Di kamarnya, seorang Amir menjadi sendiri setelah temannya itu pergi. Pintu kamarnya otomatis terkunci dan ia buka lagi buku yang dibacanya pagi tadi.
"Ah ini buku bagaimana, tak jelas arahannya," ia kecewa.
"Masa mahasiswa harus demo-demo terus. Idealisme itu bukan hanya punya orator dan penganut gerak jalan. Idealisme itu juga tumbuh di ruang-ruang intelektual, ranah-ranah diskusi," ujarnya dalam kepala. Amir beranggapan, bahwa seharusnya mahasiswa membaktikan dirinya juga secara langsung. Turun ke jalan harus bisa dianggap sebagai metafor yang berarti ke desa, ke pemukiman, ke ruang remaja akut narkoba.
“Tanpa almamater!” teriaknya dalam batin.
Di sela-sela pikirannya yang kian linglung, Ibunya mengetuk pintu, menandakan makan malam sudah siap. Amir keluar kamar dengan memanggul sebuah tas berisi baju dan buku-buku.
Ibunya yang kaget lantas bertanya, "mau ke mana kamu nak malam begini?"
"Pergi sebentar bu," ujarnya dengan langkah cepat. Ia mengenakan kemeja hitam, celana jeans yang baru dibelinya seminggu kemarin, dan sepatu semi-pantofel.
*
Dua jam setelah selesai makan malam, ayah Amir bertanya pada istrinya, "mana si Amir? Kok belum pulang?"