Di sebelahnya, pada nisan yang sudah agak kusam, tertulis nama ibuku. Cukup lama aku di sana, melakukan apa yang seharusnya seorang anak lakukan di makam orang tuanya.
Kakiku melangkah lagi, hinga kutemukan nama Lurah Sadikin pada nisan yang agak mentereng. Dan tak jauh dari situ, tertera nama dr. Zaldi di nisan yang tak kalah mewah. Sementara pada sudut yang agak terpencil aku kembali menemukan sebuah nisan. Terbuat dari bilah papan yang amat sederhana, dengan coretan nama Mbok Minah di bagian tengah.
Semua nisan itu mengingatkanku pada kematian. Kematian seperti apakah yang menantiku? Hingga hari ini, misteri yang melingkupi keluargaku belum benar-benar tersibak. Akankah aku baru mengetahui jawabannya, setelah mati terlebih dahulu?
Siapkah aku mati ketika aku sendiri tak tahu, untuk apa atau siapa aku hidup? Ketika semua masih serba abu-abu, siapkah aku menghadapi hitam yang menyerbu? Hanya demi menyambut putih yang menyerpih?
Kutinggalkan bukit kecil itu dengan perasaan pilu. Lidahku kelu. Ada genang yang menghangat dan luruh dari mataku. Memang tak semua mereka baik padaku. Namun membayangkan mereka terbaring di dalam tanah, dingin, dan gelap. Alangkah merananya.
Kupandangi bulan, pendar putih keperakan yang pucat menyebar ke segala penjuru. Awan hitam tiba-tiba datang, dan langsung mennutup seluruh sinarnya. Sesaat keadaan menjadi begitu gelap. Gelap yang memicu kalbuku untuk setiap saat bisa meledak dalam kalap.
Perlahan awan hitam mulai bergerak, bulan muncul kembali. Baru sesaat aku bernafas lega, ketika kulihat retakan pada permukaan bulan. Dan kemudian terdengar suara menggelegar diiringi hancurnya bulan menjadi berkeping-keping dan luruh ke bumi. Semua gelap. Benar-benar gelap, tak ada setitikpun cahaya.
Nafasku sesak. Keringat dingin yang mengucur amat deras. Masih jelas dalam ingatanku, nisan dan bulan yang hancur. Apa arti semua ini?
Kuamati sekelilingku. Ternyata aku masih berada di kamarku, dimana terakhir kali aku bertemu ayah.
Aku merasa agak tenang. Dalam hati aku berharap, semoga ini adalah benar-benar kehidupan nyataku.
Saat matahari mulai menyembul dari ufuk timur, aku keluar kamar. Kulihat ayah tengah bersiap untuk berangkat kerja. Aku pamit untuk berjalan-jalan.