Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno Tidak Memecat Mayor Jenderal Soeharto?

26 September 2023   10:40 Diperbarui: 26 September 2023   10:49 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Noor Johan Nuh

Tanggal 1 Oktober 1965 menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia. Hari itu, Gerakan 30 September (G30S) yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI), menculik dan membunuh enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat.

Mengetahui Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani ikut dibunuh, segera Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto mengambil-alih sementara pimpinan Angkatan Darat.

Hal ini sesuai dengan standing order---jika Panglima Angkatan Darat berhalangan maka Panglima Kostrad yang menggantikan.

Pengambi-alihan pimpinan Angkatan Darat  diberitahukan kepada Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya RE Martadinata, Panglima Angkatan Kepolisian Sucipto Yudodihardjo.  Sedangkan dengan Angkatan Udara diberitahukan kepada Deputi Menpangau Komodor Leo Watimena karena Panglima tidak di tempat.

Sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto meminta kepada yang dihubungi tersebut agar semua pasukan dikonsinyir dan memberitahu Kostrad terlebih dahulu jika akan menggerakkan pasukan.

Lewat tengah hari, Presiden Soekarno yang pada waktu itu berada di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma, mengumumkan bahwa Pimpinan Angkatan Darat langsung ditangan Presiden dan menunjuk Aisten III Mengpangad Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro menjadi Pelaksana Harian Pimpinan Angkatan Darat.

Hari itu, 1 Oktober 1965, terjadi dualisme pimpinan Angkatan Darat yaitu Presiden Soekarno dan Mayor Jenderal Soeharto.

Menjelang magrib ajudan Presiden Soekarno Kolonel KKO Bambang Widjanarko datang ke Kostrad menyampaikan perintah Presiden yaitu; Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro dan Panglima Kodam V Jaya Brigadir Jenderal Umar Wirahadikusuma---diperintahkan menghadap Presiden Soekarno di Halim.

Akan tetapi Mayor Jenderal Soeharto tidak mengijinkan kedua jenderal itu memenuhi panggilan Presiden Soekarno.

Situasi pada waktu itu serba tidak jelas. Apakah Presiden Soekarno di Halim dalam keadaan tersandera atau tidak? Ditawan atau bebas? Semua belum jelas.

Malam hari didapat kabar markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur akan diserang dari udara, maka segera markas pindah ke perumahan atlit Senayan.

Keesokan harinya, 2 Oktober, saat makan pagi di markas darurat Kostrad di perumahan atlit Senayan, Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto membicarakan tentang pengambil-alihan pimpinan Angkatan Darat langsung ditangan Presiden Soekarno.

Dengan keputusan presiden tersebut maka inisiatif Mayor Jenderal Soeharto mengambil-alih pimpinan Angkatan Darat pada pagi hari tidak berlaku lagi.

Hari itu terjadi dualisme pimpinan Angkatan Darat, Presiden Soekarno dan Mayor Jenderal Soeharto.

Dalam pembicaraan pagi itu, Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan bahwa posisi Mayor Jenderal Soeharto sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat sangat penting dan menjadi kunci untuk menumpas kudeta Gerakan 30 September.

Tanpa Mayor Jenderal Soeharto memiliki posisi dalam struktur pimpinan Angkatan Darat maka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak memiliki akses komando kepada prajurit-prajurit Angkatan Darat.

Dalam keadaan seperti itu maka kudeta G30S/PKI akan berjalan sesuai dengan rencana mereka. Dengan kata lain, kudeta G30S/PKI berhasil.

Di tengah perbincangan, diterima panggilan melalui radio bahwa Mayor Jenderal Soeharto diminta segera menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor.

Pukul 14.00,  Mayor Jenderal Soeharto bersama seorang ajudan dan dikawal Panser Saladin berangkat ke Bogor.

Di awal pertemuan di Bogor, Presiden marah besar kepada Jenderal Soeharto hingga kembali menyebutnya sebagai Oppsir Koppig.

Adalah untuk  pertama kali Bung Karno menyebut Pak Harto sebagai Oppsir Koppig di Yogyakarta pada bulan Juli 1946. Saat itu Letnan Kolonel Soeharto megembalikan surat perintah dari Presiden Soekarno, dan meminta surat perintah itu melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman.  Jelas Presiden Soekarno marah dan menyebutnya sebagai Opsir Koppig.   

Adapun yang menjadi sumber kemarahan Presiden Soekarno adalah;

Pertama: Tidak mengijinkan Jenderal Pranoto dan Jenderal Umar datang ke Halim memenuhi panggilan Presiden.

Kedua: Tetap mengumumkan sebagai pimpinan sementara Angkatan

Darat di RRI pada malam hari padahal siang harinya sudah

diberitahukan tentang pimpinan Angkatan Darat berada ditangan

Presiden.

Ketiga: Menyerang Halim padahal Presiden berada di Halim.

Atas kemarahan Presiden Soekarno tersebut Mayor Jenderal Soeharto

menjelaskan;

Pertama, tidak mengijinkan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro dan Brigadir Jenderal Umar Wirahadikusuma memenuhi panggilan Presiden datang ke Halim karena saat itu belum jelas----apakah Presiden Soekarno dalam keadaan bebas atau tersandera gerombolan Gerakan 30 September?

Hari itu Angkatan Darat telah kehilangan enam jenderal dan

mengkhawatirkan akan kehilangan jenderal kembali.

Kedua, mengambil-alih pimpinan Angkatan Darat berdasarkan standing order di Angkatan Darat jika Jenderal Yani berhalangan maka

Jenderal Soeharto yang menggantikan.

Hal itu harus segera dilakukan agar tidak terjadi kekosongan pimpinan

dan untuk memberi komando kepada Panglima Kodam serta komando

ke slagorde Angkatan Darat.

Ketiga, Halim yang dijadikan basis oleh Gerakan 30 September,

diserang setelah mendapat laporan dari ajudan presiden Kolonel KKO

Bambang Wijanarko yang mengabarkan Presiden Soekarno sudah

berada di Istana Bogor.

Pada waktu itu, jika Presiden Soekarno tidak berkenan dengan

penjelasan Mayor Jenderal Soeharto, dengan sangat mudah Presiden

Soekarno dapat  memecat atau memberhentikan Mayor Jenderal Soeharto dari dinas militer karena tidak patuh pada perintah Presiden.

Dengan sangat mudah pula Presiden Soekarno dapat mengganti Mayor Jenderal Soeharto dengan Panglima Kodam VI Siliwangi Mayor

Jenderal Ibrahim Adjie atau Deputi I Panglima Angkatan Darat Mayor

Jenderal Mursyid, misalnya, dua orang jenderal yang dikenal sangat

dekat dengan Presiden Soekarno.

Atau Presiden Soekarno dapat membawa masalah ini ke Pengadilan Militer jika tindakan Mayor Jenderal Soeharto dianggap insubordinasi.

Akan tetapi Presiden Soekarno tidak melakukannya. Tidak memecat Mayor Jenderal Soeharto.

Dalam otobiografi Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya---

halaman 131 ditulis; "Karena Bapak Presiden telah mengangkat

Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian, dan supaya jangan

menimbulkan dualisme pimpinan dalam Angkatan Darat, saya

serahkan tanggungjawab keamanan dan ketertiban pada pejabat

baru."

Pada titik ini, sangat mungkin Presiden Soekarno  menyadari bahwa terbunuhnya  enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat akan menimbulkan pergolakan luar biasa besar.

Berpotensi terjadi pembalasan dari prajurit-prajurit Angkatan Darat yang jenderal-jenderalnya dibunuh. Dan sangat mungkin Indonesia menjadi ajang perang saudara.

Bahwa tidak mudah bagi Presiden Soekarno mengangkat pimpinan

Angkatan Darat sudah dialaminya pada dekade 1950.

Pada dekade itu, saat Presiden Soekarno mengangkat Kolonel

Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, ternyata tidak

mendapat dukungan dari perwira-perwira senior Angkatan Darat,

hingga akhirnya Presiden memberhentikan Bambang Sugeng dan

mengangkat Kolonel Bambang Utoyo.

Bambang Utoyo pun tidak mendapat dukungan dari perwira-perwira

senior Angkatan Darat yang akhirnya ia mengundurkan diri.

Adalah fakta bahwa tidak mudah menetapkan pimpinan Angkatan Darat.

Karena itu, untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pasca kudeta

G30S/PKI, Presiden Soekarno harus memilih Jenderal yang dapat

diterima oleh slagorde Angkatan Darat, memiliki kapabilitas  dan dipastikan loyal pada Presiden.

Mungkin atas pertimbangan tersebut maka Presiden Soekarno mengatakan: "Jangan, bukan maksud saya begitu. Harto tetap bertanggungjawab mengenai keamanan dan ketertiban."

Penunjukan Mayor Jenderal Soeharto sebagai yang bertanggunjawab

mengenai keamanan dan ketertiban pasca kudeta G30S/PKI,

selanjutnya dikenal sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan

dan Ketertiban atau Pangkopkamtib, diumumkan oleh Presiden

Soekarno di RRI pada malam harinya.

Dengan penunjukan tersebut maka Mayor Jenderal Soeharto tetap

memiliki akses ke slagorde Angkatan Darat, dan kekhawatiran Jenderal

Abdul Haris Nasution tadi pagi tidak terjadi.

Selain pertimbangan di atas, sangat mungkin menjadi pertimbangan

adalah hubungan antara Bung Karno dengan Pak Harto yang sudah

berlangsung sejak dari pemerintahan hijrah ke Yogyakarta, 4 Januari

1946. Waktu itu Letnan Kolonel Soeharto sebagai Komandan Resimen

III, penguasa militer di Yogyakarta.

Terjadi beberapa  irisan antara keduanya, mulai dari peristiwa 3 Juli 1946, saat itu untuk pertama kali Presiden Soekarno menjuluki Letnan Kolonel Soeharto sebagai Opsir Koppig, hingga Presiden Soekarno

mempercayai Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando

Mandala merebut Irian Barat dari tangan Belanda.

Dan yang tidak bisa diabaikan sebagai pertimbangan adalah surat dari

Mayor Jenderal Soeharto yang dikirim ke Istana Bogor pagi hari.

Surat itu ditulis dengan kalimat santun serta sarat makna ungkapan

Jawa, sangat jelas menunjukkan rasa hormat yang takzim kepada

Presiden Soekarno

Bapak Presiden

Berkah Bapak situasi dapat

kami kuasai. Usaha kami dengan

rekan2 selalu menjauhkan

pertumpahan darah dapat ber-

hasil pula. Laporan lengkap

akan segera kami sampaikan.

Njuwun dawuh lan njadong

deduko bila saya bertindak

lantjang.

Ananda

S. Harto

02.10.65

Pada hari paling kritis di mana eksistensi keberlangsungan Republik

Indonesia dipertaruhkan---dengan selalu menjauhkan pertumpahan

darah---Mayor Jenderal Soeharto telah bertindak menyelamatkan

Republik Indonesia dari kudeta Gerakan 30 September yang ingin

menjadikan Indonesia menjadi negara komunis,

Njuwun dawuh lan njadong deduko bila saya bertindak lantjang. Sesuai tradisi Jawa, Pak Harto menempatkan dirinya sebagai anak yang melapor kepada orang tuanya; "Ananda Njuwun Dawuh".

Memang sejarah tidak mengenal kata "berandai-andai", namun sebagai refleksi, "andaikan" tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memecat Mayor Jenderal Soeharto, sangat mungkin Indonesia sudah menjadi Negara Komunis terbesar di dunia di luar blok China dan Rusia.

Walau bagaimanapun, penunjukan Mayor Jenderal Soeharto oleh Presiden Soekarno untuk Memulihkan Keamanan dan Ketertiban tanggal 2 Oktober 1965---telah menjadi fakta sejarah Indonesia. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun