Mohon tunggu...
Nisrina Sri Susilaningrum
Nisrina Sri Susilaningrum Mohon Tunggu... Guru - Great Learner

Great Learner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 2] Bulan Merah Darah

20 November 2015   09:25 Diperbarui: 20 November 2015   12:11 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nisrina Sri Susilaningrum, No. 02.

 

Kesempatan!

Mumpung konsentrasinya melemah karena berbicara, kusodok ulu hatinya hingga ia berjengit, yang kususul dengan hajaran lututku pada selangkangannya dengan sekuat tenaga, membuat tubuhnya berkelojotan ke samping dan membentuk lengkung udang yang sangat bungkuk menahan sakit tak terhingga.

Secepat kilat aku bangkit, dan langsung meraih tongkat besi yang tadi dilemparnya, untuk kemudian kutambahkan hantaman keras di kedua lutut kepala desa biadab itu.

“Dasar jalang, aku tak akan melepaskanmu!” erangnya.

“Kalimat itu harusnya milikku, bajingan! Karena gara-gara kau, Bapak tak lagi bersamaku. Dasar lelaki biadab!” murkaku.

“Hahaha....kau ternyata cantik tapi bodoh, Sukma,” ucap Pak Sadikin di sela tawanya yang tetap liar, membuatku langsung meningkatkan kewaspadaan sebab hanya manusia-manusia super busuklah yang masih mampu tertawa di saat dirinya sudah sangat terdesak.

“Apa maksudmu?”

“Baiklah, sebelum kita bersenang-senang, aku akan menceritakan sebuah rahasia tentang bapakmu.” ucapnya sambil kembali tertawa mengejek.

“Asal kamu tahu, bapakmulah yang menjualmu padaku. Kaukira darimana bapakmu bisa mendapatkan uang banyak dan rumah besar di ujung jalan itu? Hahaha... Sudah jelas itu uang dariku. Uang yang didapatnya dari menjual gadis-gadis perawan di desa ini: Untukku! Untukku, Sukma... Hahaha!”

Aku terdiam. Bapak? Benarkah bapak sebejat itu?

“Aku tak akan percaya begitu saja omongan lurah gila sepertimu,” semburku

“Hahaha... Itu terserah padamu, saat ini aku hanya ingin memilikimu seutuhnya, Sukma…”

Dengan amat terpincang Pak Sadikin berhasil bangkit, membuatku surut ke belakang sambil kedua tangan memegang tongkat besi dengan lebih erat, siap mengayunkan sabetan terkuatnya.

Namun belum sempat aku melakukan apapun, ketika samar kulihat ada yang sesuatu yang merambat pelan di belakang Pak Sadikin, membuatku tersenyum tipis ketika mengetahui bahwa sesuatu itu adalah rambut yang amat panjang, yang langsung melilit kaki Pak Sadikin. Ya, hanya rambut. Entah kepalanya di mana.

“Rambut sialan! Darimana datangnya, sih?”

Seketika Pak Sadikin ambruk. Namun tetap saja dia belum kapok, dan mencoba bangkit kembali.

Tak kuberi dia kesempatan, kupukulkan tongkat besi ke kepalanya, lagi dan lagi hingga terdengar bunyi “krek” baru aku berhenti. Kulihat kepalanya telah hancur, otaknya mengintip dari sela-sela retakan, dan wajahnya sudah tak berbentuk, tak dapat dikenali lagi. Tubuhku bergetar, besi itu jatuh dari tanganku.

Rambut tanpa kepala yang melilit kaki Pak Sadikin telah pergi, meninggalkan tusuk konde yang termangu sendirian. Bukankah itu konde ibuku?

Untuk beberapa saat kupandangi ruangan ini. Kucari-cari sosok mbok Minah yang tadi kepalanya hampir putus, tapi tak ada. Di lesung jamu juga tak ada. Dimana-mana tak ada. Lalu yang kulihat sedang ditumbuk Pak Sadikin tadi apa?

Aku termenung sejenak. Bapak, Ibu, manakah yang harus kupercaya kini? Aku lelah....

Dengan agak linglung aku berjalan keluar ruangan. Namun ketika aku membuka pintu, sebuah sinar yang amat menyilaukan menyambutku.

*****

Wajahku terasa dingin.

Ketika kubuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Mbok Minah yang tersenyum penuh kasih. Aku hampir berteriak kegirangan. Ternyata dia masih hidup! Satu-satunya orang yang kumiliki saat ini, ternyata masih hidup. Aku tak mau lagi membayangkan kepalanya yang hampir putus.

“Mbok Minah tidak apa-apa?” tanyaku lemah sambil menggenggam tangannya.

Mbok Minah mengangguk sambil mengganti kompres di dahiku. “Mbok tidak apa-apa, Sukma. Mbok malah mengkhawatirkanmu. Tadi kamu pingsan cukup lama, sampai-sampai Mbok minta tolong warga untuk manggil Pak Mantri. Tapi kata beliau, kamu tidak apa-apa. Hanya butuh istirahat beberapa waktu.”

“Maaf ya, Mbok, aku sudah merepotkan Mbok Minah,” ucapku.

“Tidak apa-apa, Sukma. Tapi sepertinya desa kita ini sedang dirundung duka.”

“Ada apa lagi, Mbok?”

“Tadi sebelum kau siuman, Mbok mendengar kabar bahwa Pak Lurah Sadikin meninggal.” Mbok Minah berhenti sejenak.

Jantungku berdegup lebih cepat.  Jangan-jangan Mbok Minah mengetahui kejadiannya, dan ini hanya pancingan untuk membuatku mengaku. Ah, tapi... darimana Mbok Minah tahu?

Akhirnya kuberanikan diri bertanya, “Meninggal karena apa mbok?”

“Mbok ndak tau. Dari yang Mbok dengar selewatan, sepertinya kepala Pak Lurah hancur dan wajahnya sulit dikenali lagi. Kalau bukan karena baju dan akiknya, mungkin istrinya dan orang-orang tak akan tahu bahwa yang meninggal itu Pak Lurah. Dia ditemukan meninggal di dapur rumahnya.”

Aku menelan ludah dengan rasa yang ganjil. Apakah kejadian itu hanya ada dalam mimpiku? Ataukah…? Oh, kepalaku tiba-tiba pusing.

“Sukma, kau kenapa?”

Aku menggeleng lemah, “Tidak apa-apa, Mbok. Sepertinya aku memang butuh istirahat.”

*****

Selepas petang, bapak, ibu, dan aku makan bersama. Wajah bapak dan ibu pucat, tanpa senyum. Yang terdengar hanya denting sendok beradu dengan piring.

Seiris daging di masing-masing piring, menggoda untuk dikunyah. Tapi bapak dan ibu seperti enggan memakannya. Mereka hanya beradu pandang, untuk kemudian akhirnya saling menyuapi tanpa memperdulikanku sedikitpun. Setiap gigitan pada daging yang mereka makan meneteskan darah di sela-sela bibir. Ketika kulihat daging di piringku sendiri, ternyata semuanya telah berubah menjadi darah. Rasa mual yang hebat langsung menyerangku.

Aku berlari ke kamar mandi, memuntahkan seluruh isi perutku. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, aku hampir berteriak saking kagetnya. Bapak dan ibu persis berdiri di depan pintu dengan wajah pucatnya dan darah yang masih menetes di sela bibir, juga masih tanpa senyum.

Mereka berdua menyodorkan garpu dan sendok yang berlumuran darah, “Makanlah, Nak. Kau belum makan seharian,” kata mereka tanpa intonasi sedikitpun.

Kulihat di belakang mereka, Pak Sadikin dengan kepalanya yang hancur melahap habis makananku.

Aku bangun megap-megap dengan peluh bercucuran, dalam cahaya lilin yang remang-remang.

*****   

Malam ini cuaca amat panas. Aku keluar dan duduk di balai bambu belakang rumah mbok Minah. Kupandangi bulan yang terlihat pucat, ditemani segelas teh dan ubi rebus.

Masih jelas terngiang kata-kata Lurah sialan itu tentang bapak. Bagaimanapun juga, aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku tak mau sampai mati mesti memendam penasaran.

Sekilas kulihat lagi bulan di atas sana. Ternyata kini tak pucat lagi, permukaannya penuh dengan titik-titik merah yang lama-kelamaan membesar menjadi darah yang siap menetes.

Kupandangi lagi dengan seksama, dan sekarang bulan telah menjadi merah darah. Benar-benar merah darah!

Kudengar Mbok Minah memanggil dari dalam.

“Sukma...”

“Ya, Mbok,” sahutku

Ketika wajahnya muncul di pintu, dia langsung menjerit melihatku

“Sukmaaaaaa!!!” teriaknya dengan wajah ngeri.

*****

Kumpulan Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun