Mohon tunggu...
Harirotul Fikri
Harirotul Fikri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Psikologi UIN Malang '10| Pengagum sastra | Nyaman berada di kereta, senja dan padang ilalang | Bermimpi jadi penulis dan pebisnis | Penah ingin lanjut S2. Pernah!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Menjemput Kematian Tom

28 Januari 2016   11:30 Diperbarui: 29 Januari 2016   00:50 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: johnberty.wordpress.com"]

[/caption]Jika ada kesempatan nanti, aku ingin memeluknya dengan erat, agar pisauku tertancap ke jantungnya lebih dalam. Lalu, akan kuputar  searah jarum jam selagi mata pisau itu terhunus penuh dalam dirinya. Mungkin itu susah, tapi mungkin juga sakitnya akan luar biasa terasa.

“Ada opsi lain?” Kau bertanya menyelidik.

Mungkin juga akan aku hadiahi dia sekuntum bunga mawar dengan rekah penuh. Kuikat bersama dengan batu sebesar kepala bayi, dan akan kulempar keras-keras ke kepalanya yang menyimpan ketampanan itu.

“Hahahaa.... kau bercanda, kan?”

Tidak! Aku benar-benar mencintainya, tapi apa daya aku harus membunuhnya. Setidaknya, ia akan mati dipelukanku atau mati dengan rekah mawar dariku yang menyertainya. Aku sangat romantis bukan?

“Sinting kau!”

~0~

“Hai! Seharusnya kau meringis kesakitan. Mengapa kau justru tertawa?” Kekasihku, Tom bertanya gusar saat aku sibuk mengais darah yang tercecer di lantai kamar dan selanjutnya kutempelkan ke sprai tempat tidur untuk kujadikan tinta. Aku memang sedang ingin melihat darah. Dan tadi pagi, aku menyayat ujung-ujung jariku agar bisa kuhasilkan beberapa tetes darah.  Aku ingin menulis sesuatu dengan darahku sendiri.

“Ah, tidak. Aku hanya suka melihat darah. Kau tau kan?”

Aku meraih handphone di meja dan memotret bercak merah yang sempat kurangkai di sprei tempat tidur. Tom melihatku sedih.

“Kau menyesal?”

“Menyesal? Tidak. Kita sama-sama suka kan?” Aku menenangkannya.

Tom beranjak kesampingku dan meraih kepalaku untuk dipeluknya. Hangat. Aku suka pelukan Tom. Kugenggam pula tangannya yang kuat agar kegusarannya berkurang. Aku dan Tom sama-sama terkubur oleh rasa bimbang. Mencoba meyakinkan satu sama lain jika semua akan baik-baik saja. Menepis segala bisikan jika semua ini tak ada benarnya.

Jadi, sudah sejak tiga belas bulan lalu aku dan Tom berada di sini sebagai ‘suami-istri’. Menyewa sepetak kamar kos untuk kami huni. Orang tua kadang memang seperti itu. Lebih memilih membiarkan aku dan Tom lari daripada menerima kami dan apa yang telah terjadi diantara kami. Memang apa yang bisa kuperbuat dirumah jika sebagai anakpun aku tak dianggap?

~0~

“Jika ia mati, kau akan sengsara!” Kau kembali mengingatkanku.

Kita hidup juga dalam kesengsaraan. Maksudmu apa?

“Kau akan mendekam dalam jeruji, Bodoh!”

Kau yang bodoh. Kau yang tolol. Hanya orang gila yang ingin memisahkan diri dengan kekasihnya dengan cara membunuh orang yang dicintainya, dan membiarkan dirinya sendiri merana oleh ulahnya!

“Lalu, kau akan..”

“Nat? Nat!” Tom mengguncang bahuku.

“Ah, iya.. sorry...” aku memberikan senyum terbaikku untuk Tom.

Oke, Nat. Fokus!

“Akhir-akhir ini, kau suka melamun sayang..” Tom mengelus rambutku.

Udara pegunungan memang selalu segar. Aku dan Tom duduk di bawah satu-satunya pohon yang ada di antara berhektar-hektar tanaman teh hijau. Tempat apa ini tak penting. Yang penting, aku ingin Tom mati disini.

“Aku hanya membayangkan. Bisakah kita tetap seperti ini bahkan jika kita sudah mati” aku melirik matanya.

“Nat... Nat... dari kemarin yang kau bicarakan hanya darah dan kematian. Kita akan hidup bersama sayang.. dan mati bersama juga... mungkin..”

“Ya Tom.. kita juga harus mati bersama” aku tersenyum simpul.

Dua jam telah berlalu. Aku dan Tom duduk berdampingan dan hanya terdiam. Entah apa yang sedang ada dalam pikiran Tom, yang jelas aku merasa gusar. Tom mungkin tak tahu jika di dalam tas kecil yang kutenteng saat ini, ada pisau tajam yang jauh-jauh hari sudah kupersiapkan untuk keperluan hari ini. beberapa minggu yang lalu aku juga telah mempelajari titik-titik pada tubuh manusia yang sangat mematikan jika terkena tusukan atau tembakan. Diam-diam aku mengambil pisau itu dan menyelipkannya di pinggang kananku.

Aku melepaskan rangkulan Tom dan berdiri. Tom mengernyitkan dahi.

“Ada apa sayang?”

“Udaranya sejuk. Maukah kau memelukku?” Aku menarik kedua tangannya untuk berdiri.

Tom tersenyum dan berdiri, lalu merengkuh tubuhku untuk dipeluknya. Diam-diam aku menangis. Tak yakin dengan apa yang akan aku lakukan setelah ini. Aku memeluknya erat. Tom tau aku menangis dan mempererat pelukannya juga.

Lama kami saling berpelukan. Aku masih sesenggukan. Lalu aku sedikit menarik tubuhku dari rengkuhan Tom. Tom memandangku dan menunggu. Aku berjinjit dan mencium bibirnya. Tom mengerti dan membalas lumatanku dengan mesra. Selagi tom terpejam, aku mengambil pisau dipinggang dan cepat-cepat menghunuskannya ke titik jantung Tom.

Tom terbelalak dan melepaskan kulumannya. Aku cepat-cepat memeluknya kembali sebelum Tom mundur dan memandang wajahku yang bingung. Aku menekannya lebih dalam dan mulai meneteskan air mata tatkala melihat darah yang mulai merembes di dada Tom.

“Naat.... Naaat......” Tom terbata dan mulai terjungkal ke belakang.

Tom mulai tak bersuara. Bingung dan kesakitan tergambar jelas pada raut wajah dan tatapannya. Aku terduduk dan menangis disampingnya. Aku menyeka darahnya dan kuratakan darah Tom ke sekujur wajahku. Aku mencintaimu Tom...

“Kau membunuhnya...”

Ya! Kau juga membunuhnya. Sebaiknya kau memikirkan apa yang harus kuperbuat setelah ini, Bodoh!

“Kau membunuhnya...”

“Kau membunuh kekasihmu sendiri..”

Aku terus menangis dan menepis tangan Tom dari ganggang pisau. Kugenggam ganggang pisau itu. Alih-alih memutarnya seperti rencanaku dulu, aku malah mencabutnya dan menusukkan mata pisau itu ke jantungku sendiri.

Aku merasakan sakit yang amat sangat dan ambruk di atas tubuh Tom  yang telah tergeletak sebelumnya. Mata pisau itu menjangkauku semakin dalam. Aku semakin ingin tertawa.

Lalu semuanya gelap. Aku adalah Nat, Kau adalah isi kepalaku yang lain, dan Tom adalah kekasihku, anak dari ayah tiriku...

~0~

@fikritaniaa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun