Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Nilai dalam Kenangan Kisah Ramadan Kecilku

24 April 2020   18:43 Diperbarui: 24 April 2020   18:45 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Incollage diolah dari Flickr.com

Ada banyak hal yang berbeda dengan nuansa Ramadan 2020 kali ini. Saya memang tidak termasuk orang yang menunaikan ibadah puasa dan lebaran, namun demikian, saya cukup akrab dengan suasana ramahan. Saat itu saya dan keluarga, berdomisili di kota Cirebon yang lebih dikenal sebagai kota Wali.

Kami tinggal di lingkungan daerah yang mayoritas masyarakatnya muslim. Rumah kami hanya berjarak 50 meter dari masjid. Tetangga dekat yang berada di kanan dan kiri rumah kami, juga adalah pemeluk agama Islam yang taat.

Sahabat-sahabat saya, sebagian besar juga pemeluk Islam yang taat. Setiap kali momen puasa berlangsung, beberapa kali dalam 1 minggu, Ibu saya kerap berkirim, dan bertukar lauk, serta sajian kudapan seperti kolak pisang, es sirup blewah, atau es campur dengan tetangga sebelah-menyebelah.

Bahkan saat lebaran tiba, meja makan di rumah kami selalu penuh dengan hantaran sajian Opor Ayam, Sambal Goreng Ati Ayam, sampai Ketupat Lebaran. Beragam kuliner lezat menjadi tradisi hantaran di perumahan kami saat itu.

Beberapa sahabat saya pun ada yang melanjutkan kuliah pendidikannya di Al Azhar, Mesir, tetapi kami tetap saling berhubungan hingga saat ini. Berteman, bersahabat, bersaudara, serta bersilaturahmi tanpa beda dan tak mengenal kasta dengan mereka merupakan hal yang tak ternilai.

Nilai toleransi terbangun dan berakar kuat sejak kecil di diri saya dan kedua adik saya, karena ajaran dan nilai tersebut yang diturunkan kedua orang tua kami dini. Eyang kami adalah seorang pemeluk agama Hindu yang sangat taat.

Beliau pun menyandang jabatan Panditha (sebuah jabatan pemimpin ibadat di dalam umat Hindu) di lingkungan tempatnya tinggal, bahkan Pura dibangun tepat di sebelah rumah Eyang kami. Penghayatan terhadap nilai sila pertama Pancasila begitu kental terasa di keluarga besar kami.

Lanjut ke cerita ramadan kembali, dalam bulan ramadan di masa kecil saya hingga saat ini, banyak yang menarik dan tak terlupakan, serta memiliki cerita yang menempati ruang khusus di hati.

Bagi saya pribadi, ramadan bukanlah bulan besar milik umat Islam saja, tetapi telah menjadi bulan budaya dan tradisi yang menarik untuk dilestarikan oleh masyarakat pada umumnya, karena banyak mengajarkan unsur nilai menghargai dan toleransi di dalamnya, terkhusus bagi pengalaman saya dan keluarga.

Saya  juga mengikuti nuansa ramadan yang ramai dinantikan oleh sahabat-sahabat saya kala itu, yang memeluk agama Islam.

Berikut merupakan pengalaman ramadan yang pernah saya alami dan mungkin tidak dapat terulang saat pandemi ini, yang memberikan makna dan nilai kerukunan serta arti saling menghargai, yang saya dapat bagikan.

Ngabuburit bareng teman

Di tiap sore, saya dan beberapa kawan menantikan saat ngabuburit tiba, dimana kami diberikan kesempatan oleh orang tua kami masing-masing (termasuk saya tentunya) untuk membeli sajian kue-kue kecil khas ramadan yang akan dimakan bersama oleh keluarga sahabat-sahabat saya saat berbuka puasa, dengan berjalan kaki ke pasar yang terletak tak jauh dari perumahan kami berbarengan(terdiri dari 4 sampai 6 orang).

Di pasar tersebut, penjual aneka makanan khas ramadan telah bersiap dan berjejer rapi menantikan pelanggan-pelanggan setia mereka untuk memborong dagangannya. Saya kerap kali diberikan mandat Ibu untuk membeli beberapa jenis kue, untuk diberikan kepada tetangga kami yang akan berbuka puasa.

Mendengarkan ramainya tim musik dadakan yang bertugas membangunkan sahur

Di perumahan kami, saat puasa tiba akan menjadi hal seru untuk teman-teman yang usianya telah di atas kami (kira-kira sudah SMA). Saat setelah melakukan ibadah sholat tarawih mereka (terutama teman laki-laki) akan berlatih lagu-lagu beserta alat musik seadanya berupa gitar, dan alat perkusi seperti gendang sederhana untuk berkeliiling membangunkan sahur  warga, yang akan dimulai sekitar pukul 01.30 WIB.

Mereka mulai berkeliling sambil bernyanyi keras dan membangunkan tetangga-tetangga yang melakukan ibadah puasa. Kira-kira seruannya seperti ini "banguuun, sahuuurr", "Ayoo Bapak, Ibu, Teteh, Aak, banguuun, sahuuurrr".

Ini menjadi tradisi khas tersendiri bagi saya dan keluarga, karena gaung musiknya juga membangunkan kami yang tidak melakukan ibadah puasa, dan biasanya, karena sudah terbangun berkat suara-suara kawan-kawan saya tersebut, saya akan sedikit menggunakan waktu untuk mengulang pelajaran di sekolah, sebelum akhirnya ngantuk dan tidur kembali, hehe.

Ada sebuah pengalaman yang cukup mengejutkan dan tak akan terlupa bagi saya saat itu, ada seorang kawan laki-laki yang nampaknya menaruh hati pada saya dan memanfaatkan momen tersebut untuk mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata berikut, " Nita, Aku suka kamu, ayo banguuun", sontak kaget bercampur malu, karena suara lantang itu didengarkan juga pasti oleh Ayah, Ibu, dan juga tetangga-tetangga kami. Ada-ada aja.

Saling kunjung untuk bersilaturahmi dari rumah ke rumah

Ini momen yang asik bagi saya, kenapa? Karena saya pun ikut beredar untuk berkeliling ke rumah-rumah tetangga untuk mengucapkan selamat Lebaran pada semua orang yang memperingati hari Raya Idul Fitri, tidak peduli apa agamanya. Kami yang berkeliing (usia remaja) akan mendapatkan uang baru berjumlah Rp. 5.000,- hingga Rp. 20.000,- dari penghuni rumah yang kami datangi untuk kami beri selamat.

Tentu hal ini menjadi sebuah warna pengalaman tersendiri yang menyenangkan bagi saya dan kawan-kawan, walaupun saya tidak ikut merayakan lebaran, kami bersama-sama merayakan kesukacitaan dan hari kemenangan seolah tak ada batas dan menikmati momen lebaran itu tanpa sekat, kasta dan prasangka serta bersukacita bersama.

Rumah orang tua kami pun tak luput dari anak-anak yang datang untuk bersilaturahmi dan diantaranya juga mengharap uang tersebut, hehe, yang juga telah disiapkan oleh Ayah dan Ibu kami.

Sungguh momen persahabatan kala ramadan yang tak akan terlupa. Walaupun uang bukan yang terutama, tetapi rasa kebersamaan itulah yang membuat kami lebur tanpa adanya perbedaan.

Ini merupakan kenang-kenangan masa kecil saya pada momen lebaran kala itu. Tidak ada perbedaan. Kerukunan antar umat beragama terbina hingga pada saat kami beranjak dewasa.

Nilai yang tak akan saya buang, karena ini menjadi issue yang sangat penting untuk diturunkan serta diwariskan kepada generasi berikutnya.

Setelah saya beranjak dewasa dan kemudian nasib membawa saya tinggal di kota bertajuk kota toleransi, ramadan juga masih menjadi satu hal yang mewarnai pengalaman hidup saya. Tetangga sebelah-menyebelah memiliki tradisi berkunjung untuk memberikan selamat.

Tradisi Munjung pun menjadi salah satu ciri khas tersendiri, yaitu saling memberikan sajian makanan, kepada tetangga dan kerabat di tengah masa Ramadan ini, terlepas dari apa agamanya. Makna dibalik itu yang lebih penting, saling memperhatikan, saling melengkapi, saling menghormati diajarkan secara tersirat. Sejatinya, inilah Indonesia, satu dalam keberagaman.

Selamat menunaikan Ibadah Puasa, saudara-saudaraku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun