Mohon tunggu...
Khanif Fauzan
Khanif Fauzan Mohon Tunggu... Penulis - Pustakawan

Terima kasih telah berkunjung, semoga barakah manfaat! :) https://linktr.ee/fauzankhanief

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebuah Catatan: Selamat Milad yang ke-77 Indonesia Merdeka!

8 Agustus 2022   10:59 Diperbarui: 8 Agustus 2022   11:02 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin mengucapkan terima kasih, kepada para pejuang, pelaku sejarah, siapapun yang menjadi bagian dalam kemerdekaan Indonesia.

Yang telah mencurahkan waktu, tenaga, fikiran, dan harta benda demi tegaknya 77 tahun Indonesia merdeka, yang merahnya basah oleh darah para pahlawan.

Yang putihnya suci dengan niat membela agama-nya, membela tanah air, membela kehormatan bangsa.

Dan pada akhirnya kemerdekaan ini, diraih atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa.

Masih terdengar narasi 350 tahun kita dijajah Belanda, yang terus digulirkan di buku-buku pelajaran dan lisan-lisan kita di zaman ini.

Namun sejenak kita lupa, tentang apa yang terjadi selama 350 tahun itu pada bangsa ini.

Yang terjadi, bukan seperti Native Amerika yang di genosida Eropa sehingga mengakibatkan kematian 50-100 juta Suku Indian.

Bukan pula seperti suku aborigin, yang semula jutaan manusia namun menyusut drastis oleh genosida Inggris sehingga tersisa hanya puluhan ribu yang dikonservasi khusus seperti hewan.

Amerika dan Australia, negeri yang benar-benar di jajah. Dan bagi siapapun yang mempergunakan akalnya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah di negeri ini patut bertafakur, bagaimana mungkin penjajahan atas negeri ini malah melahirkan sebuah Persatuan Indonesia?

Bagaimana mungkin, penjajahan kejam melahirkan sebuah bangsa yang besar, bangsa yang bersatu dibawah merah putih, yang tidak membeda-bedakan antar suku, antar ras, yang 250 juta rakyat bernaung di bawahnya?

Mengutip pendapat Ustadz Salim A Fillah, seorang pemerhati sejarah berkata : "Kita tidak dijajah selama 350 tahun. Melainkan kita berjuang melawan penjajahan selama 350 tahun itu!"

Kita eksis, kita bisa bertahan sampai sekarang berarti kita tidak hanya manut, nurut, dan mengikuti apa mau penjajah. Kita survive, berjuang tiada henti.

Dan selama perjuangan kita telah menorehkan prestasi toleransi yang sangat luar biasa. Antara Islam, kristen, hindu, budha, kong hu chu, aliran kepercayaan lain, mau menjadi satu bernama Indonesia.

Maka sungguh aneh kita mempersoalkan toleransi di negeri ini. Dan rakyat Indonesia yang mempersoalkan hal itu pada hari ini, seakan buta dengan sejarahnya sendiri.

Tidak mau melihat, Indonesia adalah hasil sejarah panjang perjuangan umat Islam.

Masih terngiang kalimat Ki Bagus Hadikusumo, dalam sidang BPUPKI yang amat panas : "Agama adalah pangkal persatuan. Janganlah takut dimanapun mengemukakan dan mengetengahkan agama!"

Masih terngiang pula dalam ingatan kebangsaan, bahwa di tanggal 18 Agustus 1945, dalam waktu 15 menit terjadi empat perubahan dalam UUD 1945.

Yang seharusnya, sudah di sepakati dalam semua perdebatan sengit sidang BPUPKI dan PPKI.

Yang seharusnya antara kelompok Agamawan, Nasionalis, maupun sekuler sudah setuju dengan rancangan ini.

Empat perubahan yang digulirkan itu adalah :

  • Kata Mukaddimah diganti dengan pembukaan
  • Dalam preambule, anak kalimat ; 'Berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' diubah menjadi 'Ketuhanan yang maha esa'
  • Pasal 6 ayat 1 'presiden adalah orang Indonesia dan beragama Islam' kata-kata 'beragama Islam' dicoret.
  • Sejalan dengan perubahan tadi, maka pasal 29 ayat 1 : negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa' pengganti : 'negara dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya'

Lima puluh empat hari Piagam Jakarta yang dihasilkan dengan memeras keringat, tenaga, waktu, dan pikiran tiba-tiba lenyap di rapat kilat. (Lesus, 2017 : 90)

Masih kita lihat pula, berbagai carut-marutnya kondisi bangsa kita sekarang. 

Dan telah menjadi rahasia umum, aktor pemerintahan yang lebih mementingkan kontestasi politik pilpres 2024 dari pada pembinaan masyarakat, guna menghadapi kondisi sulit akibat terdampak wabah Covid-19.

Dan kita melihat gamblangnya kasus korupsi, dan fenomena masyarakat yang lambat laun kehilangan kepercayaan pada pemerintahnya sendiri.

Dan dalam tema pendidikan kita, yang masihlah belum memiliki arah yang jelas. Begitu menteri pendidikan Nadiem Makarim menjabat, pendidikan Indonesia berkiblat ke Amerika, Eropa. Muncul paket pendidikan terkait aksesmen, pelaksanaan pengawasan, pergantian kurikulum yang katanya lebih simpel.

Namun di akar rumput, jelas sulit di laksanakan. 'Ini harus gimana?' 

Kita masih gagap soal perubahan mendadak seperti saat pandemi ini.

Pendidikan memiliki tujuan umum, adalah proses penerapan budi pekerti, kejujuran, rasa empati, tepo sliro dan unggah-ungguh terhadap semua yang ada di lingkungan kita.

Namun berbagai prinsip pendidikan kita, masihlah mengacu pada teori-teori filsafat yunani yang meniadakan agama.

Yang dalam filsafat ini memiliki prinsip non moral yang berarti segala sesuatu tidak memandang baik atau buruknya, sebab kebaikan dan keburukan itu hanya ditentukan menurut versi masing-masing orang.

Ini sudah kehilangan tujuan yang hakiki, karena sedalam-dalamnya pembelajaran berdasarkan prinsip ini, bukan pencerahan yang di dapat, namun kebingungan.

Kebingungan akibat tidak bisa membedakan mana sifat malaikat dan mana iblis. Kebenaran di ukur menurut versi individu, dan prinsip pendidikan yang cenderung materialistik, meniadakan ajaran agama yang mengajarkan semua hal terkait moral dan budi pekerti yang luhur.

Kita masih belum dapat beranjak, dengan paradigma lulusan sekolah pribumi yang dibuat oleh Belanda. Tujuan lulus sekolah, hanya menjadi juru ketik di sekolah kerajaan. Pendidikan sebatas untuk kebutuhan perang dan kolonial.

Seperti fenomena generasi kita, yang tak tahu setelah lulus sekolah mau melakukan apa?

Pun ketika tujuan pendidikan hanya sebatas menghafal rumus dan teori, yang terjadi adalah tumbukan tak berkesudahan antara ilmuan sains dan ilmuan sosial.

Sebab melupakan hal penting yang harus diajarkan dalam pendidikan, nilai moral universal yang hanya dapat diraih dalam agama.

Dan kita pun melihat sejarah panjang bangsa ini, adalah perjuangan yang berlandaskan Islam. Perang Diponegoro selama 5 tahun pun disebut Perang fi sabilillah di zaman itu, yang sumber semangatnya adalah Jihad Islam.

Yang Islam sendiri masih 'dimusuhi' dan 'dianaktirikan' oleh bangsa ini, melalui narasi terorisme yang menyasar lembaga pendidikan pesantren dan madrasah.

Teriakan Bung Tomo di 10 November 1945 kala itu, berkelindan dalam pikiran saya saat ini.

"Slogan kita tetap sama. Merdeka atau mati. Dan kita tahu saudara-saudara, bahwa kemenangan akan ada di pihak kita, karena Tuhan ada di sisi yang benar. Percayalah, saudara-saudara. Bahwa Tuhan akan melindungi kita semua. Allahu Akbar.. ! Allahu Akbar..!

"Merdeka!"

***

Bagaimana mengetahui tolak ukur kebangkitan bangsa?

Bicara tentang sebuah kebangkitan, mudah untuk kita membacanya. Bacalah pada generasi muda muslim seberapa mereka kenal dirinya sendiri. Seberapa mereka kenal bangsa ini, seberapa mereka mencintai kebiasaan membaca.

Tidak ada kebangkitan tanpa membaca.

Sepanjang penjajahan, peradaban kita telah dirusak oleh para penjajah.

Masih teringat peristiwa tahun 1812, penjarahan 7.000 manuskrip berharga yang dirampas Inggris dengan 1.200 pasukan yang menduduki Keraton Yogyakarta pada masa Sultan HB II.

Begitu banyak buku yang hilang, lebih banyak lagi yang tidak tercatat dalam sejarah.

Dan buku yang tersisa dari muslimin cukup untuk memandu Indonesia menuju kemerdekaan di tahun 1945.

Walau itu membuat kita kehilangan literatur penulisan sejarah selama 200 tahun

Kita umat Islam, umat terbesar yang mayoritas menghuni negeri inilah yang harus membangkitkan kembali peradaban Islam di bumi Indonesia

Islam adalah rahmatan lil'alamin. Dan istilah ini tolong jangan jadikan pasal karet, dalam masalah toleransi yang hanya memuaskan golongan tertentu.

Namun sepanjang kita masih menyumbang kesalahan, maka kita ikut menyumbang kejatuhan kaum muslimin, carut marutnya bangsa Indonesia.

Apa yang terjadi, dengan kita lebih memerhatikan aktor-aktor politik, dendang muski hiburan yang melalaikan, melupakan ilmu pengetahuan dan sejarah panjang perjuangan?

Dr. Thariq As Suwaidan dalam bukunya, Andalus At-Tarikh Al Musawar beliau mengatakan dalam muqaddimahnya :

"Tidaklah redup peradaban islam kecuali bersinar peradaban para artis"

Dan tidaklah jatuh Negeri Andalusia, kecuali penyumbangnya adalah kedatangan seseorang yang di panggil 'Az-Ziryab' datang ke Andalus dan mengajarkan hiburan.

Dengan selalu tidur lelap, melalaikan akhirat dan melupakan perjuangan bangsa, maka tidak pernah ada kebangkitan di bumi Indonesia.

Sahl Al Tusturi mengatakan : "Dunia ini isinya kebodohan dan kematian. Kalau kalian berilmu, ilmu jadi hujjah. Dapat menguntungkan atau merugikan. 

"Pembuktiannya adalah al-amal, al-ibadah. Al-amal yang kita lakukan bak debu tanpa ikhlas. Dan ikhlas, dalam ancaman besar sampai kita tutup hidup ini dengan ikhlas"

Maka atas berkat rahmat Allah, tujuan sejati bangsa ini adalah kembali mengajak manusia pada Allah ta'ala. Dengan kembali pada ajaran agama. Islam, rahmatan lil 'alamin.

Selamat Milad yang ke 77 Indonesia Merdeka.

Boyolali, 18 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun