Beberapa hari terakhir, mungkin saya dan pembaca sekalian dibuat heran dengan berbagai pemberitaan soal kejadian yang dialami oleh George Floyd, seorang warga Amerika yang dibunuh oleh Polisi Mineapolis karena menggunakan uang palsu untuk membayar sejumlah barang di salah satu mini market.Â
Tapi, terlepas dari itu semua, ada hal lain yang lebih lucu bagi saya, yaitu ketika sebagian Muslim justru membuat kabar ini sebagai komparasi penderitaan warga Palestina yang diberitakan dengan cukup massif.
Di sisi lain, media juga tidak kalah lucunya, bagaimana media dalam hal ini sangat berpengaruh besar terhadap terciptanya satu standar atas kecantikan seseorang, yang seringkali menampilkan range kulit putih dan bibir tipis di iklan-iklan mereka pada umumnya.
"Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang paling minimal adalah berhenti membanding-bandingkan satu kasus dengan kasus lain meskipun memiliki asas yang sama, yaitu kemanusiaan dan rasisme."
Saya sebagai Muslim sangat meyakini bahwa permasalahan toleransi dalam Islam, apalagi sebatas perbedaan warna kulit, sudah lama tuntas. Kita mengetahui bagaimana peran dari beberapa sahabat Rasulullah yang berasal dari daerah Etiophia, Yaman, dan Oman membersamai dalam syiar Islam.Â
Diantaranya seperti Usamah bin Zaid yang sejak umur 18 tahun sudah sibuk jadi panglima perang, Ammar bin Yasir yang rela kehilangan ayah dan ibunya karena kedzaliman kafir Quraisy pada masa awal kedatangan Islam, dan masih banyak lagi. Namun kembali pada konteks komparasi tadi, yang mana ini dilakukan oleh beberapa oknum.
Sejalan dengan itu semua, keresahan ini sebetulnya juga dialami oleh teman-teman kita yang punya mata sipit dan kulit putih. Iya, China. Mengingat bagaimana kerusuhan yang terjadi ketika tragedi 98, kita bisa merefleksikan seberapa besar kadar skeptis yang dimiliki oleh sebagian Pribumi.Â
Hal itu terus bergulir. Rasisme terus menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai. Sedangkan, ada yang paling diuntungkan di sini, bisa tebak?
Atau jika kita berpikir bahwa Polisi dan aparatlah yang menjadi otoriter setelah Trump memberikan kebebasan penggunaan senjata untuk memudahkan operasi, jelas aparat sejak awal tidak membutuhkan hal tersebut karena logikanya, mereka bukanlah orang-orang phsyco yang menilai kebahagiaan dari kebebasan membunuh warganya.
Lalu siapa yang diuntungkan di sini? Lagi-lagi, Media!