dalam dua aspek yang berbeda. Pertama, tanggung jawab terhadap keselamatan tanah air, yang diperlihatkan melalui karakter Kumbakarna. Kumbakarna memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keamanan dan keselamatan tanah airnya. Kedua, tanggung jawab terhadap janji, yang tercermin dalam karakter Adipati Karna. Sebagai seorang adipati yang diberikan kedudukan oleh Raja Duryudana, Karna berjanji untuk selalu mendukung dan membantu Raja dalam segala situasi, termasuk saat perang Baratayuda. Karna menunjukkan tanggung jawabnya terhadap janji yang telah dia buat dengan Duryudana.

d. Nilai Kebenaran

Karakter Kumbakarna dalam Serat Tripama memiliki nilai kebenaran yang tinggi. Dia berupaya untuk menjadi individu yang menghargai dan mengedepankan kebenaran, dengan tujuan untuk menghilangkan segala bentuk ketidakbenaran ("sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti").

https://sumedangkab.go.id/berita/detail/camat-surian-bangga-kolektor-pajaknya-dapat-hadiah-umroh
https://sumedangkab.go.id/berita/detail/camat-surian-bangga-kolektor-pajaknya-dapat-hadiah-umroh

 

KEPATUHAN PAJAK 

Kepatuhan pajak merupakan proses pelaporan pendapatan dan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Definisi ini menjelaskan bahwa individu yang taat pajak akan secara akurat melaporkan pendapatannya dan membayar pajak yang terutang tepat waktu tanpa campur tangan dari pihak berwenang pajak.

 

Ada dua model dasar tentang kepatuhan pajak, yaitu model kepentingan finansial sendiri dan model yang diperluas. Model kepentingan finansial sendiri mengasumsikan bahwa setiap wajib pajak bertindak rasional dan berusaha untuk maksimalkan pendapatannya dengan mempertimbangkan kemungkinan terdeteksi oleh pihak berwenang pajak. Teori ini mengidentifikasi tiga variabel utama yang memengaruhi kepatuhan pajak, yaitu tarif pajak, probabilitas terdeteksi, dan sanksi pajak yang berlaku. Sedangkan model yang diperluas mengidentifikasi variabel utama yang memengaruhi kepatuhan pajak, yang terbagi menjadi demografi (seperti usia dan jenis kelamin), peluang ketidakpatuhan (seperti pendidikan dan jumlah pendapatan), sikap (seperti etika dan pengaruh kelompok), dan struktural (seperti sanksi, probabilitas pemeriksaan, dan tarif pajak). (Ezer & Ghozali, 2017).

 

Pajak merupakan instrumen penting bagi negara dalam mendukung pembiayaan berbagai kegiatan. Tingkat kepatuhan pajak menjadi faktor penentu dalam besarnya penerimaan negara dari pajak. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara konseptual hubungan antara kepatuhan pajak dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan berbagai penelitian, disimpulkan bahwa kepatuhan pajak dapat berperan signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

Pajak pada dasarnya adalah proses transfer pembayaran dari wajib pajak untuk mendukung kebutuhan dan pengeluaran pemerintah dalam pembangunan. Melalui sistem pajak, negara dapat mengoptimalkan penerimaan dalam negeri untuk membiayai pembangunan. Pajak menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara yang vital dalam pembangunan nasional. Setiap tahun, pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan pajak untuk mendukung pembangunan. Semakin besar penerimaan negara dari pajak, semakin besar pula kemampuan keuangan negara dalam mendanai pembangunan. Sebaliknya, jika penerimaan pajak rendah, kemampuan negara dalam mendanai pembangunan juga akan terbatas.

 

Membayar pajak dapat diartikan sebagai tindakan sukarela seseorang untuk menyumbangkan sebagian keuangan mereka kepada negara sebagai fiskus sebagai imbalan atas penggunaan atau kepemilikan tertentu. Dalam konteks penggunaan pajak, fungsi pajak dapat berperan sebagai alat regulasi anggaran dan stabilitas. Dari segi fungsi anggaran, pajak berperan sebagai sarana untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah, termasuk pengeluaran rutin dan pembangunan publik.

 

Dari pemahaman ini, tampaknya masalah utama dalam perpajakan adalah sejauh mana kesadaran masyarakat untuk mematuhi kewajiban pajak mereka sesuai dengan hukum yang berlaku. Meskipun ada banyak faktor yang memengaruhi penerimaan pajak, seperti faktor ekonomi makro, efektivitas sistem perpajakan, perdagangan, dan iklim bisnis global, kepastian dalam pematuhan pajak (tax compliance) merupakan tujuan utama yang sangat penting bagi pemerintah dalam upaya mendanai pengeluaran publik dan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kepatuhan pajak adalah faktor terpenting dari semua faktor yang memengaruhi penerimaan pajak. Kesadaran yang tinggi dari masyarakat akan mendorong lebih banyak orang untuk mematuhi kewajiban mereka sebagai wajib pajak, melaporkan, dan membayar pajak dengan benar sebagai wujud tanggung jawab sebagai warga negara. Semakin tinggi tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, semakin besar pula penerimaan pajak, seperti yang dikemukakan oleh James and Nobes (1997: 137). Kepatuhan pajak ini mencerminkan seberapa bersedia masyarakat mematuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

 

Kesadaran wajib pajak dalam mematuhi kewajiban perpajakannya sangat penting untuk mendukung pembangunan negara. Contoh dari kepatuhan perpajakan dapat diilustrasikan melalui sikap yang tergambar dalam Serat Tripama.

 

Serat Tripama menggambarkan dalam bentuk pupuh macapat dhandanggula, dengan tujuh bait yang mengisahkan kisah tiga tokoh utama dari dunia pewayangan Jawa. Ketiga tokoh ini berasal dari cerita yang berbeda. Tokoh pertama adalah Bambang Sumantri, yang juga dikenal sebagai Patih Suwanda, seorang patih dari kerajaan Maespati yang setia kepada Raja Harjunasasrabahu. Kisahnya terjadi sebelum era Sri Rama dalam kisah Ramayana. Tokoh kedua adalah Raden Kumbakarna, panglima perang tertinggi dari kerajaan Alengka, dan merupakan adik dari raja negara tersebut, Rahwana. Tokoh ketiga adalah Adipati Karna atau Basukarna, yang terkenal dalam pewayangan pada masa Mahabarata (Setyawan, Mulyaningtyas, dan Rohmadi 2021).

 

Isi Ajaran luhur dalam Serat Tripama

 

1.      Bambang Sumantri atau Patih Suwanda

 

Tokoh utama ini adalah putra dari Resi Wisanggeni yang berasal dari Padepokan Jatisarana. Sejak masa kecilnya, Sumantri bertekad untuk melayani Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati. Sumantri berhasil mengalahkan Prabu Dharmawisesa dan adiknya, serta membawa Dewi Citrawati, putri Manggada, untuk dipersembahkan kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Kesaktian Sumantri terbukti ketika ia berhasil memindahkan taman Sriwedari atas permintaan Dewi Citrawati, dengan bantuan adiknya, Sukasrana, yang memiliki ilmu Candabirawa. Sumantri, yang kemudian dikenal dengan gelar Patih Suwanda di negeri Maespati, terkenal dengan keberaniannya dan kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas berat dengan penuh tanggung jawab.

 

2. Kumbakarnas

 

Kumbakarna adalah seorang pejuang yang tidak mementingkan kehormatan, pangkat, atau jabatan. Motivasi perjuangannya adalah cinta kepada tanah air. Baginya, berperang bukanlah untuk meraih kemenangan, tetapi merupakan bentuk pengabdian terakhir kepada negara dan bangsanya. Ia tidak bertarung untuk memenuhi keinginan raja karena tidak setuju dengan tindakan sang raja.

 

3. Adipati Karna

 

Adipati Karna Basusena, putra Dewi Kunthi dengan Dewa Surya, sangat mahir dalam seni bela diri. Dia diangkat sebagai saudara oleh Duryudana dan dipilih sebagai panglima perang untuk kerajaan Hastinapura. Merasa telah diberi kehormatan, kekayaan, dan kemuliaan, ia menganggap bahwa kewajiban seorang prajurit sejati adalah berperang di medan perang, meskipun ia sadar bahwa tidak akan mungkin menang dalam pertempuran melawan saudaranya, Arjuna. Meskipun demikian, tekadnya untuk menjalankan kewajiban dan takdirnya sangatlah kuat.

 

https://radarbojonegoro.jawapos.com/daerah/714042101/pasang-tapping-box-restoran-dan-rumah-makan-di-kabupaten-blora-optimalkan-pajak-restoran
https://radarbojonegoro.jawapos.com/daerah/714042101/pasang-tapping-box-restoran-dan-rumah-makan-di-kabupaten-blora-optimalkan-pajak-restoran

 

REAKTUALISASI NILAI SERAT TRIPAMA DALAM KEPATUHAN PAJAK

  

1.            Nilai Setia Terhadap Perintah dalam Kepatuhan Pajak

 

Serat Tripama, dalam konteks filsafat Jawa, mengajarkan nilai-nilai yang menjadi landasan bagi kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Salah satu nilai yang ditekankan dalam serat Tripama adalah nilai setia terhadap perintah. Nilai ini sangat relevan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks kepatuhan pajak. Kepatuhan pajak merupakan kewajiban warga negara untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Nilai setia terhadap perintah menjadi landasan moral yang penting dalam memastikan kepatuhan pajak sebagai bentuk kontribusi masyarakat terhadap pembangunan negara. Dalam konteks kepatuhan pajak, nilai setia terhadap perintah memainkan peran kunci dalam memotivasi individu untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Setia terhadap perintah mengimplikasikan komitmen yang kuat untuk mentaati aturan dan regulasi yang berlaku, termasuk dalam hal pembayaran pajak. Ketika seseorang memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap perintah, ia cenderung untuk patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah terkait pembayaran pajak. Hal ini tidak hanya mencerminkan tanggung jawab individual, tetapi juga rasa solidaritas terhadap masyarakat dan negara secara keseluruhan.

 

Pentingnya nilai setia terhadap perintah dalam konteks kepatuhan pajak dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pertama-tama, nilai ini mencerminkan integritas individu dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara. Individu yang memiliki integritas yang tinggi akan berusaha untuk mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku, termasuk dalam hal pembayaran pajak, tanpa adanya upaya untuk menghindari atau melanggar aturan-aturan tersebut. Mereka menyadari bahwa dengan membayar pajak secara tepat waktu dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mereka ikut berkontribusi dalam pembangunan negara dan pelayanan publik. Selain itu, nilai setia terhadap perintah juga mencerminkan sikap ketaatan terhadap otoritas yang sah. Dalam konteks kepatuhan pajak, otoritas yang berwenang menetapkan aturan-aturan perpajakan adalah pemerintah. Dengan mematuhi perintah yang diberikan oleh pemerintah terkait pembayaran pajak, individu menunjukkan penghargaan mereka terhadap legitimasi dan kewenangan pemerintah sebagai representasi dari kehendak masyarakat secara keseluruhan. Sikap ketaatan ini merupakan landasan penting dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan sistem perpajakan dalam suatu negara.

 

Selanjutnya, nilai setia terhadap perintah juga berimplikasi pada keadilan sosial. Dalam sebuah masyarakat yang adil, setiap individu memiliki tanggung jawab yang sama dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Ketika sebagian besar individu mematuhi perintah untuk membayar pajak dengan benar, hal ini menciptakan keadilan dalam pembagian beban pajak di antara anggota masyarakat. Individu yang setia terhadap perintah dalam hal pembayaran pajak tidak hanya berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan fiskal negara, tetapi juga membantu memastikan bahwa beban pajak didistribusikan secara adil sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Namun, dalam praktiknya, nilai setia terhadap perintah dalam konteks kepatuhan pajak sering kali dihadapkan pada tantangan-tantangan tertentu. Salah satu tantangan utama adalah adanya kecenderungan untuk menghindari atau mengurangi kewajiban perpajakan secara tidak sah. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan terhadap pengelolaan keuangan negara, kurangnya kepercayaan terhadap sistem perpajakan, atau kesempatan untuk memanfaatkan celah-celah hukum yang ada. Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya nilai setia terhadap perintah dalam konteks kepatuhan pajak. Ini dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan edukasi dan sosialisasi yang menyasar pada pemahaman masyarakat tentang konsekuensi positif dari kepatuhan pajak serta dampak negatif dari pelanggaran peraturan perpajakan. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan yang ada. Di samping itu, perlu juga adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran peraturan perpajakan. Dengan memberlakukan sanksi yang sesuai bagi para pelanggar, pemerintah dapat menciptakan efek deterrent yang mampu mengurangi tingkat pelanggaran perpajakan di masyarakat. Namun, penegakan hukum tersebut harus dilakukan secara adil dan proporsional, serta diiringi dengan upaya-upaya rehabilitasi dan pemberian kesempatan untuk memperbaiki kesalahan bagi para pelanggar yang bersedia untuk berubah.

 

Dengan demikian, nilai setia terhadap perintah dalam konteks kepatuhan pajak memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan keadilan, keberlanjutan, dan kemakmuran bersama dalam suatu masyarakat. Melalui komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai moral ini, diharapkan bahwa masyarakat dapat bekerja sama secara efektif dalam membangun negara yang lebih baik melalui kontribusi pajak yang tepat dan adil.

 

2.            Nilai Cinta Pada Bangsa Dan Negara Dalam Kepatuhan Pajak

 

Serat Tripama, sebagai bagian dari warisan sastra kuno Jawa, menggambarkan prinsip-prinsip tinggi masyarakat Jawa, khususnya nilai cinta terhadap bangsa dan negara. Ini termasuk kesetiaan, pengabdian, dan kepatuhan pada pemerintah serta kewajiban warga, termasuk pembayaran pajak. Dalam karya ini, kepatuhan pajak dipandang sebagai cermin dari kesetiaan dan cinta pada bangsa dan negara, mencerminkan pengabdian kepada pemerintah dan rasa hormat pada negara. Pada tingkat dasar, cinta pada bangsa dan negara tercermin dalam kepatuhan pada hukum, termasuk aturan pajak, bukan hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi juga sebagai tanggung jawab moral terhadap kemajuan bersama. Dalam Serat Tripama, kepatuhan pada pajak dipandang sebagai bentuk pengabdian pada pemerintah yang menunjukkan rasa hormat dan kesetiaan pada negara. Lebih lanjut, cinta pada bangsa dan negara tercermin dalam kesadaran akan pentingnya sumber daya untuk pembangunan dan kesejahteraan bersama. Melalui pembayaran pajak, masyarakat berkontribusi pada program pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup. Dalam karya ini, tokoh-tokoh yang membayar pajak dengan kesadaran akan dampak positifnya bagi negara diilustrasikan dengan baik. Selain itu, kepatuhan pada pajak mencerminkan keadilan dan persamaan di hadapan hukum. Dalam masyarakat yang mencintai negaranya, tidak ada tempat untuk korupsi atau penggelapan pajak. Setiap individu dihormati atas kepatuhannya dalam membayar pajak sesuai dengan kemampuannya, sesuai dengan ajaran moral Serat Tripama yang menekankan integritas dan kejujuran.

 

Cinta pada bangsa dan negara juga mengandung makna solidaritas dan gotong royong, di mana masyarakat saling mendukung untuk mencapai kemajuan bersama. Dalam konteks pajak, ini tercermin dalam kesadaran bersama akan tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban pajak demi kepentingan bersama. Dalam Serat Tripama, nilai-nilai gotong royong dan solidaritas dijelaskan sebagai dasar kehidupan sosial yang harmonis. Kepatuhan pada pajak bukan hanya kewajiban individual, tetapi juga kontribusi spiritual bagi kesejahteraan kolektif. Dalam karya ini, pembayaran pajak dianggap sebagai amal yang membawa berkah, mencerminkan pemahaman mendalam akan konsep karma atau hukum sebab-akibat. Dengan membayar pajak dengan ikhlas, seseorang dianggap berbuat baik bagi dirinya dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam era globalisasi dan kompleksitas sistem pajak modern, nilai-nilai cinta pada bangsa dan negara menjadi semakin penting dalam menjaga stabilitas sosial. Kepatuhan pada pajak mencerminkan komitmen moral dan etis terhadap pembangunan bersama. Dalam menghadapi tantangan zaman, masyarakat perlu memperkuat komitmen mereka terhadap nilai-nilai luhur, termasuk cinta pada bangsa dan negara sebagaimana tergambar dalam Serat Tripama.

 

3.            Nilai Rela Berkorban Jiwa dan Raga dalam Kepatuhan Pajak

 

Penggambaran nilai "Rela Berkorban Jiwa dan Raga" yang terdapat dalam Serat Tripama tidak hanya terbatas pada konteks pewayangan Jawa, tetapi juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam konteks kepatuhan pajak. Serat Tripama, sebuah karya sastra Jawa yang kaya akan nilai moral, memberikan pelajaran yang mendalam tentang pengorbanan dalam pengabdian kepada negara. Kepatuhan pajak, dalam konteks ini, bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai kebangsaan dan kepatuhan kepada tugas-tugas yang diberikan. Dalam cerita Serat Tripama, karakter-karakter seperti Bambang Sumantri (Patih Suwanda), Raden Kumbakarna, dan Adipati Karna menunjukkan kesediaan untuk berkorban jiwa dan raga demi kepentingan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Mereka tidak hanya berjuang untuk kepentingan pribadi atau golongan, tetapi juga untuk kebaikan bersama dan kehormatan negara. Patih Suwanda, misalnya, dengan setia melayani Raja Harjunasasrabahu, mengorbankan segala-galanya untuk keamanan dan kemakmuran kerajaan Maespati. Begitu pula dengan Raden Kumbakarna, yang rela berperang demi negaranya, Alengka, meskipun ia sadar bahwa ia tidak akan bisa menang melawan saudaranya, Arjuna. Kisah-kisah ini memberikan inspirasi tentang pentingnya pengorbanan dalam melayani kepentingan yang lebih besar. Dalam konteks kepatuhan pajak, hal ini dapat diartikan sebagai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajak sebagai bentuk kontribusi kepada negara dan masyarakat. Kepatuhan pajak bukan hanya tentang membayar pajak tepat waktu, tetapi juga tentang kesediaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara melalui kontribusi finansial yang diberikan.

Kepatuhan pajak yang ditunjukkan oleh warga negara adalah manifestasi nyata dari kesetiaan dan pengabdian kepada negara. Seperti halnya Patih Suwanda yang setia kepada raja, kepatuhan pajak mencerminkan kesetiaan terhadap pemerintah dan kepatuhan kepada hukum yang berlaku. Ini juga menunjukkan adanya tanggung jawab sosial yang dimiliki oleh setiap individu terhadap keberlangsungan negara dan masyarakatnya. Namun, rela berkorban jiwa dan raga dalam konteks kepatuhan pajak tidak selalu mudah dilakukan. Ada banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi, seperti ketidakpastian ekonomi, kesenjangan sosial, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pembayaran pajak. Untuk itu, diperlukan upaya dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya kepatuhan pajak sebagai bentuk kontribusi nyata dalam pembangunan negara. Selain itu, kepatuhan pajak juga membutuhkan adanya kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah dalam pengelolaan dan penggunaan dana pajak secara efektif dan transparan. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah atau adanya indikasi korupsi dan penyalahgunaan dana publik dapat mengurangi motivasi masyarakat untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang adil dan transparan serta meningkatkan kualitas pelayanan publik sangatlah penting. Pemerintah juga perlu melakukan kampanye dan sosialisasi yang intensif tentang pentingnya kepatuhan pajak sebagai bagian dari kewajiban sosial dan moral setiap warga negara. Dalam konteks globalisasi dan era digital, tantangan kepatuhan pajak semakin kompleks dengan adanya berbagai macam bentuk transaksi dan investasi lintas batas. Namun demikian, nilai "Rela Berkorban Jiwa dan Raga" yang terdapat dalam Serat Tripama tetap relevan dan dapat menjadi inspirasi bagi setiap individu untuk menjalankan kewajiban pajaknya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Kesimpulan

Diskursus Serat Tripama, yang mengusung nilai-nilai kesetiaan terhadap perintah, cinta pada bangsa dan negara, serta rela berkorban jiwa dan raga, memiliki relevansi yang signifikan dalam konteks audit kepatuhan pajak warga negara. Sebagai karya sastra Jawa yang kaya akan nilai-nilai moral, Serat Tripama memberikan pandangan mendalam tentang pentingnya pengabdian kepada negara dan masyarakat melalui kesetiaan terhadap perintah. Kisah-kisah tokoh seperti Bambang Sumantri, Raden Kumbakarna, dan Adipati Karna menggambarkan komitmen yang teguh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka terhadap negara. Dalam konteks kepatuhan pajak, nilai kesetiaan terhadap perintah menekankan pentingnya mematuhi peraturan yang berlaku dan melaksanakan kewajiban pajak sebagai bentuk penghormatan terhadap pemerintah dan negara.

Selain nilai kesetiaan, Serat Tripama juga mencerminkan nilai cinta pada bangsa dan negara. Kisah-kisah dalam Serat Tripama menggambarkan rasa cinta yang mendalam terhadap tanah air dan keinginan untuk melindungi serta memperjuangkan kehormatan negara. Hal ini dapat diterapkan dalam audit kepatuhan pajak dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kontribusi finansial bagi pembangunan negara. Cinta pada bangsa dan negara mendorong warga negara untuk membayar pajak dengan tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai bentuk dukungan terhadap kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Selanjutnya, nilai rela berkorban jiwa dan raga yang tercermin dalam Serat Tripama juga memiliki implikasi penting dalam audit kepatuhan pajak. Kisah-kisah tokoh yang siap berkorban demi kepentingan yang lebih besar dari diri mereka sendiri menegaskan pentingnya pengorbanan dalam melayani kepentingan bersama. Dalam konteks kepatuhan pajak, nilai rela berkorban jiwa dan raga mengajarkan bahwa membayar pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bentuk pengabdian dan kontribusi nyata bagi negara dan masyarakat. Masyarakat yang memiliki kesadaran akan nilai-nilai tersebut cenderung lebih patuh dalam membayar pajak dan lebih terbuka terhadap kebijakan perpajakan yang bertujuan untuk kemajuan bersama.

Dengan demikian, integrasi nilai-nilai kesetiaan terhadap perintah, cinta pada bangsa dan negara, serta rela berkorban jiwa dan raga dari Serat Tripama dalam audit kepatuhan pajak warga negara dapat membentuk landasan yang kokoh dalam memperkuat sistem perpajakan dan membangun masyarakat yang lebih sadar akan tanggung jawabnya terhadap negara. Melalui pendekatan ini, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan pajak serta memperbaiki pengelolaan keuangan publik sehingga menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Kesetiaan dan keteguhan komitm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun