Seharusnya, media dalam berbagai kasus mampu menengahi persoalan demikian. Media tidak seharusnya membungkus suatu berita secara hiperbolis yang mana nantinya akan menunjukkan keberpihakan suatu media pada sebagian pihak saja. Fungsinya sebagai pengawas sosial menunjang Media untuk menjadi kacamata Masyarakat agar kita bisa menilai sesuatu secara objektif.Â
Seperti yang pernah disampaikan dalam buku analisis wacana, di mana Pingkey Triputra mengatakan bahwa semakin kita meyakini dan merasa telah sampai pada kondisi reformasi, maka kita seolah terhanyut ke dalam retorika informasi. Kehebatan isi dari retorika tersebut tidak terlepas dari bagaimana orang-orang Media mengemas suatu berita.
Belum lagi akhir tahun lalu pemerintah Indonesia dikabarkan tidak kooperatif dengan memutus jaringan internet Papua ketika terjadi kerusuhan.Â
Di samping itu, media yang meliput Papua akan selalu di awasi oleh sejumlah perangkat negara secara ketat. Sehingga kebebasan pers sedikitnya terbungkam di sini. Gerak media dibatasi dalam hal ini.
Sedikit bergeser dari sana, jujur saja, semenjak ada pandemi ini saya mulai menyukai genre film laga yang ditampilkan oleh aktor Tiongkok dan sekelilingnya.Â
Mungkin teman-teman pernah menonton film Wolf Warrior, kalau tidak salah sudah ada 3 bagian yang ditayangkan. Belum pernah sekalipun saya menonton film laga yang begitu jujur. Bagaimana film ini menggambarkan berbagai latar belakang budaya yang diisukan memiliki konflik rasisme seperti yang sudah kita bahas di awal tulisan.
Pemeran utama dari film ini adalah Wu Jing, sebagai mantan tentara China bernama Leng Feng yang sedang mencari pembunuh dari istrinya yang juga tentara.Â
Dia pergi ke wilayah Afrika dan hidup damai dengan masyarakat di sana. Sampai pada satu waktu terjadi pemberontakan oleh warga Afrika, persis seperti penjarahan yang dilakukan oleh beberapa oknum dari masing-masing ras, sehingga ini membuat warga China di Afrika kembali ke negara mereka menggunakan jalur laut. Let me tell you about the story.
Di sisi lain, Presiden militer Afrika saat itu membayar pasukan khusus dari Amerika untuk membuat tentara sekaligus negara Tiongkok ini tunduk secara diplomatis.Â
Rencana atasan Afrika ini, yang awalnya hanya semacam strategi politik, pada akhirnya menjadi senjata makan tuan, ketika pasukan ini memberontak dan mulai tidak mematuhi arahan yang diberikan oleh Presiden militer Afrika.
Terlebih, Presiden militer tersebut dibunuh oleh pasukan khusus, sedangkan Afrika- yang sedang dilanda wabah penyakit kulit menular, Lamanla- semakin terlantar, juga Militer China yang dengan disiplin ketatnya menjadikan mereka terlambat bergerak karena selalu menunggu arahan dari atasan.Â