Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

[Rasa Mentari 4] Melukis Cerita

28 November 2023   14:14 Diperbarui: 28 November 2023   16:21 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari terkejut, Ganesha seolah mengenal Ibu Rahutami dengan baik. Koq, bisa? Ada apa?

Tangan Ganesha menyerahkan kertas dan bolpoin. "Tuliskan alamatmu, Mentari.."

"Kenapa aku harus menuruti perintahmu?"

"Karena harus...."

"Haa? Memang ada yang harus..?"

"Mentari, tuliskanlah saja.."

Kata-kata Ganesha menjadi tuah manjur untuk Mentari. Mentari mengambil kertas putih berukuran 10 x 10 cm dan mulai menuliskan alamatnya. Mentari menyerahkan kertas itu pada Ganesha.

"Jutekmu itu.... Kenapa?"

Mentari mulai gak nyaman dengan pertanyaan Ganesha.

"Apa urusanmu?"

"Jadi urusanku sekarang," Ganesha sangat yakin menyelesaikan kalimat itu.

Mentari mulai bangkit dari kursi, tangan Ganesha menarik lembut. "Sorry, duduklah..."

Mentari masih mengikuti anjuran Ganesha, walau kejengahan sudah mulai timbul.

"Kamis, ya. Aku jemput."

Mentari mengangguk. Pertemuan yang membuat Mentari bertanya-tanya. Mengapa dia bisa 'setakluk' itu.

Ponsel cerdas Mentari berbunyi. Ibu Rahutami memanggil.

"Maaf, aku harus pulang. Ibu minta tolong diantarkan ke gereja."

"Hati-hati. Sampai jumpa Kamis.."

Mentari berlalu dari hadapan laki-laki yang berhasil membuatnya sedikit 'melunak'.

***

Peristiwa beberapa belas tahun lalu berkelebatan kembali dalam memori Mentari. Seseorang yang pernah mengisi hari-hari Mentari. Harus terpisah karena sebuah prinsip keduanya. Mentari terluka namun tidak pernah diakuinya. Yang justru membuatnya jauh lebih berat menjalani hari-hari hidup.

Bersembunyi dalam luka yang tidak pernah sembuh? Oh bukan tidak pernah, tetapi tidak mau. Bukankah sembuh atau pun tidak adalah sebuah pilihan?

Lamunan terhenti, Mentari telah tiba di rumah Ibu Rahutami.

"Nak, kenapa kusut banget mukanya?"

Ternyata Ibu sudah menunggu Mentari di halaman rumah.

"Ada apa?"

"Ehmmm, gak apa-apa, Bu. Ada sedikit yang dipikir."

Ibu Rahutami memegang tangan anak sulungnya. "Ca, (panggilan kecil Mentari) lakukan dengan bahagia, hidupmu. Ibu menikmati kehidupan Ibu saat ini. "

Tak terasa air mata Mentari menetes, sentuhan lembut tangan Ibu di kepala Mentari semakin membuatnya meneteskan air mata lebih deras.

"Ibu sedih melihatmu seperti ini. Lakukan apa yang membuatmu bahagia. Kamu harus menjalani hidupmu dengan bahagia, Nak. Jangan pernah melangkah dengan ragu, Ca. Kamu harus melangkah dengan yakin. Harus berjalan dengan langkah tegap. Yakinlah bahwa ada sesuatu yang baik di depan sana."

Mentari memeluk Ibu Rahutami dengan erat.

"Mentari bahagia jika Ibu bahagia... Apa yang Mentari lakukan tidak ada seujung kuku apa yang Ibu lakukan terhadap Mentari."

"Kasih Ibu harus demikian. Ca, hidupmu masih panjang, pikirkanlah. Cahaya, anakku. Ibu cukup. Sudahi perkabunganmu tentang Bapakmu. Cukup, Nak. Jangan siksa hidupmu. Allah Kasih adanya. Bukalah hatimu. Berdamailah, maju ke depan. Banyak hal baik menantimu. Percayalah!"

Genggaman tangan Ibu Rahutami memberi kekuatan pada Mentari.

"Baik, Bu... Baik, Maafkan Mentari yang belum bisa memberikan yang terbaik untuk Ibu, untuk Ayah."
Pelukan itu memberi kekuatan bagi Mentari. Kekuatan untuk memaafkan dirinya sendiri. Kekuatan untuk memberikan cinta untuk dirinya sendiri. Pelukan Ibu menjadi sebuah titik balik, bahwa hidupnya dan kebahagiaannya adalah tanggung jawabnya pribadi.

***

Bel rumah bercat putih tulang itu berbunyi. Mbok Tirah membukakan pintu.

"Mari, silakan masuk. Ditunggu sebentar, nggih..."

Ibu Rahutami keluar, celana tiga perempat berwarna biru tua pas dikenakan dengan bat wings batik berwarna putih.

"Selamat pagi, Ibu.."

"Selamat pagi, Mas. Mohon maaf sebelumnya, mencari saya atau Mentari?"

"Saya ada keperluan dengan Ibu. Ibu saya kawan Ibu Windriani. Ganesha, Bu." Ganesha mengulurkan tangan pada Ibu Rahutami.

"Oh, ya? Salam kenal, Mas Ganesha. Apakah Putra Ibu Robin?"

"Benar, Ibu. Begini, Ibu. Hari Kamis mendatang saya minta ijin untuk mengajak Mentari menengok sebuah acara camp di Bantir."

"Saya tidak bisa menjawab, Nak Ganesha. Apakah Mentari sudah tau?"

"Mbak Mentari sudah tau, Ibu."

"Maaf, Nak Ganesha sudah pernah bertemu Mentari sebelumnya?"

"Sudah, Ibu. Pertemuan di awal agak kurang menyenangkan. Maka dari itu saya ingin mengajak Mentari ke acara camp Kamis mendatang, saya berharap Mentari bisa ikut menikmati acara itu."

"Nak Ganesha, titip Mentari. Dia menjalani hidup yang tidak mudah. Dia sulit sekali membuka diri dan hatinya. Jelang 38, dia masih belum bisa membuka hatinya. Nak Ganesha paham maksud Ibu?"

Obrolan itu terus berlangsung hingga jelang makan siang. Ganesha akhirnya pamit pukul 14.17. Udara hari itu cukup sejuk. Liukan tangkai krisan memberi kehangatan dan keceriaan di rumah Mentari.

"Monggo, Ibu."

"Monggo-monggo, Nak.. Atos-atos."

Ibu Rahutami menutup gerbang rumah bernomor 77A. Dia mengambil beberapa daun kering yang jatuh di halaman, membuangnya ke kotak sampah di samping rumah.

Mbok Tirah tergopoh-gopoh menyerahkan ponsel Ibu Rahutami. "Bu, niki Mbak Tiara badhe ngendhikan..."

"Halo, Ibuu sehat, Kan? Besok Ti ke Semarang, Bu... Kejutan," suara Tiara memecah keheningan siang jelang sore hari itu.

"Iya, Nak. Hati-hati, Ibu tunggu."

Tiara membalas jawaban Ibu Rahutami, Ibu pun sedikit bersenda gurau dengan Yvone.

"Besok, Eyang tunggu ya, Yvone Sayang.."

Suara ponsel mati. Ibu Rahutami bergegas menutup pintu ruang tamu yang sedari tadi terbuka.

"Mbok, besok Tiara & Yvone datang, janjian sama Gary di Semarang. Aku mau bikin Pesmol Gurame, Mbok. Tolong titip Gurame sama Bapaknya Ifa, biar besok pagi-pagi benar diantar. Nuwun yo, Mbok."

***

Tepat pukul 18.00, Mentari sampai di rumah. Rumah sepi sekali. Ibu ada kegiatan bersama teman-teman kaum perempuan. Sudah empat tahun berselang, Ibu memberikan perhatiannya pada kegiatan pemberdayaan kaum perempuan di gereja.

"Baru pulang, Mbak?"

"Iya, Mbok. Tadi Ibu dijemput sama siapa?"

"Tadi sama Bu Hendrik, Mbak. Itu ada Soto Betawi, lho, kesukaan Mbak Mentari."

"Waaah, enakkkkk. Aku mandi dulu, Mbok.. Ada lontongnya, kan?"
"Ada, dong..." Mbok Tirah begitu bersemangat menyiapkan hidangan kesukaan Mentari. 

"Ok, Mbok, aku mandi dulu ya..."

Selesai mandi, Mentari mengambil gitar dan memetiknya sambil melihat kolam Koi di belakang rumah. Ada 11 ekor. Rata-rata sudah 3-4 tahun dipelihara. Mentari memakai celana training berwarna putih dan kaos hitam. Mentari membeli kaos itu dari seorang mahasiswa yang mencari donasi untuk magang di luar negeri. AIESEC.

Suara bel di rumah berbunyi. Mentari bergegas membukakan pintu. Ada sosok yang dia kenal berdiri. Ganesha.

"Ngapain? Bukannya masih 3 hari ke depan janjiannya."

"Iya, aku mau ngobrol soal Kamis. Aku masuk ya."

Ganesha masuk dan langsung duduk di sofa maroon di ruang tamu bercat krem itu. Ganesha mengeluarkan beberapa lembar foto. Dia mulai menunjukkannya satu per satu pada Mentari.

"Apa ini?"

"Mereka anak-anak difabel, yang akan mengadakan Camp Kamis mendatang. Beberapa tahun terakhir ini aku dan beberapa kawan menggagas komunitas ini, Mentari. Bergabunglah."

"Yayasan atau pribadi?" Mentari bertanya dengan lebih menekankan perhatiannya. Alis matanya agak meninggi, tanda penasaran yang besar muncul.

"Awalnya hanya kegiatan karitatif yang didukung orang-orang terdekatku. Ayo bergabung denganku."

Mentari memandangi beberapa lembar foto yang dibawa oleh Ganesha. Matanya memandangi beberapa foto dengan seksama.

"Ini, Chandra?"

"Ya, koq, bisa kenal?"

Mentari tidak menjawab. Pandangan matanya begitu intens melihat foto yang dipegang dengan tangan kanannya itu.

Mendadak Mentari memegang lengan Ganesha dengan kencang dan kemudian melepasnya spontan. 

"Sorry..."

"Its Ok. Ada apa?"

"Tidak apa. Aku..."

"Ada apa?"

Air mata Mentari menetes. Ganesha memberikan tissue wajah dengan sigap. Tangan Ganesha terlihat ingin merengkuh Mentari, tapi tidak dilakukannya.

"Kamu mau Aku pergi sekarang?"

"Tidak. Jangan.....!"

Kata jangan diucapkan Mentari dengan halus nyaris tidak terdengar, tetapi Ganesha mendengarnya.

"I will be here. Its Ok. Sorry kalo foto ini membuatmu teringat sesuatu..."

"No, it was not your fault....."

Pintu gerbang terdengar dibuka. Ibu Rahutami pulang...

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun