Mohon tunggu...
Norman Yudha Setiawan
Norman Yudha Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Bukan sastrawan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Amir Si Mahasiswa

29 Januari 2016   15:20 Diperbarui: 29 Januari 2016   15:23 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

Dikibas-kibaskannya sampul plastik dari buku itu. Wanginya ia suka. Seperti menjadi dewasa, seperti menjadi cerdas, ungkap hatinya.

Sedangkan bapaknya sedang minum kopi sambil baca koran, ia menenggelamkan kepalanya pada sebuah buku.

Judulnya ‘Bangkitlah Gerakan Mahasiswa’ yang pada intinya mengatakan bahwa mahasiswa sekarang sedang sakit. Sakit globalisasi. Sakit industri. Semua jadi pekerja, semua ingin cepat kaya.

Mahasiswa kehilangan idealisme, padahal menurut jargon-jargon ternama, idealisme adalah harta terakhir yang mahasiswa punya.

Buku itu membuatnya bingung. Ia tidak setuju.

 

*

Kurang lebih 30 puluh menit yang lalu seorang teman datang ke rumahnya. Mengubrak-abrik rak bukunya demi melacak satu buah. "Tidak ada," ujar temannya itu.

"Tentu saja, aku sudah bilang bahwa aku tidak punya. Kau saja yang tak percaya."

Akhirnya temannya itu menyerah dan pulang. Ia tahu betul temannya tidak punya uang untuk beli buku. Apalagi buku semacam ini. Kalimat-kalimat doktrin untuk mahasiswa-mahasiswa yang haus pada ilmu perjuangan. Mahasiswa-mahasiswa yang inginnya turun ke jalan. Memberontak, mengamuk, dan ribut. Tapi Amir tak ingin temannya itu membaca buku yang dimilikinya itu. Walau ia tahu membaca adalah jendela dunia, tapi menurut Amir, temannya itu tidak boleh baca buku ini. Sekali itu, Amir berubah menjadi Orde Baru.

 

Di kamarnya, seorang Amir menjadi sendiri setelah temannya itu pergi. Pintu kamarnya otomatis terkunci dan ia buka lagi buku yang dibacanya pagi tadi.

"Ah ini buku bagaimana, tak jelas arahannya," ia kecewa.

"Masa mahasiswa harus demo-demo terus. Idealisme itu bukan hanya punya orator dan penganut gerak jalan. Idealisme itu juga tumbuh di ruang-ruang intelektual, ranah-ranah diskusi," ujarnya dalam kepala. Amir beranggapan, bahwa seharusnya mahasiswa membaktikan dirinya juga secara langsung. Turun ke jalan harus bisa dianggap sebagai metafor yang berarti ke desa, ke pemukiman, ke ruang remaja akut narkoba.

“Tanpa almamater!” teriaknya dalam batin.

Di sela-sela pikirannya yang kian linglung, Ibunya mengetuk pintu, menandakan makan malam sudah siap. Amir keluar kamar dengan memanggul sebuah tas berisi baju dan buku-buku.

Ibunya yang kaget lantas bertanya, "mau ke mana kamu nak malam begini?"

"Pergi sebentar bu," ujarnya dengan langkah cepat. Ia mengenakan kemeja hitam, celana jeans yang baru dibelinya seminggu kemarin, dan sepatu semi-pantofel.

 

*

Dua jam setelah selesai makan malam, ayah Amir bertanya pada istrinya, "mana si Amir? Kok belum pulang?"

Istrinya menjawab, "sebentar aku SMS."

Setelah beberapa saat, telepon genggamnya bergetar lagi.

Istrinya itu kemudian membacakan isi pesan singkat yang berbunyi “mau demo sebentar bu.”

"Demo apa malam begini? Coba tanya lagi, siapa yang di demo?" perintah sang suami kepada istrinya itu.

"Siapa yang kamu demo malam-malam begini nak? Hati-hati nak, jangan sampai kenapa-kenapa," isi SMS tersebut.

 

Agak lama kali ini. Lebih dari tiga perempat jam. Pasangan itu khawatir anaknya kenapa-kenapa.

Tiba-tiba pintu depan rumah terbuka. Tiga orang mahasiswa dengan mengenakan almamater yang sama dengan tempat Amir berkuliah, masuk. Mereka memang teman-teman Amir yang sudah sering datang ke rumahnya.

"Ada apa?" tanya ayah Amir setengah khawatir setengah marah bila ada yang mengerjai anaknya.

"Amir pak!" ujar salah seorang dengan ngos-ngosan.

"Kenapa Amir?" kini ibu Amir yang meninggi suaranya.

"Dia demo di depan universitas!"

 

*

Di depan universitasnya sendiri, Amir berteriak seperti orang gila. Entah apa yang diucapkannya, yang pasti seluruh pendengarnya tidak setuju. Memang di tingkat aktivis, tentunya tidak ada tempat untuk mereka yang tak mau turun ke jalan bersama-sama untuk meneriakan suara rakyat. Apatis, begitu mereka mengenal Amir.

Padahal bagi Amir, aktivis adalah apatis yang terselubung. Mereka hanya keluar kalau dapat surat dispen, tidak perlu masuk kelas, dan hanya mengikuti diskusi-diskusi kepentingan. Apatis, begitu Amir menyebutnya.

Dengan membawa gambar karya Affandi Koesoema, yang bertuliskan "Bung Ajo Bung", Amir melantangkan seruannya. Ia mengajak para apatis yang berdiri rapi di depannya untuk ikut ambil bagian dalam gerakan intelektual yang akan digagas olehnya. Tentu saja, hasilnya sia-sia. Beberapa dari mereka menertawakan seruan-seruan Amir walaupun tidak mengerti apa yang dikatakannya.

Lalu kedua orangtua Amir datang. Menjewer kuping anaknya itu dan menyuruhnya pulang. Lantas, kegembiraan yang tadi hanya milik sebagian orang, kini jadi bertambah banyak.

Dan seiring dengan kepulangan Amir, demonstrasi kecilnya itu ternyata berdampak besar.

Ia menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa.

Ia mendapatkan cap Pro Pemerintahan. Seorang kanan murni.

Walaupun Amir tidak mengerti apa itu kanan dan kiri yang mereka maksud.

 

*

Di dalam kamarnya, Amir memilih untuk tidur. Tidur bersama dengan nyanyian kemenangan yang bergaung di universitasnya. Entah mengapa, mereka merasa menang.

 

 

Oleh : Norman Yudha Setiawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun