Mohon tunggu...
M. Nova Burhanuddin
M. Nova Burhanuddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya mahasiswa yang sedang menempuh studi keislaman di Universitas Al-Azhar Mesir. Semoga Kompasiana ini dapat menjadi wadah untuk berbagi informasi dan pengetahuan yang menarik dan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksistensialisme Maqashid Syariah

26 Juni 2016   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2016   08:24 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Pembaca lihat, kan, bagaimana kegelisahan Syaikh yang unik di atas? Kegelisahan yang seakan ingin melampaui pegunungan raksasa Ushul Fiqih yang tak mampu mencegah gempa bumi perselisihan pendapat demi semesta Maqashid Syariah yang dibayangkan mampu menenangkan goncangan hebat perselisihan Fiqih. Mampukah ia akhirnya? Atau bagaimanakah kita memahami fenomena kegelisahan ini dengan lebih jernih dan esensial? Di sinilah poros yang makalah ini ingin tuju.

Eksistensialisme Kemandirian Maqashid Syariah sebagai Peruncing Peran Ushul Fiqih

           Kegelisahan mendapatkan jaminan kebenaran dalam perselisihan Fiqih seperti diceritakan di atas bukanlah hal yang sama sekali baru. Mungkin bisa dikatakan di sini merupakan kegelisahan eksistensialis semua Ulama yang bergelut dalam dunia Fiqih secara khusus atau ilmu-imu Islam secara umum. Kegelisahan eksistensialis ini sangat wajar bila melihat efek perdebatan Fiqih yang seringkali berhasil negatif. Meski begitu ungkapan kegelisahan ini bervariasi coraknya dan beragam kadarnya. Ada yang muncul dalam kecenderungan Qawâ’id Fiqhiyyah. Ada yang dalam Qawâ’id Ushûliyyah. Fiqh al-Khîlaf. Ushûl al-Fiqh. Dan tentu saja Maqâshid asy-Syarî’ah

            Dalam wilayah Ushul Fiqih, wilayah yang punya kedekatan secara historis dan eksistensialis dengan Maqashid Syariah, secara khusus akan kita dapatkan nuansa kegelisahan tersebut. Seperti yang diceritakan dengan terus terang oleh Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur dalam Maqâshid asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah. Ada beberapa tokoh yang Syaikh ceritakan. Di antaranya Imam al-Haramain.

“Dan sungguh telah jatuh pada Imam al-Haramain rahimahullah di awal kitab al-Burhân suatu udzur memasukkan apa yang bukan qath’îy (pasti) dalam masalah-masalah Ushul seraya berkata: ”Seandainya dikatakan: perincian khabar-khabar Âhâd dan Qiyas-qiyas tidak didapatkan kecuali dalam Ushul Fiqih padahal itu semua tidak qath’îy. Kita (yakni Imam al-Haramain) katakan: porsi seorang Ushuli adalah menjelaskan yang qath’îydalam (keharusan) mengamalkannya (yakni: khabar-khabar Âhâd dan Qiyas-qiyas). Akan tetapi harus menyebutkan itu semua supaya al-madlûl (yakni: khabar-khabar Âhâd dan Qiyas-qiyas) jelas dan dalil (yakni: yang qath’îy) berkaitan dengan al-madlûltersebut.”[21]

            Kutipan ini Syaikh Ibn ‘Asyur komentari:

“Ini udzur yang lemah karena kita belum melihat mereka (yakni: ushûliyyîn) mengkodifikasi dalam Ushul Fiqih ushul yang pasti (ushûl qawâthi’) yang mungkin bisa menghentikan orang yang berselisih ketika ia berlaku menyelisihi ketentuan tersebut sebagaimana para ulama lakukan dalam Ushuluddin, bahkan belum kita dapati al-qawâthi’(dalil-dalil yang pasti) kecuali jarang, seperti penyebutan al-Kulliyyât al-Dharûriyyah: hifzh ad-dîn wa an-nafs wa al-’aql wa an-nasab wa al-mâl wa al-‘irdh(menjaga agama, jiwa, akal, nasab, harta, dan kehormatan). Selain itu, sebagian besar Ushul Fiqih adalah mazhnûnah(bersifat zhannîy,spekulatif).”[22]

            Kritik Syaikh di atas juga perlu sedikit dikomentari. Mungkin yang terjadi adalah beda persepsi. Syaikh mengharapkan Ushul Fiqih menjadi ujung tombak penyelesai Fiqih yang sering berujung panas dan Syaikh ‘kecewa’ lalu mencoba cari solusi dari Maqashid Syariah. Sementara Ushul Fiqih sejak semula tidak dikhususkan untuk itu, tapi masalah penyelesaian perselisihan tersebut masuk dalam konsep besar Ushul Fiqih sebagai ilmu tentang dalil-dalil Fiqih: bagaimana dalil-dalil Fiqih yang sebenarnya, bagaimana mempergunakannya, dan bagaimana kriteria orang yang mampu mempergunakannya—jadi seputar bagaimana proses pembuatan Fiqih dan yang melekat dengannya, tentu saja mengatasi efek ‘ledakan’ Fiqih tanpa kontrol secara esensial masuk di dalamnya. Jadi maksud dari Ushul Fiqih dan Maqashid Syariah berbeda, Ushul Fiqih lebih umum dari Maqashid Syariah, keduanya tidak saling kontradiktif, bahkan dalam perkembangan selanjutnya ketika masing-masing dikaji secara mandiri dan berkembang pesat, keduanya bisa saling melengkapi. Impian-impian positif baru saja bisa kita lihat bentuk nyatanya dalam al-Muwâfaqât karya asy-Syathibi. Karya monumental ini ternyata tidak dimaksudkan menggantikan Ushul Fiqih ala Mutakallimin dan Fuqaha`, hanya berusaha mendamaikan keduanya. Atau katakanlah, al-Muwâfaqâtmenjadi paradigma baru dalam metode penulisan Ushul Fiqih, yakni dengan proyek ‘merapikan’ dan ‘mempertegas’ Ushul Fiqih dalam beristinbath dan beristidlal. Karenanya kodifikasi Ushul Fiqih menurut asy-Syathibi harus berisi hal-hal yang qath’iyyahsaja, sementara soal pemahaman permasalahan yang pelik yang tidak berkaitan langsung dengan proses istinbath dan istidlal, atau masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan keduanya namun sebatas bersifat zhanniyyah,hendaknya diserahkan pada Kalam atau Ushuluddin (untuk yang pertama) atau dikutipkan dalam Ushul Fiqih sebagai pelengkap (tab’iyyah) saja. Dan Syaikh Ibn ‘Asyur sendiri, dalam penulisan proyek Maqashid Syariahnya, mengakui mengikuti atsar asy-Syathibi, tidak mengabaikan inti-inti penting beliau, meskipun tidak berarti sedang menukil atau meringkas kitab al-Muwâfaqât.[23]

            Selain Imam al-Haramain, Syaikh Ibn ‘Asyur juga mengutip ulama ushuli lain. Ada baiknya kita juga kutip di sini. Dalam Syarahnya Imam al-Qarafi terhadap al-Mahshûl karya ar-Razi dalam masalah kedua  dari masalah-masalah lafazh dalam al-amrdanan-nahy, bahwasanya Ibn al-Anbari (mungkin yang benar al-Abyari?[24]) berkata dalam Syarah al-Burhân: “Masalah-masalah Ushul adalah qath’iyyah tidak cukup dalam Ushul Fiqih zhann, dan madrakUshul adalah qath’îy, akan tetapi yang qath’îy bukan yang tertulis dalam kitab-kitab, tapi maknanya adalah bahwasanya siapa yang banyak istiqra`nya dan telaahnya (al-iththilâ’) terhadap keputusan-keputusan Sahabat, munâzharah-munâzharah mereka, dan mawârid nas-nas Syar’iah pastilah hasil baginya kepastian (al-qath’) akan kaidah-kaidah Ushul, dan kapan lalai dari itu tidak akan hasil baginya kecuali zhann.” Nukilan ini kemudian oleh Syaikh dikomentari: “Ini jawaban batil, karena kita (sedang) di hadapan hukum terhadap masalah-masalah ilmu Ushul Fiqih bukan terhadap apa yang hasil bagi sebagian Ulama Syariah.”[25]

            Ada beberapa kalimat ajaib nan kuat dari asy-Syathibi di muqaddimah pertama dalam al-Muwâfaqât, penting sekali kita simak baik-baik, sebagai berikut:

“Bahwa Ushul Fiqih dalam agama adalah qath’iyyah bukan zhanniyyah. Dalil untuk itu adalah bahwasanya Ushul Fiqih kembali pada kulliyyât asy-syarî’ah, dan apapun yang demikian maka ia qath’îy. Penjelasan untuk yang pertama: jelas dengan istiqrâ` yang memberi kesimpulan qath’. Penjelasan untuk yang kedua dari beberapa sisi: Pertama, bahwasanya kulliyyât asy-syarî’ahkembali adakalanya pada ushûl ‘aqliyyah[26]dan ia qath’iyyah, adakalanya pada istiqrâ` kullîy dari dalil-dalil Syariah, dan istiqrâ` kullîyitu qath’îyjuga. Tidak ada (kemungkinan) yang ketiga untuk dua ini kecuali (kemungkinan) gabungan keduanya, dan yang tersusun dari beberapa qath’îyadalah qath’îy. Dan itulah Ushul Fiqih. Kedua, bahwasanya kulliyyât asy-syarî’ah seandainya ia zhanniyyah ia tak akan kembali pada amr ‘aqlîy karena zhann tidak diterima dalam al-‘aqliyyât, tidak pula pada kullîy syar’îy karena zhannhanyaberkaitan dengan al-juziyyât[27] karena bila boleh zhann berkaitan dengan kulliyyât asy-syarî’ah maka boleh pula zhannberkaitan dengan ashl asy-syarî’ah karena ia (yakni ashl asy-syarî’ah) adalah al-kullîy al-awwal, dan itu tidak boleh secara adat. Yang dimaksud kulliyyât asy-syarî’ah di sini adalah adh-dharûriyyât, al-hâjjiyyât dan at-tahsîniyyât. Dan juga seandainya boleh zhann berkaitan dengan ashl-asy-syarî’ah pastilah boleh keraguan (syakk)berkaitan dengan kulliyyât asy-syarî’ah padahalkulliyyât asy-syarî’ah tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya, dan pastilah boleh mengganti kulliyyât asy-syarî’ah dan menukarnya dan itu menyalahi apa yang telah Allah jamin berupa penjagaan kulliyyât asy-syarî’ah tersebut. Ketiga, bahwasanya seandainya boleh menjadikan azh-zhannîy sebagai ashldalam Ushul Fiqih pastilah boleh menjadikan azh-zhannîy sebagai ashldalam Ushuluddin, dan tidak demikian dengan kesepakatan. Begitu juga di sini. Karena nisbahnya Ushul Fiqih dari ashl asy-syarî’ahitu seperti nisbahnya Ushuluddin (dari ashl asy-syarî’ah).Dan jikapun berselisih nisbahnya dalam martabah tapi nisbahnya sama dalam hal bahwasanya nisbah keduanya adalah kulliyyât mu’tabarah dalam semua millah. Dan kulliyyât mu’tabarah itu masuk dalam konsep bahwsanya hifzh ad-dîn (menjaga agama) termasuk dharûriyyât.”[28]         

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun