Mohon tunggu...
Nita Noeris
Nita Noeris Mohon Tunggu... -

extra ordinary... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilusi Situs Jejaring Sosial: Perangkap Globalisasi dan Kapitalisme Global

25 November 2011   11:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Globalisasi telah menjadi isu seksi yang keberadaannya selalu menjadi pembicaraan hangat masyarakat. Tak hanya di kampus atau forum-forum akademis lainnya yang lekat dengan perdebatan mengenai isu tersebut. Bahkan kehidupan angkringan dan warung kopi pun begitu akrab bergelut dengan isu globalisasi. Hal ini menunjukkan tingginya popularitas globalisasi dan betapa globalisasi telah begitu merasuk ke dalam berbagai sisi melik kehidupan masyarakat. Mansour Fakih (2002:210) menjelaskan bahwa globalisasi merupakan fase ketiga dari periode formasi sosial yang merupakan bagian dari proses sejarah panjang dominasi. Didahului oleh periode kolonialisme yang dilanjutkan dengan periode developmentalisme, globalisasi menjadi periode ketiga yang didefinisikan sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia. Selanjutnya dijelaskan oleh Mansour Fakih bahwa pengintegrasian ini didasarkan pada keyakinan akan perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak zaman kolonialisme.

Sementara itu, dikatakan oleh Giddens (2004:5) bahwa globalisasi tidak hanya sebuah persoalan baru, melainkan juga revolusioner. Ia meliputi banyak dimensi, seperti misalnya ekonomi, politik, teknologi maupun budaya. Globalisasi, menurut Giddens, terutama sekali dipengaruhi oleh perkembangan sistem komunikasi yang dimulai pada akhir 1960-an. Sedikit berbeda dengan Thomas L. Friedman (2006:8) yang melihat bahwa globalisasi sebenarnya telah bermula jauh sebelum periode dimana teknologi informasi dan komunikasi meningkat dengan pesat. Menurut Friedman, terdapat tiga wilayah atau tahapan globalisasi yang terbagi dalam Globalisasi 1.0, Globalisasi 2.0, dan Globalisasi 3.0. Tahapan tersebut dibedakan berdasarkan pada pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global. Ketika pada era Globalisasi 1.0 yang berperan adalah negara dan Globalisasi 2.0 digerakkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, maka pada Globalisasi 3.0 yang menjadi tenaga penggeraknya adalah kekuatan-kekuatan individual.

Mencermati hal tersebut, maka globalisasi yang kita hadapi pada saat ini sangat terkait erat dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Globalisasi menemukan jalannya untuk terus melakukan ekspansi melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dan dengan perkembangan tersebut maka individu-individu, yang dikatakan oleh Friedman sebagai kekuatan penggerak dalam era Globalisasi 3.0, dapat lebih leluasa menjadi pelaku-pelaku yang turut menentukan arah globalisasi. Dalam hal ini, individu tidak hanya menjadi “konsumen” globalisasi, namun ia juga sekaligus sebagai “produsen” globalisasi, aktor yang turut menentukan kecepatan gerak dan laju globalisasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Individu-individu tersebut menentukan perannya melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Internet, adalah satu dari sekian banyak produk teknologi informasi dan komunikasi yang sangat berpengaruh bagi individu ataupun kelompok untuk melakukan ekspansi global dalam dunia yang disebut oleh Friedman sebagai “Dunia yang Datar”. Dewasa ini internet telah menjadi bagian yang seolah tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Seiring dengan perkembangan industri teknologi informasi dan komunikasi, maka akses terhadapnya menjadi jauh lebih mudah. Terlebih dengan semakin tipisnya batas atau sekat antara industri teknologi informasi dan komunikasi dengan industri telekomunikasi. Perkembangan internet yang demikian pesat tentu saja membawa begitu banyak implikasi yang berdampak global dan menyentuh aspek-aspek sosial masyarakat. Seperti halnya kehadiran situs-situs jejaring sosial yang telah merombak begitu banyak sisi kehidupan masyarakat. Facebook, Twitter, Tagged dan Friendster adalah sedikit contoh dari situs-situs tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengulas bagaimana situs-situs jejaring sosial tersebut merubah kehidupan masyarakat dan apakah keberadaannya berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat?

Sebagaimana yang telah sedikit disinggung di atas, globalisasi telah membawa begitu banyak implikasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Terlebih dengan datangnya era Globalisasi 3.0 yang membawa dunia menjadi seolah semakin tanpa batas (borderless world). Selain itu, keterkaitan yang erat antara globalisasi dengan kapitalisme telah memunculkan apa yang disebut oleh Jean P Baudrillard sebagai masyarakat konsumsi. Baudrillard mendefinisikan masyarakat konsumsi sebagai masyarakat yang memiliki tatanan manipulasi tanda. Sebuah masyarakat yang dicirikan oleh universalitas serba-serbi dalam komunikasi massa (Baudrillard, 2009:16-17). Masyarakat konsumsi adalah implikasi praktis dari keterpisahan antara produksi dengan konsumsi. Produksi yang pada awalnya merupakan produksi nilai guna untuk keperluan konsumsi pada sistem sosial pra kapitalis, maka dengan kemunculan kapitalisme pasar dan terbentuknya relasi kepemilikan hak pribadi, kesatuan antara produksi dengan konsumsi menjadi terpecah (Martyn J Lee, 2006:10).

Ada keterkaitan yang erat antara apa yang disebut oleh Friedman sebagai “Dunia yang Datar” dengan konsepsi masyarakat konsumsi. Dunia yang semakin datar memudahkan akses terhadap berbagai macam situs-situs konsumsi, tak hanya yang berskala besar namun juga berskala kecil. Tak hanya berupa situs-situs pemasaran pemasaran produksi massal yang dapat dinikmati keberadaannya secara nyata, namun juga situs-situs konsumsi yang hanya memberikan kepuasan semu bagi konsumennya.

Ketika Goerge Ritzer memberikan konsep McDonaldisasi dengan McDonald sebagai maskot dari masyarakat konsumsi dan beberapa macam situs konsumsi berskala besar di internet, seperti ebay.com, yang merupakan contoh nyata dari adanya “globalisasi kehampaan”, maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah keberadaan situs jejaring sosial dapat pula dikatakan sebagai situs konsumsi yang memberikan “kehampaan”? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka diperlukan kajian lebih lanjut terhadap situs jejaring sosial, yang dalam tulisan ini akan dibatasi hanya pada Facebook dan Twitter.

FACEBOOK

Facebook, sebuah situs jejaring sosial yang didirikan pada tanggal 4 Februari 2004 oleh Marck Zuckerberg, pada awalnya hanyalah sebuah proyek untuk memudahkan komunikasi bagi para mahasiswa Harvard University (www.facebook.com). Ketika kemudian Facebook melakukan ekspansi keluar kampus, maka kehadirannya kemudian menjadi sebuah fenomena. Pada saat ini Facebook telah begitu mewabah. Data statistik situs alexa.com menunjukkan bahwa pada saat ini Facebook menduduki peringkat kedua Top Global Sites, setingkat dibawah Google.com dan melampaui Youtube serta Yahoo!. Sementara untuk Indonesia, Facebook menempati peringkat pertama Top Sites dengan peringkat pengguna berada di posisi keenam setelah India, Inggris, Italia, Perancis dan Amerika Serikat (www.alexa.com).

Tak seperti pesaingnya dalam hal situs jejaring sosial, seperti Friendster, Tagged ataupun Myspace, kehadiran Facebook diminati oleh lebih banyak kalangan. Tak hanya kaum muda yang terjangkiti candu Facebook, melainkan para orang tua, pebisnis, politisi, aktivis-aktivis gerakan sosial dan bahkan agamawan telah begitu familiar dengan keberadaan Facebook. Keberadaannya yang begitu fenomenal tak bisa dilepaskan dari berbagai fungsi yang melekat padanya. Facebook menawarkan begitu banyak hal untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan manusia. Sebagai sarana untuk berkomunikasi, bersosialisasi, berorganisasi, maupun hanya sekedar untuk melepas penat dengan bermain game. Facebook telah merubah banyak hal dalam cara bagaimana manusia berhubungan antara satu dengan yang lain. Facebook telah menjelma pula menjadi satu masyarakat tersendiri, masyarakat jejaring yang saling bertemu dan berinteraksi dalam dunia maya.

Facebook adalah contoh sempurna bagaimana situs jejaring sosial menawarkan konsumsi kehampaan yang begitu menarik minat. Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada sisi positif dari keberadaan situs jejaring soal tersebut, karena bagaimanapun, teknologi selalu memberikan produk-produknya yang bermata dua. Misalnya saja keberadaan Facebook yang sangat efektif sebagai media bagi gerakan-gerakan sosial masyarakat, maupun untuk kampanye politik dan pembentukan relasi. Kasus yang menimpa pimpinan KPK, yaitu Bibit S. Riyanto dan Chandra Hamzah dan kasus hukum yang membelit Prita Mulyasari adalah contoh-contoh kasus yang kemudian membangkitkan “people power 2.0” melalui media Facebook.

Gerakan tersebut kemudian mengilhami munculnya gerakan-gerakan lainnya, seperti gerakan untuk mendukung Gus Dur sebagai pahlawan nasional, gerakan mendukung George Junus Aditjondro dalam kasus buku “Membongkar Gurita Cikeas”, gerakan untuk menurunkan patung Presiden Amerika Serikat Barrack Obama di Taman Menteng, Jakarta, gerakan untuk menuntut hukuman mati bagi tersangka kasus pembunuhan atau bahkan sebagai sarana mencari orang atau barang hilang (www.facebook.com). Hal ini menunjukkan betapa populernya Facebook dan betapa Facebook dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan. Ia juga menunjukkan kecenderungan efektivitas Facebook sebagai media untuk menggalang massa, dukungan dan juga sebagai media yang membentuk opini masyarakat luas mengenai sesuatu hal. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan internet dengan Facebooknya merupakan perwujudan dari apa yang dikatakan oleh Sey dan Castell sebagai teknologi mutakhir kebebasan, dimana persebarannya diantara warga masyarakat telah menjadi penyelamat potensial bagi penyakit-penyakit politik representasi dan partisipasi (Castell, 2004:363). Facebook menawarkan kebebasan berekspresi dan menuangkan aspirasi bagi para penggunanya, terutama berkaitan dengan isu-isu politik yang dilatarbelakangi oleh berbagai motif, baik itu karena kesadaran politik yang memang tinggi atau hanya karena mengikuti tren latah.

Sebagai sebuah situs jejaring sosial, Facebook telah begitu mempengaruhi kehidupan para penggunanya. Dan ketika melihat angka statistik yang menunjukkan adanya peningkatan pengguna Facebook (www.alexa.com), maka hal ini bisa dijadikan sebagai sebuah indikator bahwa keberadaan Facebook telah mendapatkan tempat di dalam kehidupan masyarakat luas dan menarik minat banyak orang untuk menggunakannya. Tak hanya kehidupan penggunanya yang ia pengaruhi, melainkan juga keberadaan Facebook berkorelasi positif dengan produk-produk teknologi informasi dan komunikasi lainnya, seperti handphone maupun netbook sebagai media atau sarana akses Facebook.

Penjualan sarana-sarana akses Facebook tersebut kemudian mengalami peningkatan, sebagaimana kemudian terjadi booming Blackberry pada masyarakat (www.detikinet.com). Hal yang menjadi ironis ketika keberadaan sebuah gadget hanya bermakna untuk difungsikan sebagai sarana akses Facebook. Dan itulah yang terjadi pada Blackberry, ia dicari dan digilai lebih karena fungsi aksesnya terhadap Facebook semata. Tren tersebut kemudian mengilhami para vendor lainnya untuk mengeluarkan produk-produk “Blackberry wanna-be”. Iklan-iklan handphonenetbook, dan juga operator seluler kemudian menjadi penuh sesak dan tak pernah tertinggal dengan menyertakan label Facebook sebagai “jimat” penarik minat masyarakat. Dari satu sisi ini saja sudah semakin terlihat betapa kehadiran Facebook telah semakin menghidupkan budaya konsumtif pada masyarakat dan betapa Facebook kemudian menjadi alat kapitalisme untuk semakin melebarkan sayap kuasanya.

Facebook sebagai anak kandung teknologi, yaitu teknologi informasi dan komunikasi, telah membenarkan apa yang dikatakan oleh Mc Luhan, yaitu bahwa setiap teknologi secara bertahap telah menciptakan kehidupan manusia yang sama sekali baru (dalam Lauer, 2003:212). Ia memiliki peranan yang cukup signifikan dalam perubahan sosial masyarakat. Perubahan pola interaksi dan komunikasi misalnya. Dengan Facebook, orang kemudian menjadi merasa cukup untuk berinteraksi dan berkomunikasi tanpa harus bertatap muka. Pun ketika hendak mengadakan sebuah acara perkawinan atau acara lainnya, orang bisa memanfaatkan fitur undangan yang dimiliki oleh Facebook atau hanya sekedar melalui “update status”. Begitu juga dengan ucapan selamat atau pembelian kado untuk merayakan hari jadi seorang teman, semuanya bisa dengan mudah dilakukan melalui Facebook. Dengan Facebook, berbagi hobby, berbagi file dan juga berbagi catatan menjadi mudah. Bahkan Facebook pun direncanakan oleh pengembangnya agar bisa menjadi monumen bagi orang yang sudah meninggal untuk memudahkan para sahabat dan kerabat mengenang dan memberikan penghargaan (http://www.detikinet.com/read/2009/10/27/110439/1229214/398/jika-meninggal-pengguna-facebook-jadi-monumen).

Facebook secara nyata telah menjelma menjadi sebuah ruang maya yang memerangkap para penggunanya dengan berbagai macam candu. Batas antara yang nyata dan yang maya menjadi semakin kabur. Bagi penggunanya, Facebook, dengan meminjam bahasa Karl Marx, telah menjadikan mereka terasing. Mereka terasing karena begitu asyik merengkuh Facebook, meski hanya untuk sekedar melakukan pembaharuan status. Keterasingan itu juga muncul ketika seseorang merasa tidak “eksis” dan tertinggal ketika dia tidak memiliki aktivitas yang berkaitan dengan Facebook. Ia kemudian menjadi tidak produktif.

Hasil studi Nokia Siemens Network menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih banyak menggunakan akses internet untuk kegiatan konsumerisme dan hal-hal yang berkaitan dengan gaya hidup (http://www.detikinet.com/read/2009/12/22/164733/1264535/398/pengguna-internet-indonesia-kurang-produktif). Disamping itu, banyaknya institusi pemerintah, perguruan tinggi, maupun perkantoran yang masih menjalankan sistem maupun aktivitasnya secara manual juga dapat dijadikan sebagai indikator bahwa penggunaan internet masih belum mampu menyentuh esensinya sebagai teknologi yang bisa dimanfaatkan seluas-luasnya bagi kesejahteraan masyarakat (http://tekno.kompas.com/read/xml/2009/10/19/20391867/internet.baru.dimanfaatkan.sebatas.kulit).

Facebook, sebagai sebuah situs yang begitu digemari dan mampu memuaskan hasrat konsumerisme dan tren lifestyle, secara nyata telah menjadi sebuah ruang serbaguna yang mampu menjawab dan memuaskan dahaga para penggunanya akan pemenuhan hasrat tersebut. Sebuah ruang maya yang dapat ditemukan di berbagai tempat, baik itu warnet, sekolah, kampus, perkantoran, pasar, maupun ruang-ruang lainnya. Facebook telah juga melahirkan generasi, yang oleh Micah Sifry disebut sebagai generasi yang tumbuh secara online (dalam Friedman, 2006:130). Sebuah generasi yang lekat dengan segala sesuatu yang antara lain bersifat instan, individualistik dan narsistik.

Disisi lain, Facebook telah menjadi tambang emas baru bagi para kapitalis. Pengaruh Facebook yang begitu mengglobal dan melampaui batas-batas negara begitu menggiurkan untuk tidak dilirik. Gurita kapitalisme pun kemudian menjerat Facebook dan para penggunanya. Tak hanya sekedar menawarkan sarana akses, akan tetapi gurita itu merasuk pula kedalam ruang maya Facebook. Ia pun menjelma menjadi toko virtual yang menawarkan barang-barang yang secara nyata bisa dikonsumsi atau dimanfaatkan keberadaannya, misalnya saja kado ulang tahun, maupun barang-barang abstrak yang hanya memberikan ilusi atau kepuasan batin semata, seperti misalnya poin-poin permainan dari para developer yang menjadi bagian dari pengembang aplikasi permainan Facebook. Tak hanya itu, keberadaan iklan berbagai produk pun menyeruak dan dengan setia mendampingi aktivitas para pengguna Facebook. Dan tak cukup hanya dengan iklan berbayar di Facebook, mereka pun memanfaatkan grup, fans page atau bahkan profil pribadi untuk memasarkan produknya.

Facebook pun melihat hal ini sebagai sesuatu hal yang potensial. Sebagai sebuah situs jejaring sosial dengan puluhan juta pengguna dari berbagai negara, maka tentu saja hal ini merupakan sebuah keuntungan bagi pengelola Facebook. Hal ini lah yang kemudian ditawarkan kepada para calon pengiklan, yaitu bahwa dengan banyaknya latar belakang pengguna maka Facebook dapat membantu memilah sasaran dari produk yang diiklankan agar hasilnya dapat maksimal (http://www.facebook.com/help/?page=863 ). Tentu saja hal tersebut akan menjadi sangat menarik bagi para pengiklan karena sentuhan iklan mereka akan menjadi lebih personal dan akan membantu dalam peningkatan dan meluasnya target pemasaran.

TWITTER

Twitter, lebih merupakan situs mikroblogging, yang mengizinkan tweeps atau pengguna Twitter untuk melakukan “tweet”, sebuah istilah yang digunakan untuk menyebutkan aktivitas para pengguna Twitter. Banyak hal yang bisa diungkapkan melalui “tweet” tersebut, entah itu curhatan mengenai kehidupannya sehari-hari, luapan kemarahan, kesedihan, protes maupun sebagai sarana untuk melakukan penggalangan massa yang ditujukan bagi gerakan-gerakan sosial sebagaimana halnya Facebook. Gerakan-gerakan tersebut misalnya saja gerakan sosial Indonesia Unite, gerakan Memakai Batik pada tanggal 2 Oktober, dan lain sebagainya. Seringkali isu-isu hangat di Indonesia merajai trending topics atau topik populer di Twitter. Misalnya saja aksi dukung-mendukung terhadap kasus pimpinan KPK, yaitu Bibit S. Riyanto dan Chandra Hamzah, atau isu hangat mengenai kasus George Junus Aditjondro dan Ramadhan Pohan (www.twitter.com).

Popularitas Twitter yang hadir pertama kali dari pemikiran Jack Dorsey dan diluncurkan untuk umum pada tahun 2006 (http://twitter.com/about#about), memang belum mampu mengalahkan popularitas Facebook. Akan tetapi ia menunjukkan kecenderungan untuk terus menanjak. Mengacu pada data statistik situs alexa.com, Twitter masih menempati peringkat 13 Top Global Sites dan peringkat 14 untuk Top Sites di Indonesia (www.alexa.com). Namun demikian, tampilan Twitter yang sederhana dan penggunaan yang relatif mudah dibandingkan dengan situs-situs jejaring sosialnya merupakan salah satu nilai lebih yang menarik minat para penggunanya. Seperti halnya Facebook, Twitter tidak hanya dimanfaatkan oleh kaum muda, tapi para orangtua, politikus, mahasiswa, artis, instansi, seniman, dan bahkan pejabat pun tak kuasa melepaskan pesona Twitter untuk berbagi “tweet”.

Para kapitalis pun kemudian mencium tambang emas lainnya yang akan mengisi pundi-pundi kekayaan mereka. Mereka melirik dan menjadikan Twitter sebagai sarana pemasaran produk-produk mereka. Seperti halnya yang dilakukan oleh ad.ly, sebuah situs yang terintegrasi dengan Twitter. Situs tersebut menyediakan diri sebagai media perantara para pelaku bisnis untuk memasarkan produknya melalui tweets yang “disiulkan” oleh para pengguna Twitter (www.ad.ly). Dengan mengumbar janji untuk berbagi keuntungan, mereka membuat para pengguna Twitter secara sukarela menjadi alat-alat pemasaran produk kapitalis. Gurita kapitalisme seolah tidak rela melepaskan ruang para pengguna Twitter dan memperdaya mereka untuk menjadi alat pengeruk pundi-pundi kekayaan.

“KEHAMPAAN” FACEBOOK DAN TWITTER

Sebagai situs jejaring sosial, Facebook dan Twitter telah memberikan banyak hal yang merubah berbagai sisi kehidupan masyarakat. Mereka bagaikan rumah yang menyediakan segalanya. Atau dapat juga disamakan dengan paparan Baudrillard mengenai drugstore atau Parly 2, hanya saja Facebook dan Twitter lebih menyerupai drugstore atau Parly 2 virtual. Ketika Baudrillard (Baudrillard, 2009:7) menjelaskan drugstore sebagai sesuatu yang mempraktikkan gabungan tanda-tanda, dimana budaya yang ada didalamnya adalah dibudayakan, maka Facebook dan Twitter pun serupa itu.

Melalui Facebook dan Twitter bisa diperoleh akses untuk berinteraksi dengan kerabat dan sahabat, akses untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri melalui berbagai macam forum diskusi yang tersedia pada kedua masyarakat tersebut, akses untuk memperoleh produk-produk konsumtif melalui iklan yang bertebaran ataupun hanya sekedar akses untuk melepaskan penat dengan bermain game di Facebook. Dimana kesemuanya itu adalah realitas semu dan merupakan bagian dari budaya yang dibudayakan. Facebook dan Twitter mengemas relasi atau interaksi antarmanusia yang semula lebih banyak diisi oleh kedekatan secara emosional dan langsung, menjadi relasi dan interaksi yang berbatas oleh komputer dan handphone melalui media Facebook dan Twitter.

Facebook dan Twitter adalah contoh sempurna lain dari apa yang dinamakan gempuran globalisasi. Keberadaan kedua media tersebut sangat berdampak pada adanya perubahan nilai dan perilaku dalam masyarakat. Dengan adanya kedua media tersebut, orang merasa cukup untuk berkomunikasi dan menjalin relasi tanpa harus bertemu muka secara langsung dan tak lagi harus berbatas ruang dan waktu. Kedua media tersebut juga telah merubah konsep pemasaran secara konvensional. Para kapitalis telah menemukan celah dalam ruang-ruang maya para pengguna Facebook dan Twitter yang dapat mereka masuki sebagai ruang pemasaran yang efektif dan efisien. Facebook dan Twitter telah menjadi rumah bagi para netizen (masyarakat internet) atau dalam bahasa Manuel Castell “a network society”, masyarakat yang dikatakan oleh Castell serupa dengan masyarakat kapitalis dengan berbagai ragam ekspresi kelembagaannya. Ia menjelaskan bahwa networks, merupakan instrumen tepat bagi ekonomi kapitalis yang didasarkan pada inovasi, globalisasi dan desentralisasi konsentrasi (Castell dalam Lemert, 1999:618).

Berbagai ragam jenis permainan yang terdapat dalam Facebook pun telah secara nyata berdampak pada tradisi. Ketika pada masa lalu permainan-permainan berkelompok secara tradisional menjadi hal yang menyenangkan dan meninggalkan kesan yang mendalam, maka dengan hadirnya permainan dalam Facebook, orang kemudian beralih dan kemudian menjadi begitu erat berkawan dengan permainan maya. Tidak ada lagi keceriaan dan tawa gembira ketika bersama dengan teman-teman bermain sundamanda, petak umpet, atau jonjang jarak dan beragam permainan tradisional lainnya.

Begitu pula dengan tradisi pemberian kado dan pemberian ucapan selamat ulang tahun atau berbagai peristiwa penting lainnya yang dahulu merupakan peristiwa yang bersifat personal dan unik, maka Facebook telah merubah semua hal tersebut. Tawaran kemudahan yang diberikan oleh Facebook dan juga Twitter, telah merubah bagaimana cara orang bersikap dan berperilaku. Mereka menjadi semakin terlena dalam belenggu ruang maya dan berubah menjadi begitu terobsesi untuk selalu berada di depan layar monitor atau sekedar terkoneksi melalui handphone, untuk memastikan bahwa dirinya masih eksis dalam kehidupan dunia jejaring sosial. Mereka pun bermetamorfosa menjadi “social butterfly”, yaitu yang dicirikan antara lain sebagai mereka yang memiliki ratusan bahkan ribuan teman dalam berbagai situs jejaring sosial, menghabiskan waktu lebih dari dua jam sehari untuk tetap berhubungan dengan teman melalui situs jejaring sosial; membagi berita terkini dengan komunitas; upload foto; mencoba berbagai ragam kuis, seringkali masuk ke situs jaringan sosial untuk “sekedar mengintip” di saat sedang bekerja dan merasa terputus dari dunia luar, apabila tidak online atau belum terkoneksi ke berbagai situs jaringan sosial setiap harinya (http://tekno.kompas.com/read/xml/2009/08/21/17491734/Apakah.Anda.Social.Butterfly).

Facebook dan Twitter telah dijadikan sebagai alat dari rezim kapitalisme global untuk menguasai pasar. Ia merubah nilai, sikap dan perilaku orang-orang yang terjerat kedalam pesona semu kapitalisme melalui media Facebook dan Twitter. Nilai-nilai budaya timur atau ke-Indonesia-an yang dulu begitu kental dengan semangat gotong-royong, jalinan relasi yang begitu guyub dan rukun, solidaritas dan kesadaran kolektif yang begitu kental, kini semakin luntur dengan gempuran globalisasi yang merombak nilai-nilai tersebut. Facebook dan Twitter telah menjadikan masyarakat semakin konsumtif, cenderung menjadi penikmat teknologi dan semakin terlena dalam gaya hidup yang individualistik dan narsistik. Facebook dan Twitter secara nyata telah menjelma menjadi media untuk transfer pengetahuan yang kebarat-baratan, yang kemudian dijadikan sebagai role model. Pada akhirnya, masyarakat dunia ketiga seperti Indonesia, akan selalu menjadi pasar yang menjanjikan bagi para kapitalis untuk memuaskan ambisi mereka mengeruk kemakmuran sebesar-besarnya.

Selanjutnya, mengacu pada konsep kehampaan globalisasi yang dipaparkan oleh George Ritzer (2006:3), maka sesungguhnya Facebook dan Twitter memiliki aspek-aspek kehampaan yang cukup nyata. Meskipun kedua media tersebut mengijinkan peran individual yang membuat interaksi seseorang melaluinya menjadi unik, akan tetapi, pada dasarnya Facebook dan Twitter tetap merupakan sesuatu yang disusun dan dikontrol secara pusat. Terdapat pola-pola tertentu yang membatasi individu dan juga terdapat substansi yang tak banyak berbeda. Ia juga memenuhi konsep kehampaan, setidaknya kehampaan yang dicirikan oleh sesuatu yang bersifat umum, kurang ikatan lokal dan tanpa batas waktu (Ritzer, 2006:26). Ia juga merupakan salah satu bagian dari dunia yang dikonsepkan oleh Barber sebagai McWorld. Dunia yang menyatukan komunikasi, informasi, dan perdagangan. Sebuah dunia yang merupakan produk budaya populer yang dikendalikan kaum ekspansionis (Barber, 2003:2,20).

Ketika kemudian keberadaan Facebook dan Twitter dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa ketika kehadiran kedua situs tersebut lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konsumtif, kesejahteraan akan semakin menjauh. Selain itu, melalui keduanya, globalisasi menemukan jalan lain untuk menjajah tradisi, baik itu nilai-nilai budaya setempat, pola berpikir maupun sikap dan perilaku. Hal yang semacam itu tentu saja bukan merupakan indikator yang dapat mengarah pada kesejahteraan masyarakat secara hakiki.

Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa Facebook dan Twitter merupakan dua contoh situs jejaring sosial yang dewasa ini telah begitu populer di berbagai kalangan masyarakat. Kehadiran keduanya bahkan menjadi salah satu dari 10 peristiwa terbesar di dunia internet dalam satu dekade terakhir, sebagai pemicu revolusi jejaring sosial online (http://www.detikinet.com/read/2009/11/19/112252/1244689/398/10-peristiwa-terbesar-di-dunia-internet). Keberadaannya telah memberikan banyak dampak yang merubah bagaimana cara pandang dan perilaku seseorang, yang pada akhirnya berdampak pula pada masyarakat luas. Selain sebagai media yang dapat berguna sebagai kontrol sosial dan ruang yang mengijinkan seseorang untuk menuangkan kreativitasnya, Facebook dan Twitter juga menawarkan pesona semu yang pada dasarnya merupakan perangkap globalisasi dan juga jaringan kapitalisme global. Ia mula-mula menjajah nilai dan tradisi untuk kemudian memastikan bahwa mereka yang terlena oleh pesona semunya, akan tetap menjadi pasar yang menjanjikan bagi mereka. Pada akhirnya, Facebook dan Twitter hanyalah media atau alat, bagian dari strategi kaum kapitalis dan mereka yang berkuasa untuk terus menancapkan hegemoninya dan membuat dunia menjadi berwarna seperti warna yang mereka inginkan.

Sebuah penelitian yang diumumkan oleh Economist Intelliegent Unit (EIU) mengatakan bahwa Indonesia mengalami penurunan tingkat daya saing teknologi informasi pada tahun 2009 dari tingkat 58 menjadi 59. Disamping itu, peningkatan pertumbuhan trafik data yang mencapai 10 kali lipat (www.detikinet.com) ternyata juga tidak berkorelasi positif dengan peningkatan daya saing teknologi informasi. Hal tersebut bisa menegaskan atau setidaknya menjadi indikator bahwasanya masyarakat Indonesia masih belum maksimal memanfaatkan teknologi untuk kepentingan produktif, melainkan lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumtif. Pada titik inilah maka keberadaan teknologi informasi dan komunikasi, dengan Facebook dan Twitter sebagai produknya, belum bermanfaat secara maksimal bagi upaya-upaya yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat luas. Terlebih dengan tidak adanya regulasi pemerintah yang secara jelas mengatur mengenai serbuan produk dan kultur global, antara lain melalui jaringan internet, yang dapat digunakan untuk melindungi kultur lokal dan dapat dimanfaatkan bagi upaya-upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun