Mohon tunggu...
Naurah Nazhifah Azzahra
Naurah Nazhifah Azzahra Mohon Tunggu... Jurnalis - @nouranazhif

A human who learning to be human and humanize human.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

George Floyd, Media, sampai Wolf Warrior

4 Juni 2020   08:55 Diperbarui: 6 Juni 2020   06:03 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi melakukan aksi protes. (sumber: Thinkstockphotos via kompas.com)

Beberapa hari terakhir, mungkin saya dan pembaca sekalian dibuat heran dengan berbagai pemberitaan soal kejadian yang dialami oleh George Floyd, seorang warga Amerika yang dibunuh oleh Polisi Mineapolis karena menggunakan uang palsu untuk membayar sejumlah barang di salah satu mini market. 

Tapi, terlepas dari itu semua, ada hal lain yang lebih lucu bagi saya, yaitu ketika sebagian Muslim justru membuat kabar ini sebagai komparasi penderitaan warga Palestina yang diberitakan dengan cukup massif.

Di sisi lain, media juga tidak kalah lucunya, bagaimana media dalam hal ini sangat berpengaruh besar terhadap terciptanya satu standar atas kecantikan seseorang, yang seringkali menampilkan range kulit putih dan bibir tipis di iklan-iklan mereka pada umumnya.

"Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang paling minimal adalah berhenti membanding-bandingkan satu kasus dengan kasus lain meskipun memiliki asas yang sama, yaitu kemanusiaan dan rasisme."

Saya sebagai Muslim sangat meyakini bahwa permasalahan toleransi dalam Islam, apalagi sebatas perbedaan warna kulit, sudah lama tuntas. Kita mengetahui bagaimana peran dari beberapa sahabat Rasulullah yang berasal dari daerah Etiophia, Yaman, dan Oman membersamai dalam syiar Islam. 

Diantaranya seperti Usamah bin Zaid yang sejak umur 18 tahun sudah sibuk jadi panglima perang, Ammar bin Yasir yang rela kehilangan ayah dan ibunya karena kedzaliman kafir Quraisy pada masa awal kedatangan Islam, dan masih banyak lagi. Namun kembali pada konteks komparasi tadi, yang mana ini dilakukan oleh beberapa oknum.

Sejalan dengan itu semua, keresahan ini sebetulnya juga dialami oleh teman-teman kita yang punya mata sipit dan kulit putih. Iya, China. Mengingat bagaimana kerusuhan yang terjadi ketika tragedi 98, kita bisa merefleksikan seberapa besar kadar skeptis yang dimiliki oleh sebagian Pribumi. 

Hal itu terus bergulir. Rasisme terus menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai. Sedangkan, ada yang paling diuntungkan di sini, bisa tebak?

ilustrasi. Dokumentasi pribadi
ilustrasi. Dokumentasi pribadi
Jika kita berpikir bahwa para Pebisnis itulah yang mendapat untung, jelas toko-toko mereka terjarah oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan ras sebagai dasar melegalkan perbuatan mencuri. 

Atau jika kita berpikir bahwa Polisi dan aparatlah yang menjadi otoriter setelah Trump memberikan kebebasan penggunaan senjata untuk memudahkan operasi, jelas aparat sejak awal tidak membutuhkan hal tersebut karena logikanya, mereka bukanlah orang-orang phsyco yang menilai kebahagiaan dari kebebasan membunuh warganya.

Lalu siapa yang diuntungkan di sini? Lagi-lagi, Media!

Seharusnya, media dalam berbagai kasus mampu menengahi persoalan demikian. Media tidak seharusnya membungkus suatu berita secara hiperbolis yang mana nantinya akan menunjukkan keberpihakan suatu media pada sebagian pihak saja. Fungsinya sebagai pengawas sosial menunjang Media untuk menjadi kacamata Masyarakat agar kita bisa menilai sesuatu secara objektif. 

Seperti yang pernah disampaikan dalam buku analisis wacana, di mana Pingkey Triputra mengatakan bahwa semakin kita meyakini dan merasa telah sampai pada kondisi reformasi, maka kita seolah terhanyut ke dalam retorika informasi. Kehebatan isi dari retorika tersebut tidak terlepas dari bagaimana orang-orang Media mengemas suatu berita.

Belum lagi akhir tahun lalu pemerintah Indonesia dikabarkan tidak kooperatif dengan memutus jaringan internet Papua ketika terjadi kerusuhan. 

Di samping itu, media yang meliput Papua akan selalu di awasi oleh sejumlah perangkat negara secara ketat. Sehingga kebebasan pers sedikitnya terbungkam di sini. Gerak media dibatasi dalam hal ini.

Sedikit bergeser dari sana, jujur saja, semenjak ada pandemi ini saya mulai menyukai genre film laga yang ditampilkan oleh aktor Tiongkok dan sekelilingnya. 

Mungkin teman-teman pernah menonton film Wolf Warrior, kalau tidak salah sudah ada 3 bagian yang ditayangkan. Belum pernah sekalipun saya menonton film laga yang begitu jujur. Bagaimana film ini menggambarkan berbagai latar belakang budaya yang diisukan memiliki konflik rasisme seperti yang sudah kita bahas di awal tulisan.

Pemeran utama dari film ini adalah Wu Jing, sebagai mantan tentara China bernama Leng Feng yang sedang mencari pembunuh dari istrinya yang juga tentara. 

Dia pergi ke wilayah Afrika dan hidup damai dengan masyarakat di sana. Sampai pada satu waktu terjadi pemberontakan oleh warga Afrika, persis seperti penjarahan yang dilakukan oleh beberapa oknum dari masing-masing ras, sehingga ini membuat warga China di Afrika kembali ke negara mereka menggunakan jalur laut. Let me tell you about the story.

Di sisi lain, Presiden militer Afrika saat itu membayar pasukan khusus dari Amerika untuk membuat tentara sekaligus negara Tiongkok ini tunduk secara diplomatis. 

Rencana atasan Afrika ini, yang awalnya hanya semacam strategi politik, pada akhirnya menjadi senjata makan tuan, ketika pasukan ini memberontak dan mulai tidak mematuhi arahan yang diberikan oleh Presiden militer Afrika.

Terlebih, Presiden militer tersebut dibunuh oleh pasukan khusus, sedangkan Afrika- yang sedang dilanda wabah penyakit kulit menular, Lamanla- semakin terlantar, juga Militer China yang dengan disiplin ketatnya menjadikan mereka terlambat bergerak karena selalu menunggu arahan dari atasan. 

Padahal in case, tentara yang terjun langsung atau setidaknya para observer, lebih mengetahui bagaimana dan apa yang perlu dilakukan pada situasi genting seperti saat itu.

Film ini bagi saya cukup mewakilkan emosi dari masing-masing ras. Kita bisa menilai sendiri, siapa yang salah paham, siapa yang menjadi korban, dan siapa yang bermain di balik itu semua.

Saya tidak ingin menyebutkan sesiapanya secara gamblang di sini, tapi dari kacamata film ini, saya masih percaya dengan kemampuan media untuk mengemas suatu isu dengan lebih baik.

Sebab kembali lagi pada hakikat dari 'mereka' yang lahir dari kaum sakit hati. Sampai-sampai menciptakan beragam isme kebaruan hanya untuk menjatuhkan siapa saja yang dianggapnya sebagai lawan- ialah kaum gold, glory, and gospel.

"Satu jam lalu, mereka (orang Afrika) bahkan tak tahu apakah mereka akan hidup untuk melihat hari esok, kenapa mereka begitu bahagia?"

"Teman-teman Afrika, tak peduli apakah sekarang perang, dilanda penyakit atau kemiskinan, ketika mereka di sekitar api unggun, semua yang mereka khawatirkan lenyap." (Konversasi Leng Feng dan Mantan Tentara Pembebasan Rakyat China).

Karena di zaman ini, siapa, sih yang bisa menjamin validitas suatu berita kalau kita belum liat dan ngerasain sendiri gimana jadi mereka? Kalau kita sendiri masih ekslusif dengan alasan apa-apa yang diberitakan oleh media?

Banyak, kok, dari BBC sampai Remotivi yang menyampaikan aspirasi Masyarakat Papua bagi kita yang outsider, untuk datang langsung ke sana.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang paling minimal adalah berhenti membanding-bandingkan satu kasus dengan kasus lain meskipun memiliki asas yang sama, yaitu kemanusiaan dan rasisme.

Selain itu, kita bisa belajar untuk lebih filtering informasi-informasi yang masuk dari media, biar kita juga nggak asal judging atau ikut-ikutan pendapat mayoritas aja. Kalau perlu, banyak sharing dengan teman-teman yang berasal dari daerah tersebut dan aware terkait rasisme ini. Here it is, semoga bermafaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun