“Aku masih hidup…!” jeritku kesal. Dasar hantu kenthir! Tubuh mereka yang aneh saja sudah menandakan bahwa mereka bukan manusia.
“Aku bukan hantu! Aku benar-benar masih hidup! Dasar...!” teriakku lagi
“Psst…! Dengar tuh, hantunya marah. Kamu sih pake bilang rumah ini berhantu segala,” ucap perawat yang hanya memiliki tubuh sebatas pinggul. Kepalanya yang menyantel di paha kiri bergoyang-goyang ketika berbicara.
Entah siapa sebenarnya yang tidak waras. Para perawat yang mempunyai tubuh separuh? Atau aku?
Kucubit pipi dan tanganku. Benar-benar sakit. Berarti memang aku tidak sedang bermimpi.
“KALIAN BENAR-BENAR MENYEBALKAAAAAAAN…!” teriakku dengan penuh kegusaran, membuat kedua perawat aneh tersebut lintang-pukang keluar kamar, meninggalkan ayah yang terus sibuk berkutat dengan bantal guling.
“Aku tidak mau datang lagi ke rumah itu. Hantunya benar-benar menakutkan! Dari teriakannya saja sudah mengandung hawa pembunuh yang mematikan,” ucap perawat separuh badan sambil melompat-lompat mendahului rekan sejawatnya.
“Aku juga. Walaupun diiming-imingi bayaran tinggi, aku tetap tak mau. Kapok!” timpal perawat sebatas pinggul sambil kerepotan mengatur tangannya yang tumbuh di dengkul agar tak menyerimpung saat berlari.
Nyaris saja aku terbahak, ketika ketukan halus di pintu membuatku terhenyak.
Ini kan kamarku? Tapi, bukankah rumahku sudah habis terbakar? Lalu perawat aneh yang aku lihat tadi apa?
Aku benar-benar tak habis pikir. Bukankah selama ini aku sendirian? Lalu siapa yang mengetuk pintu barusan?
Kucoba untuk mengingat lagi semuanya. Termasuk juga penggalan kejadian aneh yang entah mengapa akhir-akhir ini begitu sering menyergapku.
Ketukan di pintu kembali terdengar, bertepatan dengan kelebatan kejadian di ruang angan. Ketika aku membunuh Pak Lurah Sadikin. Ketika Mbok Minah mati berkali-kali tapi entah mengapa selalu saja mampu untuk terus hidup dan hidup lagi seperti kucing hitam mistis bernyawa tiga belas. Juga ketika dengan entengnya aku mengebiri dr. Zaldi dan Pak Lurah Sadikin, kala mereka hendak merenggut keperawananku.
Tak ketinggalan pula ketika aku bertemu ibuku, Savitri. Dan masih banyak lagi kejadian lainnya, yang tak ingin kuingat namun justru melekat begitu erat dalam ruang memori.
Namun saat ini, di kamarku: Ternyata aku baik-baik saja! Tidak sedang sakit. Juga tidak dalam keadaan baru bangun dari tidur. Tapi mengapa aku benar-benar tidak ingat sedikitpun, kapan terakhir kali aku berada di sini? Di kamar ini?
Ketukan di pintu terdengar lagi. Kali ini diiringi suara bariton yang cemas.
“Sukma, kau belum tidur, Ndhuk?”
Deg, bukankah itu suara ayah?
Jantungku berdegup lebih cepat, mencoba mencerna informasi yang baru saja tiba di otak. Benarkah itu suara ayah?
Ketika pintu terbuka, kudapati ayah berdiri dengan wajah cemas. Tanpa wajah pucat, tanpa darah di sela bibir, juga tanpa ibu dan Lurah Sadikin yang asyik menyantap daging berkuah darah dengan kepala remuknya.
Ternyata ini memang benar ayah, bathinku sambil langsung bersembunyi dalam pelukannya. Dekapan ayah terasa hangat dan penuh kasih seperti dulu.
“Ayah dengar tadi kamu berteriak-teriak, ada apa, Ndhuk?” ayah bertanya lembut. Sebuah pertanyaan amat sederhana yang justru amat sulit untuk kujawab.
“Tidak ada apa-apa, ayah,” hanya itu jawaban terbaik yang mampu kuberikan.
“Banyak hal aneh yang terjadi, yang bahkan Sukma sendiri bingung, apakah semuanya itu memang benar-benar pernah terjadi?” lanjutku.
“Kau mau menceritakannya pada ayah?” tawar ayah.
“Mungkin tidak sekarang, ayah.”
Agak lama juga ayah menatapku, sebelum akhirnya mengangguk dan kembali ke kamarnya.
Sepeninggal ayah, kututup pintu kamar dengan perasaan yang masih amat tidak nyaman, seakan sesuatu yang amat buruk tengah menunggu untuk terjadi. Padaku, juga pada keluargaku…
*****
Angin dingin menusuk kulit. Aroma tanah basah mengiringi langkahku menuju bukit kecil yang penuh deretan nisan.
Dari kejauhan, suara burung kedasih terdengar begitu memilukan. Bertambah suram-mencekam ketika kaok gagak sesekali meningkahinya, seakan bersahut-sahutan memanggil segala hitam yang pernah terekam dalam di dunia kelam. Kabut tipis turun perlahan menyelimuti desa.
Aku merasa kakiku seperti punya kehendak sendiri, melangkah menyusuri deretan nisan hingga akhirnya berhenti di sebuah nisan berwarna putih. Ada nama ayah tertulis di sana.
Di sebelahnya, pada nisan yang sudah agak kusam, tertulis nama ibuku. Cukup lama aku di sana, melakukan apa yang seharusnya seorang anak lakukan di makam orang tuanya.
Kakiku melangkah lagi, hinga kutemukan nama Lurah Sadikin pada nisan yang agak mentereng. Dan tak jauh dari situ, tertera nama dr. Zaldi di nisan yang tak kalah mewah. Sementara pada sudut yang agak terpencil aku kembali menemukan sebuah nisan. Terbuat dari bilah papan yang amat sederhana, dengan coretan nama Mbok Minah di bagian tengah.
Semua nisan itu mengingatkanku pada kematian. Kematian seperti apakah yang menantiku? Hingga hari ini, misteri yang melingkupi keluargaku belum benar-benar tersibak. Akankah aku baru mengetahui jawabannya, setelah mati terlebih dahulu?
Siapkah aku mati ketika aku sendiri tak tahu, untuk apa atau siapa aku hidup? Ketika semua masih serba abu-abu, siapkah aku menghadapi hitam yang menyerbu? Hanya demi menyambut putih yang menyerpih?
Kutinggalkan bukit kecil itu dengan perasaan pilu. Lidahku kelu. Ada genang yang menghangat dan luruh dari mataku. Memang tak semua mereka baik padaku. Namun membayangkan mereka terbaring di dalam tanah, dingin, dan gelap. Alangkah merananya.
Kupandangi bulan, pendar putih keperakan yang pucat menyebar ke segala penjuru. Awan hitam tiba-tiba datang, dan langsung mennutup seluruh sinarnya. Sesaat keadaan menjadi begitu gelap. Gelap yang memicu kalbuku untuk setiap saat bisa meledak dalam kalap.
Perlahan awan hitam mulai bergerak, bulan muncul kembali. Baru sesaat aku bernafas lega, ketika kulihat retakan pada permukaan bulan. Dan kemudian terdengar suara menggelegar diiringi hancurnya bulan menjadi berkeping-keping dan luruh ke bumi. Semua gelap. Benar-benar gelap, tak ada setitikpun cahaya.
Nafasku sesak. Keringat dingin yang mengucur amat deras. Masih jelas dalam ingatanku, nisan dan bulan yang hancur. Apa arti semua ini?
Kuamati sekelilingku. Ternyata aku masih berada di kamarku, dimana terakhir kali aku bertemu ayah.
Aku merasa agak tenang. Dalam hati aku berharap, semoga ini adalah benar-benar kehidupan nyataku.
Saat matahari mulai menyembul dari ufuk timur, aku keluar kamar. Kulihat ayah tengah bersiap untuk berangkat kerja. Aku pamit untuk berjalan-jalan.
Aku keluar halaman bertepatan dengan Mbok Minah yang berangkat menjajakan jamu. Mbok Minah tersenyum ramah, membuatku mengangguk dan membalas senyumnya. Lama kuamati perempuan paruh baya itu, hingga jantungku berdegup kencang ketika kudapati punggungnya dirambati rambut hitam panjang berkonde. Perlahan tapi pasti kulihat rambut itu mengungkungnya. Namun sepertinya Mbok Minah tidak merasakannya.
Aku terus berjalan, dan bertemu dengan Lurah Sadikin yang bergegas ke kantor kelurahan. Lurah Sadikin memacu motornya sambil tersenyum padaku.
Ketika Lurah Sadikin melewatiku, aku kembali tersentak. Kulihat darah menetes di bagian belakang kepalanya, dan sebagian otaknya menyembul di balik kepalanya yang retak merengkah. Namun seperti Mbok Minah tadi, sepertinya Lurah Sadikinpun tidak menyadarinya.
Dengan kepala berdenyut kulanjutkan perjalanan. Tapi sejauh mata memandang, desa ini sungguh amat tenang. Tak ada sesuatu yang janggal dan mengerikan seperti yang baru saja kualami.
Aku menjadi bertanya-tanya sendiri, sebenarnya aku ini masih waras atau tidak? Ah, entahlah. Yang pasti, aku sekarang belajar untuk menerima segala peristiwa yang terjadi saat ini sebagai kenyataan.
Beberapa hari setelahnya, hatiku semakin merasa tenang, karena setiap kali aku bangun dari tidur, tak ada lagi keanehan apapun yang kualami.
Pagi ini aku ingin berjalan-jalan ke hutan. Namun ayah mengeluh tak enak badan, jadi kuurungkan niatku. Tiap kali pergantian awal menuju musim hujan, ayah memang rentan mengalami gangguan kesehatan.
Kutemani ayah berobat ke dokter yang tengah PTT di Balai Desa kami.
***
Tanah ini masih sangat basah. Terlebih hujan begitu merestui. Hingga siang bersembunyi dan tanggalkan jubahnya, aku masih terdiam di sini. Di pekuburan ayah. Ayahku mati tadi pagi, dekat pohon kelapa di depan rumah. Orang bilang, ayahku mati terkena serangan jantung. Dugaan itu juga diperkuat oleh pengakuan Pak Sadikin, di mana sempat melihat ayah kesakitan memegangi dadanya.
Aku tak percaya. Sewaktu aku memeriksakannya seminggu lalu, dokter di balai desa mengatakan bahwa ayahku sehat dan hanya membutuhkan istirahat untuk penyembuhan influenza-nya. Lantas dari mana datangnya sakit yang menyerang jantung ayahku dan membuatnya mati?
Alarm tanda bahaya yang ada di otakku mulai berbunyi, dan semakin lama semakin nyaring melengking.
Aku merasa déjà vu.
Desember ke-6, 2015.
Cerita sebelumnya: Jeritan Sukma.
Untuk membaca episode peserta fikber sebelumnya, silahkan menuju link yang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H