Dengan agak linglung aku berjalan keluar ruangan. Namun ketika aku membuka pintu, sebuah sinar yang amat menyilaukan menyambutku.
*****
Wajahku terasa dingin.
Ketika kubuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Mbok Minah yang tersenyum penuh kasih. Aku hampir berteriak kegirangan. Ternyata dia masih hidup! Satu-satunya orang yang kumiliki saat ini, ternyata masih hidup. Aku tak mau lagi membayangkan kepalanya yang hampir putus.
“Mbok Minah tidak apa-apa?” tanyaku lemah sambil menggenggam tangannya.
Mbok Minah mengangguk sambil mengganti kompres di dahiku. “Mbok tidak apa-apa, Sukma. Mbok malah mengkhawatirkanmu. Tadi kamu pingsan cukup lama, sampai-sampai Mbok minta tolong warga untuk manggil Pak Mantri. Tapi kata beliau, kamu tidak apa-apa. Hanya butuh istirahat beberapa waktu.”
“Maaf ya, Mbok, aku sudah merepotkan Mbok Minah,” ucapku.
“Tidak apa-apa, Sukma. Tapi sepertinya desa kita ini sedang dirundung duka.”
“Ada apa lagi, Mbok?”
“Tadi sebelum kau siuman, Mbok mendengar kabar bahwa Pak Lurah Sadikin meninggal.” Mbok Minah berhenti sejenak.
Jantungku berdegup lebih cepat. Jangan-jangan Mbok Minah mengetahui kejadiannya, dan ini hanya pancingan untuk membuatku mengaku. Ah, tapi... darimana Mbok Minah tahu?