“Ah, iya.. sorry...” aku memberikan senyum terbaikku untuk Tom.
Oke, Nat. Fokus!
“Akhir-akhir ini, kau suka melamun sayang..” Tom mengelus rambutku.
Udara pegunungan memang selalu segar. Aku dan Tom duduk di bawah satu-satunya pohon yang ada di antara berhektar-hektar tanaman teh hijau. Tempat apa ini tak penting. Yang penting, aku ingin Tom mati disini.
“Aku hanya membayangkan. Bisakah kita tetap seperti ini bahkan jika kita sudah mati” aku melirik matanya.
“Nat... Nat... dari kemarin yang kau bicarakan hanya darah dan kematian. Kita akan hidup bersama sayang.. dan mati bersama juga... mungkin..”
“Ya Tom.. kita juga harus mati bersama” aku tersenyum simpul.
Dua jam telah berlalu. Aku dan Tom duduk berdampingan dan hanya terdiam. Entah apa yang sedang ada dalam pikiran Tom, yang jelas aku merasa gusar. Tom mungkin tak tahu jika di dalam tas kecil yang kutenteng saat ini, ada pisau tajam yang jauh-jauh hari sudah kupersiapkan untuk keperluan hari ini. beberapa minggu yang lalu aku juga telah mempelajari titik-titik pada tubuh manusia yang sangat mematikan jika terkena tusukan atau tembakan. Diam-diam aku mengambil pisau itu dan menyelipkannya di pinggang kananku.
Aku melepaskan rangkulan Tom dan berdiri. Tom mengernyitkan dahi.
“Ada apa sayang?”
“Udaranya sejuk. Maukah kau memelukku?” Aku menarik kedua tangannya untuk berdiri.