Mohon tunggu...
Nita Noeris
Nita Noeris Mohon Tunggu... -

extra ordinary... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilusi Situs Jejaring Sosial: Perangkap Globalisasi dan Kapitalisme Global

25 November 2011   11:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Popularitas Twitter yang hadir pertama kali dari pemikiran Jack Dorsey dan diluncurkan untuk umum pada tahun 2006 (http://twitter.com/about#about), memang belum mampu mengalahkan popularitas Facebook. Akan tetapi ia menunjukkan kecenderungan untuk terus menanjak. Mengacu pada data statistik situs alexa.com, Twitter masih menempati peringkat 13 Top Global Sites dan peringkat 14 untuk Top Sites di Indonesia (www.alexa.com). Namun demikian, tampilan Twitter yang sederhana dan penggunaan yang relatif mudah dibandingkan dengan situs-situs jejaring sosialnya merupakan salah satu nilai lebih yang menarik minat para penggunanya. Seperti halnya Facebook, Twitter tidak hanya dimanfaatkan oleh kaum muda, tapi para orangtua, politikus, mahasiswa, artis, instansi, seniman, dan bahkan pejabat pun tak kuasa melepaskan pesona Twitter untuk berbagi “tweet”.

Para kapitalis pun kemudian mencium tambang emas lainnya yang akan mengisi pundi-pundi kekayaan mereka. Mereka melirik dan menjadikan Twitter sebagai sarana pemasaran produk-produk mereka. Seperti halnya yang dilakukan oleh ad.ly, sebuah situs yang terintegrasi dengan Twitter. Situs tersebut menyediakan diri sebagai media perantara para pelaku bisnis untuk memasarkan produknya melalui tweets yang “disiulkan” oleh para pengguna Twitter (www.ad.ly). Dengan mengumbar janji untuk berbagi keuntungan, mereka membuat para pengguna Twitter secara sukarela menjadi alat-alat pemasaran produk kapitalis. Gurita kapitalisme seolah tidak rela melepaskan ruang para pengguna Twitter dan memperdaya mereka untuk menjadi alat pengeruk pundi-pundi kekayaan.

“KEHAMPAAN” FACEBOOK DAN TWITTER

Sebagai situs jejaring sosial, Facebook dan Twitter telah memberikan banyak hal yang merubah berbagai sisi kehidupan masyarakat. Mereka bagaikan rumah yang menyediakan segalanya. Atau dapat juga disamakan dengan paparan Baudrillard mengenai drugstore atau Parly 2, hanya saja Facebook dan Twitter lebih menyerupai drugstore atau Parly 2 virtual. Ketika Baudrillard (Baudrillard, 2009:7) menjelaskan drugstore sebagai sesuatu yang mempraktikkan gabungan tanda-tanda, dimana budaya yang ada didalamnya adalah dibudayakan, maka Facebook dan Twitter pun serupa itu.

Melalui Facebook dan Twitter bisa diperoleh akses untuk berinteraksi dengan kerabat dan sahabat, akses untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri melalui berbagai macam forum diskusi yang tersedia pada kedua masyarakat tersebut, akses untuk memperoleh produk-produk konsumtif melalui iklan yang bertebaran ataupun hanya sekedar akses untuk melepaskan penat dengan bermain game di Facebook. Dimana kesemuanya itu adalah realitas semu dan merupakan bagian dari budaya yang dibudayakan. Facebook dan Twitter mengemas relasi atau interaksi antarmanusia yang semula lebih banyak diisi oleh kedekatan secara emosional dan langsung, menjadi relasi dan interaksi yang berbatas oleh komputer dan handphone melalui media Facebook dan Twitter.

Facebook dan Twitter adalah contoh sempurna lain dari apa yang dinamakan gempuran globalisasi. Keberadaan kedua media tersebut sangat berdampak pada adanya perubahan nilai dan perilaku dalam masyarakat. Dengan adanya kedua media tersebut, orang merasa cukup untuk berkomunikasi dan menjalin relasi tanpa harus bertemu muka secara langsung dan tak lagi harus berbatas ruang dan waktu. Kedua media tersebut juga telah merubah konsep pemasaran secara konvensional. Para kapitalis telah menemukan celah dalam ruang-ruang maya para pengguna Facebook dan Twitter yang dapat mereka masuki sebagai ruang pemasaran yang efektif dan efisien. Facebook dan Twitter telah menjadi rumah bagi para netizen (masyarakat internet) atau dalam bahasa Manuel Castell “a network society”, masyarakat yang dikatakan oleh Castell serupa dengan masyarakat kapitalis dengan berbagai ragam ekspresi kelembagaannya. Ia menjelaskan bahwa networks, merupakan instrumen tepat bagi ekonomi kapitalis yang didasarkan pada inovasi, globalisasi dan desentralisasi konsentrasi (Castell dalam Lemert, 1999:618).

Berbagai ragam jenis permainan yang terdapat dalam Facebook pun telah secara nyata berdampak pada tradisi. Ketika pada masa lalu permainan-permainan berkelompok secara tradisional menjadi hal yang menyenangkan dan meninggalkan kesan yang mendalam, maka dengan hadirnya permainan dalam Facebook, orang kemudian beralih dan kemudian menjadi begitu erat berkawan dengan permainan maya. Tidak ada lagi keceriaan dan tawa gembira ketika bersama dengan teman-teman bermain sundamanda, petak umpet, atau jonjang jarak dan beragam permainan tradisional lainnya.

Begitu pula dengan tradisi pemberian kado dan pemberian ucapan selamat ulang tahun atau berbagai peristiwa penting lainnya yang dahulu merupakan peristiwa yang bersifat personal dan unik, maka Facebook telah merubah semua hal tersebut. Tawaran kemudahan yang diberikan oleh Facebook dan juga Twitter, telah merubah bagaimana cara orang bersikap dan berperilaku. Mereka menjadi semakin terlena dalam belenggu ruang maya dan berubah menjadi begitu terobsesi untuk selalu berada di depan layar monitor atau sekedar terkoneksi melalui handphone, untuk memastikan bahwa dirinya masih eksis dalam kehidupan dunia jejaring sosial. Mereka pun bermetamorfosa menjadi “social butterfly”, yaitu yang dicirikan antara lain sebagai mereka yang memiliki ratusan bahkan ribuan teman dalam berbagai situs jejaring sosial, menghabiskan waktu lebih dari dua jam sehari untuk tetap berhubungan dengan teman melalui situs jejaring sosial; membagi berita terkini dengan komunitas; upload foto; mencoba berbagai ragam kuis, seringkali masuk ke situs jaringan sosial untuk “sekedar mengintip” di saat sedang bekerja dan merasa terputus dari dunia luar, apabila tidak online atau belum terkoneksi ke berbagai situs jaringan sosial setiap harinya (http://tekno.kompas.com/read/xml/2009/08/21/17491734/Apakah.Anda.Social.Butterfly).

Facebook dan Twitter telah dijadikan sebagai alat dari rezim kapitalisme global untuk menguasai pasar. Ia merubah nilai, sikap dan perilaku orang-orang yang terjerat kedalam pesona semu kapitalisme melalui media Facebook dan Twitter. Nilai-nilai budaya timur atau ke-Indonesia-an yang dulu begitu kental dengan semangat gotong-royong, jalinan relasi yang begitu guyub dan rukun, solidaritas dan kesadaran kolektif yang begitu kental, kini semakin luntur dengan gempuran globalisasi yang merombak nilai-nilai tersebut. Facebook dan Twitter telah menjadikan masyarakat semakin konsumtif, cenderung menjadi penikmat teknologi dan semakin terlena dalam gaya hidup yang individualistik dan narsistik. Facebook dan Twitter secara nyata telah menjelma menjadi media untuk transfer pengetahuan yang kebarat-baratan, yang kemudian dijadikan sebagai role model. Pada akhirnya, masyarakat dunia ketiga seperti Indonesia, akan selalu menjadi pasar yang menjanjikan bagi para kapitalis untuk memuaskan ambisi mereka mengeruk kemakmuran sebesar-besarnya.

Selanjutnya, mengacu pada konsep kehampaan globalisasi yang dipaparkan oleh George Ritzer (2006:3), maka sesungguhnya Facebook dan Twitter memiliki aspek-aspek kehampaan yang cukup nyata. Meskipun kedua media tersebut mengijinkan peran individual yang membuat interaksi seseorang melaluinya menjadi unik, akan tetapi, pada dasarnya Facebook dan Twitter tetap merupakan sesuatu yang disusun dan dikontrol secara pusat. Terdapat pola-pola tertentu yang membatasi individu dan juga terdapat substansi yang tak banyak berbeda. Ia juga memenuhi konsep kehampaan, setidaknya kehampaan yang dicirikan oleh sesuatu yang bersifat umum, kurang ikatan lokal dan tanpa batas waktu (Ritzer, 2006:26). Ia juga merupakan salah satu bagian dari dunia yang dikonsepkan oleh Barber sebagai McWorld. Dunia yang menyatukan komunikasi, informasi, dan perdagangan. Sebuah dunia yang merupakan produk budaya populer yang dikendalikan kaum ekspansionis (Barber, 2003:2,20).

Ketika kemudian keberadaan Facebook dan Twitter dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa ketika kehadiran kedua situs tersebut lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konsumtif, kesejahteraan akan semakin menjauh. Selain itu, melalui keduanya, globalisasi menemukan jalan lain untuk menjajah tradisi, baik itu nilai-nilai budaya setempat, pola berpikir maupun sikap dan perilaku. Hal yang semacam itu tentu saja bukan merupakan indikator yang dapat mengarah pada kesejahteraan masyarakat secara hakiki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun