Tata Kelola air di industri pertambangan menjadi hal urgen yang harus ditingkatkan secara kualitas agar baku mutu air sesuai dengan yang dipersyaratkan (Kepmen LHK Nomor 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batubara).
Hal ini tentu saja harus memperhatikan point mendasar diantaranya nilai pH air di angka 6-9, Fe 7 mg/l, Mn 4 mg/l, dan Residu tersuspensi 400 mg/l.Â
Optimalisasi pengolahan air air limbah pada sedimen pond terutama yang paling dekat dengan saluran umum, dan menindak lanjutinya dengan pemberian Al2SO4 (tawas) dan kapur (CaCO3) sebelum air dibuang keperairan umum, sesuai dosis akan bereaksi dengan logam-logam atau kation-kation yang bervalensi dua seperti Fe, Sr, Mn, Ca dan Mg.
Selain itu, penting juga untuk memperhatikan dosis penggunaan pupuk kimia dan pestisida dalam kegiatan perbaikan tanah dan tanaman yang ada di sekitar area pertambangan, dengan melakukan; inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar air, pengelolaan limbah, menetapkan daya tampung beban pencemaran, pengawasan terhadap pembuangan air limbah, pemantauan kualitas air sungai serta partisipasi dari masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran air.
Ketiga, pengelolaan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA), yang masuk kategori limbah B3 dan limbah non-B3 (Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan).Â
Material FABA berupa limbah hasil sisa pembakaran di PLTU yang menjadi limbah non-B3. Ini terjadi karena pembakaran batubara pada PLTU dilakukan pada temperatur tinggi, sehingga kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan dengan konsentrasi zat pencemar lebih rendah.
FABA dalam hal ini juga memiliki peluang untuk dimanfaatlan sebagai limbah non-B3 khusus, melalui teknologi boiler minmal Ciraiating Fluidized Bed (CFB) guna konstruksi pengganti semen pozzolan (Pasal 459, PP 22 Tahun 2021).Â
FABA juga bisa dijadikan sebagai bahan baku pembuatan refpraktori cor, penimbunan dalam proses reklamasi tambang, substitusi kapur substitusi kapur untuk menetralkan air asam tambang, memperbaiki kondisi fisik tanah dan media tanam untuk revegetasi lahan bekas tambang (Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, 2021).
Keempat, berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon guna mengurangi resiko perubahan iklim secara global. Ada 4 instrument penting dalam kerangka ini sebagai komitmen Indonesia guna mendukung Net Zero Emission (NZE) 2060.Â
Keempat hal tersebut adalah, pembangunan industri hilir batubara, pemanfaatan clean coal technology (pembangkit listrik), pemberlakuan Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization (CCUS) dan co-firing biomassa.Â
Keempat instrument ini tentunya harus mempertimbangkan 'energy security' dan 'affordability for all', termasuk bagaimana kemudian melibatkan masyarakat dalam proses transisi energi guna memastikan implementasi terhadap CCUS khususnya, lebih efektif, dan didukung oleh 'strong regulatory'Â pada proses transisi energi terutama bagi negara berkembang.