"Dia demo di depan universitas!"
Â
*
Di depan universitasnya sendiri, Amir berteriak seperti orang gila. Entah apa yang diucapkannya, yang pasti seluruh pendengarnya tidak setuju. Memang di tingkat aktivis, tentunya tidak ada tempat untuk mereka yang tak mau turun ke jalan bersama-sama untuk meneriakan suara rakyat. Apatis, begitu mereka mengenal Amir.
Padahal bagi Amir, aktivis adalah apatis yang terselubung. Mereka hanya keluar kalau dapat surat dispen, tidak perlu masuk kelas, dan hanya mengikuti diskusi-diskusi kepentingan. Apatis, begitu Amir menyebutnya.
Dengan membawa gambar karya Affandi Koesoema, yang bertuliskan "Bung Ajo Bung", Amir melantangkan seruannya. Ia mengajak para apatis yang berdiri rapi di depannya untuk ikut ambil bagian dalam gerakan intelektual yang akan digagas olehnya. Tentu saja, hasilnya sia-sia. Beberapa dari mereka menertawakan seruan-seruan Amir walaupun tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Lalu kedua orangtua Amir datang. Menjewer kuping anaknya itu dan menyuruhnya pulang. Lantas, kegembiraan yang tadi hanya milik sebagian orang, kini jadi bertambah banyak.
Dan seiring dengan kepulangan Amir, demonstrasi kecilnya itu ternyata berdampak besar.
Ia menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa.
Ia mendapatkan cap Pro Pemerintahan. Seorang kanan murni.
Walaupun Amir tidak mengerti apa itu kanan dan kiri yang mereka maksud.