“Tidak ada apa-apa, ayah,” hanya itu jawaban terbaik yang mampu kuberikan.
“Banyak hal aneh yang terjadi, yang bahkan Sukma sendiri bingung, apakah semuanya itu memang benar-benar pernah terjadi?” lanjutku.
“Kau mau menceritakannya pada ayah?” tawar ayah.
“Mungkin tidak sekarang, ayah.”
Agak lama juga ayah menatapku, sebelum akhirnya mengangguk dan kembali ke kamarnya.
Sepeninggal ayah, kututup pintu kamar dengan perasaan yang masih amat tidak nyaman, seakan sesuatu yang amat buruk tengah menunggu untuk terjadi. Padaku, juga pada keluargaku…
*****
Angin dingin menusuk kulit. Aroma tanah basah mengiringi langkahku menuju bukit kecil yang penuh deretan nisan.
Dari kejauhan, suara burung kedasih terdengar begitu memilukan. Bertambah suram-mencekam ketika kaok gagak sesekali meningkahinya, seakan bersahut-sahutan memanggil segala hitam yang pernah terekam dalam di dunia kelam. Kabut tipis turun perlahan menyelimuti desa.
Aku merasa kakiku seperti punya kehendak sendiri, melangkah menyusuri deretan nisan hingga akhirnya berhenti di sebuah nisan berwarna putih. Ada nama ayah tertulis di sana.