Mohon tunggu...
Nita Ariyantie
Nita Ariyantie Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani Amatir

Terlahir di Kalimantan, Besar di Bandung, Sempat singgah di Lampung, Cirebon dan Jakarta, kini menepi di seputar Kawasan Danau Toba

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Diary Petani Amatir #1, Entah Bagaimana Ceritanya

27 November 2024   11:23 Diperbarui: 27 November 2024   11:32 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bermula dari rasa keinginan untuk membantu masyarakat petani untuk mengatasi permasalahannya dibidang permodalan, maka muncullah ide untuk merealisasikannya melalui pola kerjasama tertentu sesuai kesepakatan bersama.

Dan, karena pada dasarnya hanya untuk mengatasi permasalahan permodalan, maka pola kerjasama tertentu dimaksud secara tidak langsung mensyaratkan syarat lain yang harus tersedia yaitu ketersediaan lahan dan tenaga kerja di lain pihak.

Bahwa dengan adanya kombinasi 3 komponen dasar dimaksud yaitu lahan, tenaga kerja dan modal, secara teori  niscaya permasalahan klasik para petani bisa teratasi.

***

Dari hasil penyaringan beberapa calon mitra yang dianggap potensial, terjadilah kesepakatan kerjasama dengan 3 orang petani yang memenuhi syarat, yaitu petani yang mempunyai lahan minimal 2 hektar, dan ada tenaga yang siap untuk mengelolanya sesuai jenis tanaman yang akan ditanam yang untuk awal-awal difokuskan untuk tanaman Cabe, Kentang, Tomat dan yang sejenisnya.

Dari beberapa contoh simulasi yang bersumber dari potensi, asumsi maupun proyeksi, disepakatilah  sistem bagi hasil dengan sistem fifty-fifty (50:50) dari keuntungan. Sementara keuntungan dimaksud adalah hasil bersih dari penjualan dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemilik modal.

Dengan pola kerjasama ini, kecuali untuk biaya tenaga kerja,  semua biaya-biaya yang harus keluar menjadi tanggungan  pemilik modal.  selama proses produksi berlangsung akan diperhitungkan terlebih dahulu, lalu sisanya dibagi dua.

Akan tetapi karena satu dan lain hal yang menyebabkan menjadi  tidak ada untung atau malah rugi, maka kerugian tersebut tidak dibebabankan kepada Petani, akan tetapi menjadi risiko pemilik modal.

***

Singkat cerita, dari 3 orang petani yang kerjasama tersebut tak seorangpun yang dapat memberikan imbal jasa sebagaimana yang diharapkan. Jangankan imbal jasa, untuk kembali modal saja dari hasil panen tanaman yang ditanaman  tidak pernah terjadi. Bahkan untuk hanya setengahnyapun tidak bisa sama sekali.

Mulai dari sesi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya hingga rata-rata 5 sesi musim tanam sesuai musim tanamnya, tidak pernah satu sesipun yang bisa menghasilkan untung. Bahkan  jangankan  untung, untuk kembali modal, pun hanya untuk setengahnya saja  tidak pernah  bisa tercapai, sehingga membuat semakin lama, modal semakin banyak tergerus hingga kalau dihitung-hitung sudah  mencapai 200 jutaan.

Dikira dari sesi berikutnya akan bisa menggantikan kerugian yang ada,  maka masih ada upaya-upaya untuk mencoba terus. Gagal lagi,  coba lagi, gagal lagi,  coba lagi, demikian seterusnya hingga berlangsung sampai berapa sesi percobaan.

Padahal maksudnya apabila ada keuntungan, maka keuntungan tersebut akan dimanfaatkan untuk menambah calon mitra baru dari petani lain,  supaya lebih banyak lagi yang bisa terbantu. Kalau dari awal misalnya 3 keluarga petani, setelah itu bisa  menjadi 6, dari enam bisa jadi 12, dari 12 bisa jadi 24 demikian seterusnya bisa menjadi ratusan bahkan sampai ribuan untuk jangka panjangnya.

***

Setelah melakukan evaluasi mendalam atas semua hasil kerjasama yang sepertinya tidak akan bisa lagi berujung pada hasil yang sesuai dengan yang diharapkan,  terutama juga dari 3 percontohan yang ada,  namun tak satupun yang bisa memberi harapan yang positif,  maka diputuskanlah untuk menghentikan semua kerja sama.

Sedih memang. Niat  untuk membantu masyarakat petani yang dimulai dari skop yang kecil dulu untuk tujuan skop yang lebih besar lagi menjadi tidak bisa tercapai, kandas, gagal total lalu tutup buku, ditengah masih  banyak yang berminat dan siap untuk diajak kerjasama.

***

Aneh juga ya.

Modal, tenaga, lahan, pasar, pengalaman,  semua ada.

Tapi Kok  bisa gagal?

Selama ini yang mereka keluhkan adalah modal. Karena tenaga, lahan, pasar termasuk pengalaman bertani sudah tersedia. Tapi setelah modal tersedia kok tetap juga gagal?

Harusnya, secara teori tidak akan gagal. Soal harga yang turun naik tidak menjadi soal, karena pada akhirnya kalau diambil rata-rata akan tetap saja masih bisa dapat untung. Kuncinya adalah di volume atau  hasil produksi panen. Kalau volumenya sesuai, biasanya margin keuntungan masih tetap ada meskipun kondisi harga pasar sedang rendah-rendahnya.

Selain volume, konsistensi juga memegang peranan penting. Atau mengkin lebih tepatnya kesinambungan produksi. Bahwa dengan adanya konsistensi, maka niscaya akan bisa mendapatkan semua harga pasar yang ada, baik itu harga tertinggi maupun harga terendah, sehingga jatuhnya adalah harga rata-rata untuk setiap tahunnya.

Katakanlah misalnya Kentang. Cost rata-rata untuk kentang mulai dari bibit hingga panen  paling rata-rata 3.000 sampai 4.000 rupiah per kilo. Sementara harga kentang dipasaran paling rendahnya rata-rata 7.000. Normalnya 8.000 sampai 12.000. 

Jadi kalau harga titik terendah sekalipun yaitu harga yang 7.000 marginnya masih ada antara 4.000 sampai 3.000 per kilo. Sehingga kalau volume atau hasil produksinya besar, misalnya 10 ton atau 20 ton, tentu marginnya juga masih repatif besar. Tinggal dikalikan saja antara volume dengan margin yang tadi. Kalau harga tinggi tentu marginnya akan lebih lebar lagi.

Demikian juga misalnya dengan Cabe. Cost rata-rata Cabe paling hanya antara 6.000 sampai 8.000 per kilo. Sementara kalau rata-rata harga dipasaran dengan durasi panen 20 kali per setiap musim tanam biasanya berkisar antara 15.000 sampai 20.000 per kilo. Bahkan lebih. 

Tak perlu memasukkan angka yang sering juga mencapai angka  spektakuler yaitu 75.000 -- 100.000 rupiah per kilo.  Cukup hanya yang 15.000 sampai yang 20.000 saja.

Dengan margin yang antara 8.000 sampai 10.000 saja per kilo pasti sudah akan sangat mengenyangkan. Tinggal mengupayakan volume tadi. Kalau volumenya besar tentu marginnya akan besar pula. Semakin besar volume akan semakin besar pula marginnya.

Dari contoh tadi, kalau dengan volume (hasil produksinya) bisa mencapai 10 ton misalnya, dengan margin yang 8.000 saja, hasilnya sudah 80 juta. Belum yang margin 10.000. Kalau dengan margin 10.000 hasilnya 100 juta.

Apalagi kalau dewi fortuna sedang mendekat?  Pas dapat harga yang 50.000 ke atas misalnya? Tinggal dihitung saja marginnya berapa. Untuk beli mobil sekelas Fortuner juga mungkin bisa.

***

Dan,  entah bagaimana ceritanya, mungkin juga karena tak  kuat menahan sedih berlama-lama karena tidak bisa lagi membantu tadi, atau mungkin  lebih kepada RASA PENASARAN yang sangat mendalam, yang semakin lama dipendam semakin membuncah dalam hati, secara tiba-tiba  muncul ide supaya terjun langsung saja ke lapangan supaya bisa langsung mengaplikasikan atau mempraktekkannya  sendiri.

Lalu, terjadilah apa yang terjadi setelah mampu mengeliminir segala hambatan dan rintangan yang ada pada tahap finalisasi keputusan  untuk rencana  terjun langsung ke lapangan.

Ibukotapun ditinggalkan,  terpisah dulu dari keluarga tercinta, segala komunitas yang ada,  untuk kemudian bergelut dengan dunia pertanian yang tak akan jauh-jauh dari  suasana sepi,  lumpur, kotor, panas terik, hujan dan yang lain-lainnya lagi, dari yang sebelum-sebelumnya berada  dalam  suasana kantor yang ramai, sejuk, bersih, wangi, dokumen, pulpen, laptop, restoran,  mall dan seterusnya dan seterusnya lagi.

***

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun