Tentu hal ini menjadi sebuah warna pengalaman tersendiri yang menyenangkan bagi saya dan kawan-kawan, walaupun saya tidak ikut merayakan lebaran, kami bersama-sama merayakan kesukacitaan dan hari kemenangan seolah tak ada batas dan menikmati momen lebaran itu tanpa sekat, kasta dan prasangka serta bersukacita bersama.
Rumah orang tua kami pun tak luput dari anak-anak yang datang untuk bersilaturahmi dan diantaranya juga mengharap uang tersebut, hehe, yang juga telah disiapkan oleh Ayah dan Ibu kami.
Sungguh momen persahabatan kala ramadan yang tak akan terlupa. Walaupun uang bukan yang terutama, tetapi rasa kebersamaan itulah yang membuat kami lebur tanpa adanya perbedaan.
Ini merupakan kenang-kenangan masa kecil saya pada momen lebaran kala itu. Tidak ada perbedaan. Kerukunan antar umat beragama terbina hingga pada saat kami beranjak dewasa.
Nilai yang tak akan saya buang, karena ini menjadi issue yang sangat penting untuk diturunkan serta diwariskan kepada generasi berikutnya.
Setelah saya beranjak dewasa dan kemudian nasib membawa saya tinggal di kota bertajuk kota toleransi, ramadan juga masih menjadi satu hal yang mewarnai pengalaman hidup saya. Tetangga sebelah-menyebelah memiliki tradisi berkunjung untuk memberikan selamat.
Tradisi Munjung pun menjadi salah satu ciri khas tersendiri, yaitu saling memberikan sajian makanan, kepada tetangga dan kerabat di tengah masa Ramadan ini, terlepas dari apa agamanya. Makna dibalik itu yang lebih penting, saling memperhatikan, saling melengkapi, saling menghormati diajarkan secara tersirat. Sejatinya, inilah Indonesia, satu dalam keberagaman.
Selamat menunaikan Ibadah Puasa, saudara-saudaraku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H