Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Strategi "Radical Adaptation" dalam Menghadapi Cuaca Panas Ekstrem di Industri Pertambangan

4 Mei 2023   08:59 Diperbarui: 4 Mei 2023   14:21 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cuaca panas, heat stroke(Shutterstock/VladisChern)

Moana salah satu judul film yang tak asing di telinga kita, tepatnya di tahun 2016 saat Walt Disney meluncurkannya.

Nama Moana merupakan sebuah nama seorang gadis kecil dari Desa Motunui, lautan pasifik tepatnya area Polynesia yang dikenal dengan keindahan landskap alamnya.

Hanya saja, keindahan alam ini kini menjadi sebuah cerita masa lalu yang diceritakan sang nenek, dimana laut yang dulunya kaya akan ikan, alam yang dulunya menjadi sumber penghidupan, kini tinggal kenangan dengan bersandarnya berbagai kapal laut.

Semua hal ini karena hilangnya 'hati' Te Fiti yang diyakini sebagai Dewi Pemurah hati yang mengatur semesta. Sehingga muncullah 'Te-Ka' yang merupakan gulungan awan panas, makhluk yang bisa membakar seisi alam dan menyebabkan kekacauan massal, cuaca ekstrem hingga kekeringan bahkan kelaparan penduduk desa.

Tak hanya Moana, ada banyak sekali judul film yang menggambarkan bagaimana kerusakan alam akibat dari perubahan situasi dan kondisi alam yang terus berubah, menurun akibat dari perubahan iklim mulai dari Twist (1996), film klasik yang membahas mengenai dampak tornado di Oklahoma, The Perfect Storm (2000) yang terinspirasi dari Andrea Gail, seorang nelayan yang terjebak dalam kapal besar pada 1991 karena badai

Kemudian The Day After Tomorrow (2004) yang menceritakan perubahan cuaca ekstrem penuh salju mematikan yang menyelimuti kota, 2012 rilis pada 2009 yang menciptakan premis akhir dunia dengan bencana besar. 

The Impossible (2012) yang menceritakan akhir liburan tragis sebuah keluarga di Thailand karena badai tsunami yang tidak pernah ia prediksi sebelumnya, San Andreas (2015) film heroik yang menceritakan penyelamatan keluarga dari bencana gempa. 

The Wave (2016), film Inggris-Norwegia yang memenangkan penghargaan 'Amanda award', sebuah penghargaan bergengsi di Norwegia, menceritakan tentang tsunami setinggi 85 meter di pegunungan Norwegia, The Finest Hours (2016) menceritakan penyelamatan dari badai oleh para pilot. Geo Storm (2017) menceritakan tentang satelit 'Dutch Boy' yang mampu mengontrol iklim bumi.

Akan tetapi, kesalahan program mengakibatkan bencana alam diberbagai belahan dunia. The Crawl (2019), bercerita tentang bagaimana banjir besar di Florida yang membawa monster buas dan meneror penduduk yang mencoba melakukan upaya penyelamatan.

Dokpri PT MAS-PT BBP (2023)
Dokpri PT MAS-PT BBP (2023)

Seluruh film di atas merupakan bentuk penyajian dan penjelasan megenai cuaca ekstrem yang mampu merubah tatanan dunia, bahkan disebutkan merupakan fenomena 'perubahan iklim' yang menimbulkan bencana. Cuaca sendiri pada dasarnya 'keadaan udara dalam waktu dan tempat tertentu'.

Penyebab terjadinya cuaca adalah perubahan suhu, cahaya matahari, kelembaban udara dan kecepatan angin. Sedangkan pada cuaca ekstrem, terjadi karena pemanasan global, dimana terdapat musim kemarau berkepanjangan dan hujan lebat yang datang secara tiba-tiba.

Dalam penjelasan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) cuaca ekstrem yang terjadi di Indonesia diperkirakan sudah terjadi sejak 30 tahun sebelumnya, ini artinya diperkirakan sudah terjadi di sekitar tahun 1990-an dan sudah mulai dirasakan.

Hal ini bisa ditandai dari peningkatan suhu hangat pada permukaan air laut, Angin Monsun Australia yang masuk ke Indonesia karena konvergensi dan pelambatan kecepatan angin, dan beberapa penyebab lain yang membawa dampak signifikan di sekitar kita seperti peningkatan suhu udara, kebakaran hutan dan lahan diberbagai negara, pandemic covid 19, termasuk demam, malaria, tifus, bencana alam (tanah longsor, kekeringan, banjir), semakin langkanya air bersih, berkurangnya keanekaragaman hayati dan bahkan yang paling fatal sebut saja tenggelamnya pulau pulau kecil.

Apa yang harus kita lakukan? Tentu bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab ditengah berbagai tekanan global. Bukan hanya soal cuaca ekstremnya yang kita hadapi, namun dampak ikutan yang juga harus dicari alternatifnya.

Ada banyak hal kecil yang bisa dilakukan dalam mengurangi tekanan global akibat cuaca ekstrem, bahkan muai dari diri sendiri seperti cukup istirahat, mengurangi stress, cukup minum air putih, rutin berolah raga, siapkan obat-obatan dan vitamin di dalam rumah untuk kondisi darurat hingga berbagai keperluan evakuasi.

Bukan hanya kesehatan diri yang harus kita jaga, tetapi adanya cuaca ekstrem ini tentunya ikut merubah tatanan pola kehidupan, cara kita, perilaku kita terhadap alam, terutama bagi kita yang berada di industri pertambangan.

Pola dan Sistem Radical Adaptation dalam Industri Pertambangan

Industri pertambangan, khususnya batubara merupakan industri yang sangat bergantung pada cuaca dan kondisi lingkungan di sekitarnya. 

Bagaimana tidak? Untuk mengoperasionalkan berbagai alat berat, seperti Excavator, Roller, Wheel Loader, Crusher hingga Dump Truck membutuhkan cuaca yang normal. Karena ini juga akan menghambat pada proses eksplorasi, produksi, pengolahan bahkan penjualan yang otomatis berhenti. Pada akhirnya secara kualitas batubara maupun efisiensi waktu menjadi dampak ikutan berikutnya.

Dari dampak cuaca ekstrem yang kemungkinan terjadi hingga Agustus 2023, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) bahkan memprediksi bahwa batubara untuk kebutuhan Domestik Obligation Market (DMO) dipeekirakan hanya diangka 663 juta ton pada akhir 2022, akan liniear dan sedikit dibawah target secara volume. Total penerimaan batu bara untuk PLTU-PLN, perusahaan pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) hingga kini tlah mencapai 94,3 juta ton atau 93% dari perencanaan kebutuuhan hingga September 2022.

Tentu kita juga harus belajar dari kejaddian yang menimpa pada saat 2015 lalu, dimana kekeringan terjadi lebih luas dengan cuaca ekstrem, hingga menyebabkan Karhutla, menurunnya jumlah produksi pertanian (41% lahan padi mengalami kekeringan), 3 dari 5 rumah tangga kehilangan pendapatan, hingga mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan makanan,  bahkan berdampak luas terhadap inflasi secara keseluruhan (IMF, 2017).

Tantangan lain pada industri batu bara adalah 'meningkatnya kebutuhan batubara sebagai sumber energi' ketika air mengalami penyusutan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan listrik dengan mengandakkan air atau PLTA. 

Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF), mencatat cuaca ekstrem di tahun 2023 menjadi momentum produksi dan penjualan batubara.

Tahun 2023, target produksi nasional 694 juta ton, dengan kebutuhan listrik dalam negeri (skala rumah tangga dan industri) 165 juta ton, sehingga diperkirakan masih sangat tercukupi untuk kebutuhan ekspor.

India dan China adalah kedua negara yang hingga kini menjadi pasar ekspor terbesar utama Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa ekspor batubara ke India mencapai 23,97 juta ton pada kuartal I dengan nilai US$ 1,91 miliar. Sedangkan China mencapai 20,94 juta ton dengan nilai US$ 2,06 miliar.

Kenaikan pada market tentu mendorong pada kenaikan produksi, yang artinya kita harus memiliki mitigasi secara environmentally risk menghadapi cuaca ekstrem. 

Kebutuhan akan batubara sebagaui sumber energi tidak bisa kita elakkan, melainkan bagaimana kemudian kita memitigasi resikonya dengan tindakan yang lebih arif agar keseimbangannya tetap terjaga.

Pertama, memperbaiki aspek kualitas udara.

Climate Action Summit 2019, melahirkan Clean Air Initiative, dengan tujuan menghadirkan udara bersih, dengan target capaian hingga 2030 dan Paris Agreement hingga 2050 dengan penyelamatan 1 juta nyawa dengan mengikur dampak kesehatan setara US$ 1 triliun.

Perbaikan aspek udara pada industri pertambangan dapat dilakukan dengan; penelitian dan pemantauan secara berkala-dengan melakukan kajian dan identifikasi, mengenali model dan pola penyebaran saat kegiatan operasional berlangsung, kondisi fisik sumber, kondisi meteorologi, dampak pencemaran. 

Berikutnya adalah pengendalian kualitas udara dari sisi 'ventilasi tambang' dengan fungsi penyediaan dan pengaliran batubara, pengontrol debu, mengatur panas dan kelembaban udara, termasuk yang harus kita perhatikan adalah perhitungan kebutuhan udara segar, kandungan oksigen dalam udara dan gas-gas pengotornya.

Kedua, pengelolaan tata air yang tepat atau water treatment.

Tata Kelola air di industri pertambangan menjadi hal urgen yang harus ditingkatkan secara kualitas agar baku mutu air sesuai dengan yang dipersyaratkan (Kepmen LHK Nomor 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batubara).

Hal ini tentu saja harus memperhatikan point mendasar diantaranya nilai pH air di angka 6-9, Fe 7 mg/l, Mn 4 mg/l, dan Residu tersuspensi 400 mg/l. 

Optimalisasi pengolahan air air limbah pada sedimen pond terutama yang paling dekat dengan saluran umum, dan menindak lanjutinya dengan pemberian Al2SO4 (tawas) dan kapur (CaCO3) sebelum air dibuang keperairan umum, sesuai dosis akan bereaksi dengan logam-logam atau kation-kation yang bervalensi dua seperti Fe, Sr, Mn, Ca dan Mg.

Selain itu, penting juga untuk memperhatikan dosis penggunaan pupuk kimia dan pestisida dalam kegiatan perbaikan tanah dan tanaman yang ada di sekitar area pertambangan, dengan melakukan; inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar air, pengelolaan limbah, menetapkan daya tampung beban pencemaran, pengawasan terhadap pembuangan air limbah, pemantauan kualitas air sungai serta partisipasi dari masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran air.

Ketiga, pengelolaan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA), yang masuk kategori limbah B3 dan limbah non-B3 (Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan). 

Material FABA berupa limbah hasil sisa pembakaran di PLTU yang menjadi limbah non-B3. Ini terjadi karena pembakaran batubara pada PLTU dilakukan pada temperatur tinggi, sehingga kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan dengan konsentrasi zat pencemar lebih rendah.

FABA dalam hal ini juga memiliki peluang untuk dimanfaatlan sebagai limbah non-B3 khusus, melalui teknologi boiler minmal Ciraiating Fluidized Bed (CFB) guna konstruksi pengganti semen pozzolan (Pasal 459, PP 22 Tahun 2021). 

FABA juga bisa dijadikan sebagai bahan baku pembuatan refpraktori cor, penimbunan dalam proses reklamasi tambang, substitusi kapur substitusi kapur untuk menetralkan air asam tambang, memperbaiki kondisi fisik tanah dan media tanam untuk revegetasi lahan bekas tambang (Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, 2021).

Keempat, berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon guna mengurangi resiko perubahan iklim secara global. Ada 4 instrument penting dalam kerangka ini sebagai komitmen Indonesia guna mendukung Net Zero Emission (NZE) 2060. 

Keempat hal tersebut adalah, pembangunan industri hilir batubara, pemanfaatan clean coal technology (pembangkit listrik), pemberlakuan Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization (CCUS) dan co-firing biomassa. 

Keempat instrument ini tentunya harus mempertimbangkan 'energy security' dan 'affordability for all', termasuk bagaimana kemudian melibatkan masyarakat dalam proses transisi energi guna memastikan implementasi terhadap CCUS khususnya, lebih efektif, dan didukung oleh 'strong regulatory' pada proses transisi energi terutama bagi negara berkembang.

Kelima, kolaborasi dengan berbagai pihak terutama dalam mendorong pertanian yang lebih ramah lingkungan, kesehatan, pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun model 'Hexahelic', mulai dari; community, government, mass media, law and regulation, academic-education dan industrial-business, merupakan model kolaborasi dengan pembagian peran yang setara, ngga berdampak lebih positif pada penerima manfaat.

Pengalaman menarik adalah saat melakukan pengelolaan lingkungan dengan mengaitkan pada bidang pendidikan konservasi anak, penataan lahan pekarangan dengan pola pertanian ramah lingkungan melalui Farmer Field Schools (FFS) program dengan melibatkan sistem partnerships dengan pemerintah daerah kabupaten, kecamatan hingga desa dan program YESS Kementrian Pertanian RI. 

Agriculture Go and Act Now (AGAN) menjadi jargon yang dipilih berdasarkan literasi dan praktek serta learning dari masyarakat khususnya kelompok tani dari berbagai area yang terdekat dengan tambang.

Model penataan ini mulai dari menghidupkan pekarangan rumah, lahan pertanian kosong, halaman sekolah melalui edukasi lingkungan dan sistem pertanian ramah lingkungan mulai dari bagaimana mengolah dan menggunakan pupuk organik, mengurangi keasaman tanah, budidaya tanaman, bahkan menjadikan tanah lebih produktif dengan bibit yang kita supportkan. 

Dari inisiasi ini muncullah berbagai catatan menarim mulai dari keuntungan mengolah lahan dengan menanam sayuran menghasilkan dan diterima pasar, seperti terong, kangkung, kacang panjjang, cabai, hingga padi sebagai pembangun ketahanan pangan di provinsi Kalimantan Selatan.

Kurikulum perubahan iklim menjadi perpaduan bagaimana kemudian petani belajar mitigasi perubahan iklim dengan peibatan aktif, dengan kearifan lokal, mulai dari bagaimana mengendalikan hama dengan pola tanam secara tidak serempak, variasi tanaman, mengenali jenis hama yang muncul dari adanya dampak perubahan iklim. Sehingga petani kali ini lebih bisa mengantisipasi kegagalan panen, varietas tanaman yang tahan hama, tahan terhadap cuaca ekstrem dengan pola kontrol yang tersinergi antara Balai Penyuluh Pertanian (BPP) kecamatan, Dinas Pertanian Kabupaten, Perusahaan, Program Officer YESS Kementan RI hingga akademisi yang terlibat secara kolaboratif.

Mengapa harus radical adaptation?

Jawabannya adalah cuaca ekstrem yang pada dasarnya terjadi karena dampak perubahan iklim global tak bisa lagi untuk menunggu untuk diatasi.

Karenanya kelima langkah di atas harus dilakukan secara kolaboratif, saling menjahit bagian-bagian peran, membangun intimate dengan masyarakat sekitar. Karena cuaca ekstrem tak bisa kita atasi sendiri.

Akan tetapi, niat kita harus bangun bersama secara 'radikal' atau serius untuk melakukan 'adaptasi' terhadap perubahan iklim sehingga resiliensi akan terbangun, khususnya dalam tata kelola di industri pertambangan. Sehingga (kembali pada film Moana) jantung 'Te Fiti' akan kembali dengan keseimbangan alam yang setara dengan kebutuhan manusia dan tetap responsible and sustainable untuk generasi yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun