Model pengkhususan pembahasan Maqashid Syariah dalam bagian tertentu—setelah sebelumnya disela-selakan dalam bab ushul fiqih tertentu—inilah mungkin yang mendorong pemikir kontemporer mencoba memandirikan Maqashid dari Ushul Fiqih. Faktor lain untuk itu, yakni wacana asy-Syathibi bahwa Maqashid Syariah adalah dasar syariah sepenuhnya, lantaran jadi dasar utama sehingga tak mengapa memandirikannya jadi ilmu tersendiri.
Di antara ulama kontemporer yang paling terkenal dalam usaha kemandirian Maqashid Syariah tersebut adalah Syaikh ath-Thahir bin ‘Asyur dari Tunis. Akan coba kita amati dan analisis wacana-wacana beliau soal ini. Dalam Maqâshid asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah, buku Maqashid mandiri yang pertama ada itu, beliau menyatakan:
“Inilah kitab yang aku tujukan untuk mengimlakkan pembahasan-pembahasan yang agung tentang Maqashid Syariah Islamiah dan memberikan contoh tentangnya, berhujjah untuk menetapkannya, supaya menjadi obor bagi orang-orang yang ber-tafaqquhfî ad-dîn, dan menjadirujukan di antara mereka ketika terjadi perselisihan pandangan,terjadi perubahan masa, dan menjadi wasilahuntuk mendekatkan perselisihan di antara fuqaha` negeri-negeri, dan menjadi latihan para pengikut mereka untuk insaf dalam mentarjih sebagian qaul atas sebagian yang lain ketika beterbangan percikan-percikan perselisihan sehingga dengan begitu tenanglah apa yang kami kehendaki berupa membuang ta’ashshub dan pulang kepada kebenaran jika tujuannya adalah menolong muslimin dengan ‘kelembapan’ mentasyri’kan maslahat-maslahat mereka ‘yang baru datang’ kapanpun terjadi kejadian-kejadian dan saling bercabang-cabangnya perkara-perkara, dan hancurlah dalam munâzharahmereka ‘sekumpulan besar kuda’ (banyak ulama hebat).”[10]
Dari cuplikan kalimat di atas, mulai terlihat bibit kemandirian Maqashid Syariah yang penulis maksud. Yakni tatkala Maqashid Syariah tidak lagi dianggap hanya bagian dari pembahasan mashâlih mursalah, al-munâsabah wa al-ikhâlah fî masâlik al-‘illah, at-tawâtur, al-ma’lûm bi-adh-dharûrah, haml al-muthlaq ‘alâ al-muqayyad.[11] Namun dianggap sebagai ide yang mampu menjadi “obor bagi orang-orang yang ber-tafaqquhfî ad-dîn”, “rujukan ketika terjadi perselisihan pandangan”, dan “latihan para pengikut mereka untuk insaf dalam mentarjih” yang kemudian menjadi semacam faidah proyek kemandirian Maqashid Syariah ala beliau ini. Optimisme inilah yang pada akhirnya disambut meriah dan gegap gempita oleh sebagian pemikir dan ulama untuk coba menemukan ‘logos’ syariah Islam, bahkan secara berlebihan ‘logos’ Islam keseluruhan itu sendiri. Namun di sisi lain, ada juga ulama dan pemikir yang ‘mempertanyakan’optimisme ini, lantaran perselisihan pandangan Fiqih dan Ushul Fiqih lumrah dan fitrah. Sebelum membahas lebih dalam kiranya lebih baik kita lanjutkan ‘kisah’ kemandirian Maqashid Syariah ini.
Syaikh Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur melengkapi uraian faidah Maqashid Syariah tersebut dengan motif berupa problematika keberhasilan Ushul Fiqih dalam mendamaikan perselisihan madzhab. Ini juga mengingatkan pula pada kisah motif asy-Syathibi menulis al-Muwâfaqât di atas, meskipun sedikit berbeda rinciannya. Motif apa yang Syaikh Muhammad bin ‘Asyur keluhkan? Yakni kesulitan berakhirnya proses perselisihan pandangan pada dalil-dalil dharûriyyah atau yang mendekatinya, sebagaimana keberhasilan ilmu-ilmu rasional filosofis dengan metode manthiq berujung. Jadi kalau dikristalkan secara bahasa, ada semacam ‘kecemburuan metodologis’ ilmu syariah pada ilmu rasional (‘aqliyyah) dalam hal ‘merengkuh kepastian kebenaran’, padahal, menurut beliau, ilmu syariah lebih berhak mendapatkan ‘kepastian kebenaran’ tersebut. Perhatikan uraian Syaikh berikut:
“Telah mendorongku untuk mengerahkan kesungguhan kepadanya (yakni: mengimlakkan pembahasan Maqashid Syariah) apa yang aku lihat berupa kesulitan berhujjah di antara pihak-pihak yang berselisih dalam masalah-masalah syariah, karena mereka tidak berakhir dalam perdebatan mereka pada dalil-dalil dharûriyyahatau yang mendekatinya yang mana orang yang sombong akan tunduk padanya dan orang yang terbingungkan dengan syubuhâtakan mendapat petunjuk, sebagaimana ahli ilmu-ilmu ‘aqliyyah dalam perdebatan logis filosofis mereka berakhir pada dalil-dalil dharuriyyât, musyâhadât,dan ushûl maudhû’ah,lantas terputuslah di antara semua orang perdebatan dan tercabutlah dari ahli jadalapa yang sedang mereka alami berupa desakan, dan aku melihat ulama syariah dengan hal itu (yakni: dalil-dalil dharuriyyât, musyâhadât,dan ushûl maudhû’ah) lebih utama dan bagi akhirat sesuatu yang lebih baik dari dunia (al-ûlâ).[12]
Dari kalimat-kalimat di atas, terlihat kegelisahan Syaikh terhadap ‘ketidakpastian kebenaran’ dalam perdebatan syariah dan kecemburuannya terhadap ‘kepastian metodologis’ ilmu-ilmu rasional (‘aqliyyah) dengan metode Manthiq. Agak hiperbolik di sini, memang, juga generalisasi metodologis. Kenapa? Karena sebenarnya perselisihan dan perdebatan ilmu-ilmu rasional bahkan lebih tajam dan kejam dibanding punyanya ilmu-ilmu syariah. Karena perselisihan ilmu-ilmu rasional dan filosofis tidak dibatasi oleh wilayah kajiannya sekaligus metode garapannya yang mana diserahkan pada karakter filsafat itu sendiri. Tiap kali datang filsafat baru, selalu harus punya proyek kritik proyek filosofis sebelumnya hingga ditemukan kelemahannya kemudian digantikan dengan proyek filsafat yang baru. Kemungkinan lebih parah ini yang membuat penulis lebih condong menyatakan bahwa yang dimaksud Syaikh dengan ilmu-ilmu ‘aqliyyah(rasional) adalah Kalam atau Ushuluddin, lebih tepatnya terbatas pada lingkungan Ahlussunnah wa al-Jama’ah (Aswaja). Mengapa begitu?
Kita lihat sekarang bagaimana ‘kepastian kebenaran’ coba dihadirkan oleh Kalam. Sebagaimana dimaklumi dalam Kalam Aswaja segala perdebatan harus kembali pada dasar-dasar dharûriyyah berupa fakta bahwa hukum akal hanya ada tiga: wajib[13], mustahil[14], jaiz[15].[16] Ketiga hukum akal tersebut akan diolah untuk menyatakan dan membuktikan postulat-postulat seputar akidah—tentunya dengan dalil-dalil syar’i sebagai bahan utama dan inspirasi olahan tersebut. Dalam hal mustahil, semua proses perdebatan akan dinyatakan sebagai mustahil, sehingga perdebatan harus dihentikan ketika bertemu satu atau lebih dari empat kesimpulan ini: ad-daur, at-tasalsul, at-tarjih bi-lâ murajjih, dan tahshîl al-hâshil.[17] Selain itu, pembahasan Kalam juga bertumpu pada dalil-dalil musyâhadât terutama pembuktian bahwa alam itu hâdits[18]karena alam mengalami perubahan, juga bahwa alam itu mungkin/jaiz, bukan wajib, karena alam tersusun dengan satu atau lebih dari satu atom atau malah banyak sekali atom. Fakta bahwa alam berubah dan alam tersusun tentu saja diambil dari pengalaman musyâhadât yang sangat dipertimbangkan dalam Kalam. Prinsip-prinsip di atas begitu kokoh dan sistematis serta gamblang sehingga diakui menjadi semacam konsensus semua orang yang berfikir—sehingga tak ada perselisihan dalam ranah ini kecuali oleh kaum minoritas yang mengingkari akal, badîhiyyât, dan musyâhadât. Inilah sedikit gambaran soal kehadiran ‘kepastian kebenaran’ dalam Kalam tersebut, meskipun tidak seluruh aspek dalam Kalam bersifat pasti. Itulah mungkin sekelumit ‘kepastian kebenaran’ yang dicemburui Syaikh Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur, kemudian coba beliau ‘saingi’ dengan proyek kemandirian Maqashid Syariah.
Itulah kegelisahan metodologis Syaikh. Suatu kegelisahan yang menjadi batu loncat ke horizon yang lebih luas. Horizon Maqashid Syariah yang lebih mandiri, lebih independen, lebih berpengaruh dalam proses ijtihad yang dirindukan, lebih dekat pada kepastian kebenaran. Gelisah merupakan suatu kehadiran eksistensialis yang muncul dari ‘konspirasi’ kegelapan, ketertutupan kemaslahatan, kebingungan pondasi pemikiran yang bergolak dan bersitegang terus-menerus menuju ‘kesepakatan’ penerangan, keterbukaan kemaslahatan, dan ‘ketercerahan’ pondasi pemikiran—hal-hal yang tentu saja ingin diwujudkan dan direalisasikan oleh Syaikh Ibn ‘Asyur dengan kemandirian Maqashid Syariah ini. Inilah kegelisahan eksistensialis sebagai keniscayaan eksistensi Maqashid Syariah berelasi dengan eksistensi-eksistensi lain seperti Ushul Fiqih, perselisihan Fiqih tanpa ujung, Kalam, realitas sosial dan politik yang mengitari beliau, ledakan aplikasi dari temuan teori sains baru yang terlalu optimis, serta perkembangan pemikiran yang gegap gempita—relasi kehadiran yang diarahkan menuju pencerahan dan keterbukaan eksistensialis yang sesungguhnya.[19]
Dalam wujud konkret dan eksplisit, kegelisahan eksistensialis dalam kasus Syaikh di atas hadir dan muncul dalam keraguan terhadap Ushul Fiqih secara khusus: mampukah memberi cukup kepastian kebenaran untuk menyelesaikan ‘pertempuran’ Fiqih? Dengan segera Syaikh menjawab, “Tidak!” Kenapa? Syaikh mengungkapkan dua hal. Pertama, bahwa Ushul Fiqih sebagian besar permasalahannya diperselisihkan sehingga berimbas pada perselisihan hukum fiqih yang dihasilkan darinya. Kedua, Ushul Fiqih abai terhadap pelayanan Hikmah Syariah dan Maksudnya, hanya berputar soal istinbath hukum-hukum syariah dari lafazh-lafazh Syari’ lewat kaidah-kaidah tertentu. Perhatikan kalimat-kalimat beliau berikut ini:
“Terkadang seseorang menyangka bahwa dalam masalah-masalah Ilmu Ushul Fiqih terdapat kecukupan untuk tuntutan tujuan ini (yakni: dalil-dalil Dharûriyyât, Musyâhadât,dan Ushûl Maudhû’ah) padahal bahwasanya jika ia mantab dari Ilmu Ushul, dia melihat dengan penglihatan yakin bahwa sebagian besar masalah-masalahnya diperselisihkan di antara para pemikir, lagi berlangsung terus-menerus di antara mereka perselisihan dalam furu’ (yakni: hukum-hukum parsial) mengikuti perselisihan dalam Ushul tersebut. Bila kau kehendaki, katakan: sungguh berlangsung terus di antara mereka perselisihan dalam furu’ karena kaidah-kaidah Ushul mereka tarik dari sifat-sifat furu’ itu (yakni: diperselisihkan, tidak pasti), karena bahwa Ilmu Ushul belum dikodifikasi kecuali setelah kodifikasi Fiqih sekitar 2 kurun, atas dasar bahwa sejumlah mutafaqqihîn konon lemah dalam Ushul seraya berjalan di dalam Ushul dalam keadaan berjalan kaki, dan sedikit orang yang menaiki matan Fiqih lantas diundanglah peperangan maka ialah yang pertama kali turun; karena itulah belum pernah Ilmu Ushul menjadi tempat akhir yang mana berakhirlah pada hukumnya orang-orang yang berselisih dalam Fiqih, dan sulit atau udzurlah kembalinya mereka pada penyatuan pendapat atau pendekatan keadaan. Atas dasar bahwasanya sebagian besar masalah-masalah Ushul Fiqih tidak kembali pada pelayanan Hikmah Syariah dan Maksudnya, akan tetapi ia berputar sekitar poros istinbath hukum-hukum dari lafazh-lafazh Syari’ dengan perantara kaidah-kaidah yang memungkinkan seorang ‘arif (ahli) dengannya untuk menarik furu’ darinya atau untuk menarik sifat-sifat yang mengizinkan dengannya lafazh-lafazh itu dimungkinkan untuk dijadikan sifat-sifat itu sebagai pendorong tasyri’ lantas diqiyaskanlah furu’ yang banyak pada satu tempat datangnya lafazh dari lafadz-lafazh tersebut dengan kepercayaan mencakupnya furu’ itu seluruhnya atas washf (sifat) yang mereka percayai bahwa ialah maksud dari lafazh Syari’, itulah washfyang dinamakan dengan ‘illah. Dan dengan ibarat yang lebih dekat, kaidah-kaidah yang dicakapi itu memungkinkan untuk memperkuat furu’ yang telah ditarik oleh fuqaha` sebelum ditemukan Ilmu Ushul supaya furu’ itu dengan perantara kaidah-kaidah itu diterima dalam jiwa-jiwa orang-orang yang memakainya dari kalangan muqallid-muqallid madzhab-madzhab.”[20]